tirto.id - Kala Jepang sedang kuat-kuatnya dalam Perang Pasifik, militer Jepang mengirim banyak pekerja paksa (romusha) dan tawanan perang Indonesia—bahkan juga besi-besi bekas rel kereta—ke wilayah-wilayah pendudukannya di Asia Tenggara. Semua itu demi memperlancar proyek infrastruktur perang Jepang di Asia Tenggara. Salah satu tujuan ekspor romusha itu adalah Thailand.
Para tawanan perang itu umumnya adalah bekas tentara Koninklijk Nederlandsch Indische Leger (KNIL) yang gagal mengawal Hindia Belanda dari serbuan tentara Jepang pada 1942. Salah satu tawanan yang cukup terkenal adalah Kapten Willem Cornelis Alexander van Beek (1901-1981) alias Wim van Beek.
Wim van Beek mulai berkarier di KNIL pada 31 Juni 1923. Sebelum ditangkap Jepang, dia bertugas di Kalimantan.
Setelah Jepang kalah dalam Perang Pasifik pada 1945, KNIL pun coba dibangkitkan lagi. Perwira-perwira KNIL yang selamat dari serbuan Jepang mulai menyusun kembali kekuatannya di tempat mereka “mengungsi”, di antaranya di Australis, Singapura, dan Thailand. Para tentara KNIL yang sebelumnya tertawan di Indonesia juga turut bergabung lagi.
Sersan KNIL Schoonewonden mengatakan kepada koran Het Dagblad (24/10/1946) bahwa satu batalyon yang disebut Bernhard Bataljon alias Batalyon Infanteri ke-4 KNIL telah terbentuk di Singapura. Batalyon ini termasuk yang palih awal masuk kembali ke Hindia Belanda yang kini telah memerdekakan diri sebagai Indonesia.
Sementara itu, sebagaimana disebut buku Gedenkschrift Koninklijk Nederlandsch Indische Leger 1830-1950 (1990, hlm. 56), dua batalyon KNIL juga dibentuk di Thailand pada Oktober 1945. Kedua satuan ini lantas menjadi Batalyon Infanteri ke-10 dan ke-11. Dua batalyon itu nantinya berada di bawah Brigade Y yang dikomandani oleh Kolonel Fritz Mollinger (1899-1980).
Kolonel Mollinger lahir di Surabaya dan mulai jadi letnan dua KNIL pada 1922. Saat Perang Pasifik berkecamuk, dia ditempatkan di Colombo, Sri Langka, untuk memimpin pasukan khusus Korps Insulinde. Setelah itu, dia dikirim ke Papua.
Batalyon Gadjah Merah
Di kemudian hari, dua batalyon itu jadi lebih dikenal dengan nama Batalyon Gadjah Merah—sesuai lambang yang mereka kenakan.
Kedua Batalyon itu lalu menyusul masuk ke Indonesia. Pada Maret 1946, Batalyon Gadjah Merah ditugaskanuntuk menguasai Bali dan sekitarnya. Beberapa bulan kemudian, usai mengamankan posisi Belanda di Bali dan Lombok, Batalyon ke-10 dikirim ke Palembang. Batalyon Gadjah Merah di Palembang dipimpin oleh Wim van Beek yang saat itu naik pangkat jadi letnan kolonel.
Letnan Kolonel Wim van Beek dan pasukannya, seperti disebut Nieuwe Courant (11/03/1947), punya hasrat untuk mengibarkan bendera merah-putih-biru di Palembang. Namun, Palembang bukanlah daerah yang mudah ditaklukkan karena pendukung Republik di Palembang juga punya tentara.
Menurut Abu Hasan Said dalam Bumi Sriwijaya Bersimbah Darah (1992, hlm. 131), selain Batalyon Gadjah Merah, Palembang juga di kepung oleh satuan-satuan KNIL lain—di antaranya Batalyon Infanteri ke-7 dan ke-8, satuan artileri, serta satuan penerbang tempur yang berbasis di Talang Betutu. Itu pun belum menghitung Divisi 7 Desember Koninklijk Landmacht (KL) yang datang langsung dari Belanda.
