tirto.id - Kementerian Keuangan berhasil mengantongi penerimaan dari pajak kripto mencapai Rp48,19 miliar pada Juni 2022. Pajak transaksi perdagangan aset kripto sendiri telah berlaku sejak 1 Mei 2022, atau satu bulan sebelumnya.
Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati merinci pajak tersebut berasal dari PPh 22 atas transaksi aset kripto melalui PPMSE dalam negeri dan penyetoran sendiri Rp23,08 miliar. Kemudian Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dalam negeri atas pemungutan oleh non bendaharawan Rp25,11 miliar.
"Kita mendapatkan Rp23,01 miliar untuk PPh Pasal 22 dan PPN dalam negerinya Rp25,11 miliar," kata Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati dalam konferensi pers, APBN Kita ditulis Kamis (28/7/2022).
Untuk diketahui, PPh yang dipungut atas transaksi aset kripto adalah PPh Pasal 22 yang bersifat final. Bila perdagangan aset kripto dilakukan melalui exchanger yang terdaftar Bappebti, PPh Pasal 22 final yang dikenakan adalah sebesar 0,1 persen.
Kemudian, apabila perdagangan dilakukan melalui exchanger yang tidak terdaftar di Bappebti, tarif PPh Pasal 22 final yang berlaku atas transaksi tersebut adalah sebesar 0,2 persen.
Adapun penyerahan aset kripto melalui exchanger yang terdaftar Bappebti dikenai PPN sebesar 1 persen dari tarif umum atau sebesar 0,11 persen. Serta, apabila penyerahan dilakukan melalui exchanger tidak terdaftar di Bappebti, tarif PPN naik 2 kali lipat menjadi sebesar 0,22 persen.
Sebelumnya, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan buka-bukaan terkait pengenaan pajak pertambahan nilai (PPN) atas transaksi aset kripto di Indonesia. Kepala Subdit Peraturan PPN Perdagangan, Jasa, dan Pajak Tidak Langsung Lainnya DJP, Bonarsius Sipayung mengatakan, pengenaan pajak atas transaksi kripto ini sudah sesuai dengan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
"Kenapa kripto ini dikenakan? Pertama tentunya adalah berdasarkan UU PPN atas seluruh penyerahan barang kena pajak dan jasa kena pajak terutang PPN. Itu prinsipnya," kata dia dalam siaran teleconference di Jakarta, Rabu (6/4/2022).
Bonar mengklaim sebelum menimbang pengenaan PPN pemerintah lebih dulu mendefinisikan aset kripto. Pertama, meski ada terminologi cryptocurrency tetapi Bank Indonesia (BI) sudah melarang kripto sebagai alat pembayaran yang sah di tanah air.
"Kita lihat aturan dari otoritas yaitu BI menyatakan bahwa kripto itu bukan alat tukar. Karena bukan alat tukar, clear, dia adalah barang tertentu yang bisa digunakan sebagai alat tukar tapi bukan alat tukar resmi yang diakui otoritas," jelasnya.
Dia menuturkan aset kripto juga tidak bisa digolongkan sebagai surat berharga. Untuk itu pemerintah merujuk pada ketentuan di Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) yang mengatur kripto sebagai komoditas.
"Kita lihat ini yang mengatur Bappebti. Bappebti mengatur bahwa kripto ini komoditas. Nah begitu (kripto) ini komoditas berarti kita kaitkan dengan UU PPN, di UU PPN disebutkan atas penyerahan barang kena pajak terutang PPN, ini dasarnya," ungkapnya.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Intan Umbari Prihatin