Menuju konten utama

Wardiman Wirjosapoetro Pilih Bela RI daripada Kembali ke KNIL

Wardiman Wirjosapoetro pensiun dini dari KNIL kala berpangkat kapten. Setelah RI berdiri, dia ikut membangun cikal-bakal TNI.

Wardiman Wirjosapoetro Pilih Bela RI daripada Kembali ke KNIL
Pasukan infantri KNIL; 1949. FOTO/Wikicommon

tirto.id - Mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia periode 1993-1998 Wardiman Djojonegoro mengaku bahwa namanya terinspirasi dari seorang terpelajar. Orang itu berasal dari Jawa tengah dan berpangkat kapten. Tapi, Wardiman ragu orang itu berasal dari kalangan militer kolonial.

“Tidak jelas, dia kapten profesi apa, kemungkinan kapten kapal, karena militer bumiputra belum setinggi itu. Nama kapten kapal itulah yang dipakai menjadi nama saya,” kata Wardiman dalam Sepanjang Jalan Kenangan (2016, hlm. 27).

Wardiman tidak mengada-ada. Saat dia lahir pada 22 Juni 1934, memang ada seorang pensiunan kapten Koninklijk Nederlandsche Indische Leger (KNIL). Nama lengkapnya Wardiman Wirjosapoetro.

Kapten Wardiman pensiun dari kemiliteran sejak pertengahan 1924. Koran Bataviaasch Nieuwsblad (2/7/1924) memberitakan: Kapten Raden Wardiman telah berhenti dengan hormat atas permintaan sendiri dan pensiun setelah mengabdi beberapa waktu lamanya.

Kapten Wardiman terhitung pensiun muda. Dia lahir pada 29 Oktober 1890 sehingga umurnya masih 34 tahun kala pensiun. Dia juga baru menikmati pangkat kaptennya selama tiga tahun.

Benjamian Bouman dalam Van Driekleur tot Rood-Wit (1995, hlm. 370) menyebut Wardiman naik pangkat menjadi kapten pada 7 Mei 1921. Sebelumnya, dari 1914 hingga 1921, dia menjadi menjadi letnan kelas satu infanteri. Di era kolonial, masa kepangkatan letnan kelas satu di KNIL memang biasanya bisa lebih dari 7 tahun. Itu berbeda dari TNI yang rata-rata hanya 4 tahun.

Wardiman adalah lulusan kursus pelatihan perwira bumiputra yang diadakan Militaire School di Jatinegara. Sebelum masuk kursus tersebut, seperti disebut Rohmah Soemohardjo dalam Oerip Soemohardjo: Letnan Jenderal TNI 22 Februrari 1893-17 November 1948, Wardiman adalah siswa sekolah pamong praja Opleiding School Voor Inlandsche Ambtenaren (OSVIA) Magelang. Wardiman cabut dari sekolah itu bersama seorang kawannya yang bernama Mardjana. Keduanya disebut-sebut masih keturunan bupati Banyumas.

Wardiman dan Mardjana mulai dilatih di Sekolah Militer itu sejak 1907. Kala itu, kursus baru saja dibuka sehingga mereka adalah angkatan pertamanya. Het Nieuws van den Dag voor Nederlandsch-Indië (18/6/1907) menyebut beberapa siswa bumiputra yang juga seangkatan dengan Wardiman dan Mardjana, di antaranya Raden Santoso dan Raden Padmawinangoen.

Raden Padmawinangoen kemudian dikabarkan terpental. Pemberitaan De Locomotief (27/6/1910) menyebut Raden Santoso, Raden Mardjana, dan Raden Wardiman sebagai perwira bumiputra pertama. Mereka lulus pada 1910 dan kemudian dilantik sebagai letnan kelas dua infanteri.

Nomor stamboek militer Wardiman adalah 72244. Bouman menyebut Wardiman pernah ditempatkan di Kalimantan dan Timor. Pada 1915, seperti disebut De Preanger-bode (11/7/1915), dia ditempatkan di Riau, Sumatra Tengah. Sementara itu, media De Nieuwe Courant (7/7/1913) menyebut dia pernah juga bertugas di Batalyon Infanteri ke-18 di Gombong.

Memilih Pensiun Dini

Wardiman tergolong perwira KNIL berprestasi pada 1916. Kala itu, pemerintah kolonial Hindia Belanda tengah dipusingkan oleh Pemberontakan Sarekat Islam di bekas wilayah Kesultanan Pasir, Kalimantan. Wardiman kemudian turut diterjunkan ke sana.