Pasukan KL dari Belanda itu, menurut Trouw (22/07/1948), berasal dari Regiment Stoottroepen (Resimen Pasukan Pemukul). Stoottroepen itu bagaikan kawan seiring Batalyon Gadjah Merah karena dua satuan ini sebelumnya sama-sama bertugas di Bali.
Gadjah Merah dan sekondan-sekondannya mulai merangsek masuk ke Palembang pada Oktober 1946. Tentu saja, situasi Kota Palembang segera jadi kacau karenamereka kerap terlibat bentrok dengan tentara Republik. Konflik di antara mereka pun memuncak pada Pertempuran Lima Hari Lima Malam yang terjadi selama 1-5 Januari 1947.
Meski kalah peralatan dan logistik, tentara Republik tidak mau menyerah begitu saja pada militer Belanda yang dikomandani Kolonel Mollinger. Tentara Republik bahkan bisa memaksa tentara Belanda untuk berunding dan melakukan gencatan senjata. Meski begitu, hasil perundingan itu tidak memuaskan karena pasukan Republik diharuskan mundur 20 kilometer dari Kota Palembang.
Setelah menguasai Palembang, Batalyon Gadjah Merah merayakan hari jadinya. Mereka baru beraksi lagi kala Belanda melancarkan Agresi Militer Ipada 21 Juli 1947.
Harian Trouw (22/07/1948) menyebut Batalyon Stoottroepen maju menyerang kekuatan Republik di Baturaja dan kemudian bergerak ke Lahat. Dalam kampanye militer itu, mereka menangkapi ratusan orang pendukung Indonesia. Setelahnya, pasukan ini dikirim ke Riau.
Agresi Militer I yang juga dikenal sebagai Operatie Product itu bertujuan untuk menduduki daerah-daerah dengan nilai ekonomis tinggi. Harian Het Parool (28/08/1947) memberitakan bahwa pekerja perusahaan minyak Standard Oil dari Amerika menganggap Batalyon Gadjah Merah berprilaku sangat baik setelah ladang minyak di sekitar Palembang dibuka lagi.
Overijsselsch Dagblad (31/07/1947) menyebut, setelah tentara Belanda menduduki beberapa daerah di Sumatra Selatan, ladang minyak dan batu bara di Muara Enim boleh dibuka lagi. Sebuah perkebunan karet di Palembang bagian selatan juga diperbolehkan beroperasi lagi. Demi keuntungan ekonomi, tentara Belanda bahkan juga memperbaiki kembali jalur kereta api yang melewati Palembang.
Karier Moncer Dua Komandan Gadjah Merah
Usai sukses menaklukkan Palembang, karier militer Kolonel Mollinger dan Letnan Kolonel Wim van Beek jadi lebih cerah. Menurut pemberitaanDe Locomotief (03/09/1949), Kolonel Mollinger kemudian diangkat jadi panglima Divisi B pada September 1949. Kini, dia tak lagi bertugas di Sumatra, melainkan di Jawa Tengah.
Sementara itu, Letnan Kolonel Wim van Beek sempat menjadi komandan tentara Belanda di Sumatra Utara. Pada pertengahan 1948, diadipindahtugaskan ke Bandung. Pemindahannya itu disebut dalam rangka menggantikan posisi Kapten Raymond Westerling dalam Korps Special Troepen (KST) di Batujajar. Wim van Beek dan pasukannya kembali berperan penting dalam Agresi Militer II pada 19 Desember 1948.
Aksi militer Belanda yang kedua itu bertujuan menguasai ibu kota Republik Indonesia Yogyakarta serta meringkus para pimpinannya. Sejarah memang mencatat bahwa pasukan Belanda berhasil menangkap Sukarno, Hatta, dan Sjahrir. Mereka bertiga dan beberapa pejabat penting pemerintahan lalu ditawan di Brastagi dan Pulau Bangka.
Wim van Beek, menurut pemberitaan Het Nieuwsblad voor Sumatra (20/04/1949), kemudian harus menelan pil pahit kala konflik Indonesia-Belanda mulai memasuki babak akhirnya. Pada Agustus 1949, Belanda dan Indonesia mulai berunding lagi dan kemudian Belanda diharuskanmengakui kedaulatan Republik Indonesia. Sejak itu, Batalyon Gadjah Merah KNIL yang pernah dipimpinnya tutup buku pula.
Editor: Fadrik Aziz Firdausi