tirto.id - Industri perbankan diharapkan bersiap membenahi diri. Pasalnya, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tengah menggodok aturan yang dapat 'memaksa' bank-bank kecil melakukan konsolidasi. Wasit lembaga keuangan RI itu tengah merampungkan aturan terkait permodalan perbankan utamanya bagi bank kecil.
Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Heru Kristayana mengungkapkan, imbauan konsolidasi ini menyasar Bank Umum Kelompok Usaha (BUKU) 1 dan 2. Aturan ini rencananya akan dimasukkan dalam revisi ketentuan kepemilikan tunggal perbankan alias single presence policy. Ketentuan untuk meningkatkan modal bank kecil ini diharapkan menjadi dorongan untuk melakukan konsolidasi perbankan nasional.
“Jika nanti banyak bank yang konsolidasi, maka kontribusi mereka terhadap perekonomian dipastikan akan meningkat,” jelas Heru Kristiyana.
Nantinya, bank BUKU 1 dan 2 secara bertahap diharuskan memenuhi ketentuan permodalan inti menjadi sebesar Rp3 triliun. Adapun pemenuhan kenaikan modal inti perbankan nasional secara bertahap yang harus dipenuhi adalah sebesar Rp1 triliun pada tahun 2020 ini, senilai Rp2 triliun pada 2021, dan sebesar Rp3 triliun pada 2022 mendatang.
Heru menambahkan, OJK akan mencari alternatif bagi bank yang tidak mampu memenuhi aturan tersebut. Hingga saat ini, opsi yang mengemuka adalah membatasi kegiatan usaha bank tersebut atau terpaksa turun kelas menjadi Bank Perkreditan Rakyat (BPR).
Sebagai informasi, saat ini terdapat empat kelas klasifikasi bank umum konvensional berdasarkan modal inti yang dimiliki yaitu BUKU 1, 2, 3, dan 4. Klasifikasi ini tercermin dalam aturan POJK Nomor 6/POJK.03/2016 tentang Kegiatan Usaha dan Jaringan Kantor Berdasarkan Modal Inti Bank (PDF).
Aturan ini menyebut, bank BUKU 1 merupakan bank konvensional dengan modal ini paling sedikit Rp100 miliar sampai kurang dari Rp1 triliun. Sedangkan bank BUKU 2 diwajibkan memiliki modal inti paling sedikit Rp1 triliun sampai kurang dari Rp5 triliun. Untuk bank BUKU 3, modal inti yang harus dimiliki berkisar Rp5 triliun sampai kurang dari Rp30 triliun. Sementara itu, bank BUKU 4 memiliki modal lebih dari Rp30 triliun.
Melansir data Statistik Perbankan Indonesia (SPI) (PDF) hingga November 2019 terdapat sebanyak 96 bank umum konvensional yang beroperasi di Indonesia. Komposisinya masing-masing adalah 13 bank BUKU 1, 52 bank BUKU 2, 25 bank BUKU 3, dan 6 bank BUKU 4.
Saat ini jumlah bank umum konvensional yang memiliki modal kurang dari Rp1 triliun alias BUKU 1 terus mengalami penurunan. Masih mengutip data SPI, per November 2019 disebutkan ada 13 bank umum konvensional berstatus BUKU 1 dengan jumlah kantor 384 unit.
Selama lima tahun terakhir, jumlah bank BUKU 1 memang berada dalam tren penurunan. Jika pada 2015 jumlah bank BUKU 1 mencapai 34 bank, angkanya menyusut pada 2016 menjadi 25 bank dan sebanyak 18 bank pada 2017 dan 2018. Jumlah bank BUKU 1 menyusut cukup signifikan sepanjang 2019 hingga menyisakan 13 bank saja.
Jika aturan ini diimplementasikan, maka setidaknya ada 13 bank BUKU 1 yang terancam turun kelas menjadi Bank Perkreditan Rakyat (BPR) jika tak sanggup memenuhi aturan untuk naik kelas. BPR merupakan bank dengan layanan yang terbatas pada pemberian layanan simpanan tabungan, deposito serta pemberian pinjaman dengan nominal tertentu. Selain itu, wilayah operasional BPR juga lebih terbatas dibanding bank umum dengan besaran modal kurang dari Rp100 miliar.
Data OJK yang sama menggambarkan jumlah bank BUKU 2 terus meningkat dari 46 bank pada 2015 menjadi 52 bank per November 2019. Pun demikian dengan bank BUKU 3 dan BUKU 4, yang masing-masing bertambah sebanyak 3 bank dan 2 bank sejak 2015 sampai dengan November 2019.
Kesiapan Bank Modal Mini
Bank-bank yang masuk dalam klasifikasi BUKU 1 dan 2 mengaku tengah melakukan persiapan atas revisi aturan OJK ini. Bank Oke Indonesia, misalnya, sedari awal pengajuan izin merger kepada OJK telah berkomitmen untuk terus menambal modal inti.
Bank hasil merger antara Bank Dinar dengan Bank Oke Indonesia yang dahulu bernama Bank Andara ini menambah modal inti senilai Rp500 miliar setiap tahun mulai 2019 hingga modal inti bank mencapai Rp3 triliun seperti aturan yang akan dikeluarkan OJK ini.
