Menuju konten utama

Batal Nikah karena Beda Agama, Pemuda Gugat UU Perkawinan ke MK

Kuasa hukum pemohon menilai ketentuan nikah beda agama dalam UU Perkawinan belum begitu jelas.

Batal Nikah karena Beda Agama, Pemuda Gugat UU Perkawinan ke MK
Ilustrasi buku nikah. tirto.id/Hafitz Maulana

tirto.id - Seorang pemuda dari Kabupaten Dogiyai, Papua, E Ramos Petege menggugat Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Permohonan ini dilayangkan usai dirinya gagal menikahi perempuan karena beda agama.

"Setelah menjalin hubungan selama tiga tahun dan hendak melangsungkan pernikahan, namun dibatalkan karena perbedaan keyakinan," kata kuasa hukum pemohon, Ni Komang Tari Padmawati pada sidang perkara nomor 24/PUU-XX/2022 yang disiarkan MK secara virtual, dikutip dari Antara, Rabu (16/3/2022).

Diketahui, pemohon E Ramos Petege merupakan seorang pemeluk Katolik. Sementara perempuan yang ingin dinikahinya beragama Islam.

Menurut Komang, UU Perkawinan tidak memberikan kejelasan hukum terhadap perkawinan beda agama atau kepercayaan. Karena itu kliennya menggugat aturan hukum tersebut agar mendapat kejelasan.

Selain itu, sambung dia, gagalnya niatan pernikahan kedua belah pihak juga karena adanya intervensi golongan yang diakomodir oleh negara melalui UU Perkawinan.

Ia mengatakan uji materi UU Perkawinan sejatinya telah dilakukan beberapa kali sebelum pihaknya melayangkan gugatan ke MK.

Secara khusus pengujian Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan juga sudah pernah dilakukan. Akan tetapi, sambung dia, perkara yang diajukan pemohon bukan perkara nebis in idem.

Hal tersebut dikarenakan adanya penambahan batu uji pengujian Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan terhadap UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Batu uji tambahan tersebut yakni ketentuan Pasal 29 ayat (1) sebagai pengaturan yang menegaskan serta menjadi dasar adanya perlindungan oleh negara terhadap kebebasan beragama.

Komang mengatakan kerugian kliennya merupakan sesuatu yang faktual dan sudah terjadi serta mengakibatkan kerugian materi dan konstitusional pemohon.

Dalam gugatannya, pemohon melalui empat orang kuasa hukumnya mendalilkan ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan yang dinilainya telah mencederai hak konstitusional sang klien.

Hal itu sebagaimana yang diamanahkan Pasal 29 ayat (1), (2) Pasal 28E ayat (1) dan (2) Pasal 27 ayat (1) Pasal 28I ayat (1) dan (2), Pasal 28B ayat (1) serta Pasal 28D ayat (1) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Baca juga artikel terkait GUGATAN UU PERKAWINAN

tirto.id - Hukum
Sumber: Antara
Editor: Fahreza Rizky