tirto.id - Lembaga konsultan Keuangan, Moody’s Investor Service menyebut likuiditas perbankan di Indonesia mengetat. Hal itu terlihat dari pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) yang melambat sejak 2016.
Di samping itu, kondisi ini juga diperburuk oleh keluarnya dana asing dalam bentuk portfolio. Alhasil cadangan likuiditas perbankan di Indonesia saat ini semakin sedikit.
“Kami melihat sejak 2016 DPK melambat. Rasio kredit dibandingkan DPK (loan to deposit ratio) jadi lebih tinggi. Bank memiliki likuiditas lebih sedikit dari sebelumnya,” ucap Analis Moody’s, Tengfu Li dalam paparannya di Hotel Grand Hyatt, Rabu (4/12/2019).
Tengfu menyatakan, kondisi likuiditas perbankan juga tidak merata baik pada bank Buku I hingga Buku IV. Menurutnya, hal ini memang berisiko tetapi dalam 8-12 bulan ke depan, ia yakin likuiditas masih relatif stabil.
Salah satu faktornya adalah permintaan kredit yang juga mengalami tren perlambatan, bahkan sempat direspon dengan pemotongan suku bunga.
Data Otoritas Jasa Keuangna (OJK) per Oktober 2019 menunjukan pertumbuhan kredit hanya di kisaran 6,53 persen di bawah target 10-11 persen.
“Salah satu alasannya adalah permintaan kredit yang lemah,” ucap Tengfu.
Selain itu, ia juga melihat perbankan Indonesia cukup rentan dengan siklus harga komoditas. Ia mengatakan tingkat utang dalam mata uang asing perusahaan di Indonesia masih cukup tinggi dibanding sejawatnya.
Jika tidak hati-hati, hal tersebut dapat bisa berdampak pada nilai tukar dan stabilitas aset perbankan.
Namun, Tengfu memprediksi kondisi perbankan Indonesia masih cukup kuat menghadapi tekanan global.
Ia menyatakan hasil uji tekanan yang dilakukan lembaganya menunjukan resiko penurunan rasio kecukupan modal atau capital adequacy ratio (CAR) dalam jumlah besar. Tetapi menurutnya, kondisi yang tersisa menunjukan perbankan Indonesia masih sanggup bertahan.
“Saat uji tekanan, perbankan Indonesia masih cukup kuat,” ucap Tengfu.
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Hendra Friana