Direktur Kepatuhan Bank Oke Indonesia Efdinal Alamsyah mengaku pihaknya akan berusaha untuk memenuhi aturan OJK ini jika nanti berlaku. Meski demikian, batas waktu kenaikan modal inti menjadi Rp3 triliun selama tiga tahun dirasa Efdinal merupakan tenggat yang ketat.
“Time frame memang sangat ketat dengan pertimbangan bahwa persetujuan merger bisa memakan waktu enam bulan, belum termasuk proses due diligence, valuasi dan sebagainya. Idealnya OJK mempertimbangkan dulu aturan ini sebelum akhirnya diterbitkan,” ungkap Efdinal kepada Tirto.
Batas waktu selama tiga tahun untuk memenuhi aturan tersebut menurut Efdinal sangat berat untuk dipenuhi oleh bank dengan modal mini. “Tapi mungkin tujuannya memaksa konsolidasi di antara bank-bank kecil,” imbuh Efdinal.
Setali tiga uang, Direktur Utama Bank Maspion Herman Halim mengaku bahwa aturan penambahan modal menjadi Rp3 triliun dalam kurun waktu tiga tahun ini dirasa sulit untuk dilakukan dalam waktu singkat. Menurut Herman, berbagai kondisi ekonomi di Indonesia seperti pertumbuhan ekonomi yang lesu menjadi ganjalan tersendiri bagi bank kecil untuk dapat meningkatkan modal inti sesegera mungkin.
“Apakah mungkin untuk mencari dana senilai Rp1 triliun per tahun di tengah kondisi ekonomi yang sedang melesu ini? Saya kira harus diberi waktu yang cukup untuk menambah modal karena yang penting bank tersebut harus sehat,” ungkap Herman kepada Tirto.
Herman menambahkan, nominal penambahan modal inti pun diharapkan bisa disesuaikan jika tujuan OJK benar-benar ingin menaikkan modal inti bank. Misalnya saja senilai Rp250 miliar sampai dengan Rp500 miliar per tahun, akan dirasa lebih mudah untuk dicapai dibanding penambahan senilai Rp1 triliun.
Menurut Herman, Bank Maspion saat ini telah memiliki modal ini senilai Rp1,2 triliun. Diharapkan pada akhir 2020 atau awal tahun 2021 mendatang, modal bank dapat naik mencapai Rp2 triliun. “Kalau kenaikan modalnya bisa disesuaikan, maka realisasi modal inti sebesar Rp3 triliun besar kemungkinan suatu saat tercapai,” lanjut Herman.
Para bankir di bank bermodal mini ini pun memahami maksud baik OJK dalam rangka penguatan perbankan di Tanah Air. Meski demikian, untuk mewujudkan hal tersebut diperlukan penanganan dan rencana yang matang dan bukan semata melalui tindakan segera berjangka pendek.
Direktur Keuangan Bank Sahabat Sampoerna Henky Suryaputra mengatakan, saat ini terdapat sekira 40 bank dengan modal inti kurang dari Rp3 triliun termasuk di dalamnya Bank Sahabat Sampoerna yang memiliki modal inti senilai Rp1,6 triliun.
Dari angka tersebut, terdapat tujuh bank yang memiliki modal kurang dari Rp500 miliar. Oleh karena itu, bank-bank tersebut perlu meningkatkan modal inti antara dua sampai 10 kali lipat di tahun 2020 ini juga demi memenuhi aturan OJK yang tengah dalam proses kajian.
Di luar bank dengan modal inti kurang dari Rp500 miliar, terdapat hampir 30 bank dengan modal inti antara Rp500 miliar sampai dengan Rp1 triliun. Ini artinya, bank-bank tersebut perlu menambah modal antara 30 persen sampai dengan 300 persen sebelum akhir 2021.
“Melihat jumlah tersebut saya kira penetapan penambahan modal inti bank secara bertahap dengan jangka waktu yang cukup singkat, perlu diperhatikan dengan hati-hati,” tutur Henky kepada Tirto.
Terlepas dari aturan ini, Henky mengaku perseroan terus meningkatkan pertumbuhan modal inti. Menurut Henky, pemegang saham Bank Sahabat Sampoerna berkomitmen untuk mendukung pertumbuhan perseroan termasuk untuk menyediakan tambahan modal inti yang diperlukan.
Mirae Asset Sekuritas menilai, rencana penambahan modal inti perbankan oleh OJK dapat menyebabkan perubahan besar dalam industri perbankan Indonesia di masa yang akan datang. Analis Mirae Asset Sekuritas Lee Young Jun dalam paparan laporannya (PDF) menyebut, revisi aturan ini dapat menghasilkan konsolidasi lebih lanjut oleh bank-bank kecil.
“Namun mengingat fakta bahwa hanya ada 17 bank dalam kategori BUKU 1 (termasuk syariah), kami tidak melihat dampak yang signifikan pada industri,” tulis Lee.
Lebih lanjut Lee menyebut, empat bank besar berstatus BUKU 4 tidak memiliki target untuk melakukan akuisisi terhadap bank-bank kecil. Empat bank besar yang diajak berdiskusi dengan Mirae Asset Sekuritas mengaku tidak memiliki rencana untuk melakukan merger and acquisition (M&A), lantaran wilayah yang tumpang tindih dan sebab-sebab lainnya.
“Dalam pandangan kami, pemerintah perlu memulai diskusi lintas badan pengawasan dengan industri perbankan mulai dari BUKU 1 sampai 4,” pungkas Lee.
Editor: Ign. L. Adhi Bhaskara