De Preanger-bode (14/4/1916) menyebut pada 9 April 1916 Letnan Satu Raden Wardiman dan Letnan Satu Poll tengah memperkuat pasukannya untuk melawan orang-orang Pasir. Pasukan itu bergerak ke hulu Kasungai untuk menghadapi sekitar 30 orang Pasir.

De Avondpost (6/7/1916) memberitakan pada Mei 1916, Letnan Wardiman dan pasukannya berhasil menangkap dua tokoh penting dari kalangan pemberontak, yaitu Pangeran Singa Maulana dan seorang bawahannya yang bernama Semarangkitin Tabalong.

Sebelum pensiun, Wardiman pernah ditempatkan di Militaire Luchvaart, jawatan udara dari KNIL. Sutrisno dalam Marsekal TNI Suryadi Suryadarma (1985, hlm. 13) menyebut Wardiman mengikuti sekolah militer udara pada 1932. Wardiman disebut Irna Hadi dkk. dalam Awal Kedirgantaraan di Indonesia: Perjuangan AURI 1945-1950 (2008, hlm. 4) sebagai penerbang pribumi pertama dan kemudian dijadikan waarnemer (navigator).

Wardiman menikah ketika masih berpangkat letnan. Namun, seperti disebut De Locomotief (1/11/1917), istrinya yang bernama Raden Ajoe Wardiman tutup usia pada 30 Oktober 1917 pada usia 26 tahun. De Locomotief (10/7/1918) memberitakan bahwa Letnan Wardiman kemudian bertunangan dengan Raden Ajeng Soehidah Tirtokoeosoemo di Karanganyar, Kebumen.

Pada akhir 1918 itu, seperti diberitakan De Nieuwe Courant (5/12/1918), keduanya menikah. Belasan tahun setelah pernikahan itu, seperti diberitakan De Locomotief (8/3/1935), Raden Wardiman dan keluarganya mendapat persamaan status sebagaimana orang Eropa. Nama belakang keluarga itu adalah Wirjosapoetro. Meski begitu, Wardiman disebut tidak punya pekerjaan kala itu.

Mengapa Kapten Wardiman memilih pensiun dini? Agaknya dia berpikir realistis saja atas karier militernya. Daripada jungkir balik mengejar pangkat tinggi yang eksklusif untuk orang Eropa, Wardiman lebih memilih hidup tenang dengan uang pensiun.

Kapten Wardiman pun sebenarnya tidak rugi apa-apa. Di era 1920-an, pangkat kapten KNIL saja sudah merupakan pencapaian yang mentereng bagi priyayi Jawa. Rekan seangkatan Wardiman, Mardjana, pun sama belaka. Di era 1930-an, bahkan ada empat mayor bumiputra yang satu almamater dengan Wardiman, yaitu Kawilarang, Walangitang, Soegondo, dan juga Oerip Soemohardjo.

Infografik Kapten Wardiman

Infografik Kapten Wardiman. tirto.id/Teguh

Setelah Indonesia Merdeka

Pada 1945, setelah Jepang kalah dan Republik Indonesia lahir, Wardiman kedatangan seorang tamu yang usianya lebih muda darinya. Si tamu adalah bekas letnan kelas satu KNIL Didi Kartasasmita. Didi mengabarkan bahwa Nederlands Indie Civil Administration Belanda sedang mengumpulkan kembali para mantan KNIL.

“Memang, NICA pasti membutuhkan kita,” kata Wardiman seperi diingat Didi dalam Didi Kartasasmita: Pengabdian bagi Kemerdekaan (1993, hlm. 111).

Namun, Didi sebenarnya tidak sedang mengajak Wardiman untuk kembali bergabung dengan KNIL. Didi justru mengajak seniornya itu untuk mendukung Republik Indonesia. Wardiman yang saat itu sudah 21 tahun tidak bergiat di kemiliteran pun merasa terpanggil.

Wardiman lantas bergabung dengan militer Indonesia yang baru terbentuk. Dengan pangkat kolonel, Wardiman menjadi wakil direktur Akademi Militer Yogyakarta. Selain itu, dua anak lelaki Wardiman juga turut bergabung dengan Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI).

Setelah Belanda mengakui kedaulatan RI pada akhir 1949, kedua anak Wardiman terus berdinas di AURI. Seorang di penerbangan dan seorang lagi di logistis AURI. Keduanya lalu pensiun dengan pangkat marsekal madya.

Salah satu anak Wardiman, seperti disebut Boediardjo dalam Siapa Sudi Saya Dongengi (1996, hlm. 138), pernah dicalonkan Angkatan Darat untuk menggantikan Sri Mulyono Herlambang sebagai Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU). Namun, hal itu tak pernah terjadi.

Baca juga artikel terkait KNIL atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Humaniora
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Fadrik Aziz Firdausi