tirto.id - Perang Pasifik pecah pada 8 Desember 1941 dan tidak ada satu orang pun yang menyangka bahwa keadaan berubah dengan amat cepat. Tak terkecuali di Kalimantan Selatan.
Menurut sejarawan Nino Oktorino dalam “Banzai!: Operasi Militer Jepang untuk Menguasai Indonesia” yang dimuat di buku Hubungan Indonesia dan Jepang dalam Lintasan Sejarah (2018: 27-58), tentara Belanda lemah dan sedikit jumlahnya. Belanda hanya bisa berharap kepada sejumlah milisi seperti landwacht (sejenis organisasi pertahanan sipil/Hansip), stadswacht (Hansip untuk kota), Lucht Beseherming Dienst (LBD, Dinas Bahaya Udara), dan Algemene Vernielings Corps (AVC). Nama yang disebut adalah korps untuk melakukan teknik bumi hangus apabila Jepang menduduki Kalimantan.
Pada 25 Desember 1941 Lapangan Terbang Ulin (saat ini Bandara Syamsudin Noor Banjarmasin) dibom Jepang. Bulan berikutnya sebuah pesawat Catalina Belanda, yang sebelumnya mendarat di sungai Barito, diberondong peluru oleh pesawat pemburu Jepang pada 21 Januari 1942. Catalina itu kemudian meledak dan hangus terbakar.
Lapangan Terbang Ulin memang sudah diperkuat oleh Belanda, tetapi persenjataannya jauh ketinggalan dibanding Jepang. Bandara ini hanya dipersenjatai dengan tiga buah senapan mesin Lewis. Di tanggal 28 Januari 1942, Angkatan Udara Belanda mendaratkan sembilan pesawat Glenn Martin yang dipenuhi bom di Ulin. Tujuannya ialah untuk menyergap Angkatan Laut Jepang yang sedang atau akan melintasi selat Makassar.
Nahas, pesawat-pesawat Belanda itu kemudian diserang oleh lima pesawat Zero milik Jepang dan akhirnya hanya tersisa dua unit. Peperangan di Kalimantan Selatan pun semakin dekat.
Banjarmasin Membara
Sejarawan Ooi Keat Gin dalam The Japanese Occupation of Borneo, 1941-1945 (2011: 32-33) mencatat bahwa pada 24 Januari 1924 Balikpapan jatuh. Tentara Jepang bergerak menuju Pasir dan Tanah Grogot. Mereka lalu mendarat di teluk Adang. Sambil mundur, Belanda melaksanakan politik bumi hangus. Persediaan bensin, karet, instalasi-instalasi, pelabuhan, jembatan, kapal motor, dan sebagainya dirusak atau dibakar habis.
Pasukan Jepang kelompok pertama, sebanyak tiga ratus sampai lima ratus prajurit, segera menerobos hutan-hutan ke arah Muara Uya. Sementara kelompok kedua melintasi sungai Pasir ke Tanah Grogot. Pada 4 Februari 1942, setelah melewati jalanan terjal dan curam, 20 prajuritnya tiba di Tanah Grogot. Invasi ke selatan pun terbuka bagi mereka dan orang-orang Belanda di Banjarmasin mulai gusar.
Kemudian dimulailah strategi yang sudah direncanakan Belanda: pembumihangusan kota. Hulu Sungai menjadi daerah pertama yang dibumihanguskan karena antara Muara Uya dan Bungkang terdapat sekira 1.000 prajurit Jepang.
Pada 6 Februari 1942 Tanjung diduduki dan dua hari kemudian disusul Kandangan. Malam sebelumnya, pasukan Belanda membakar habis minyak, persediaan beras, dan karet. Beberapa jembatan juga diledakkan. Tiga buah kapal milik Koninklijke Paketvaart Maatschappij (KPM) masuk ke Banjarmasin untuk mengevakuasi penduduk Belanda yang terkurung di dalam kota.
Pada malam 8 Februari 1942, tepat hari ini 79 tahun lalu, tatkala kapal KPM terakhir bertolak dari Banjarmasin, AVC membuat kota itu menjadi lautan api. Di Banua Anyar dan Bagau, kaleng-kaleng berisi minyak tanah, minyak pelumas, bensin, avgas, dan avtur bertumpuk di banyak sudut. Orang-orang AVC kemudian meledakkan kaleng-kaleng itu dengan bom thermit yang dipasang di antara drum bensin.
Sementara di tengah kota, gardu listrik ANIEM diledakkan dan hangus hingga tinggal fondasi. Tengah malamnya, Pelabuhan Banjarmasin mendapat giliran dan disusul instalasi radio di kantor pos. Esoknya Lapangan Terbang Ulin pun dirusak.
Amukan api bertambah dahsyat dengan pembakaran gudang getah, termasuk milik pengusaha Tionghoa Hok Tong, juga sebagian dari bangunan-bangunan Fort Tatas. Jembatan Coen, satu-satunya jembatan yang menghubungkan kedua bagian kota, diledakkan pada jam 9 pagi. Banjarmasin gemetar oleh ledakan dinamit yang keras.
Menurut sejarawan Wajidi dalam artikel “Pembantaian Komplotan Haga di Borneo Selatan” (2011), pemimpin pemerintahan Belanda, Gubernur B.J. Haga, beserta sejumlah kecil pemimpin terasnya kabur ke Kuala Kapuas, lalu ke Puruk Cahu. Semua orang Belanda yang tidak sempat mengungsi mengikuti pelarian ini. Sedangkan komandannya, Halkema, kabur ke Kotawaringin dan kemudian terbang ke Jawa. Tidak lama di Puruk Cahu, B.J. Haga dan anak buahnya lalu menyerahkan diri kepada penguasa militer Jepang di Banjarmasin pada awal April 1942. Mereka lantas dijadikan interniran.
M. Idwar Saleh dan kawan-kawan dalam Sejarah Tematis Zaman Kebangkitan Nasional (1900-1942) di Kalimantan Selatan (1978: 132-5) menyebut bahwa pada 8 Februari 1942 ini pula rakyat Banjarmasin turun ke jalan untuk menjarah. Mula-mula ke gudang-gudang milik firma Belanda, toko-toko Tionghoa, rumah-rumah orang Belanda, dan Grand Hotel. Malamnya rakyat membakar Pasar Baru.
Pada jam 2 siang puluhan tentara Jepang yang mengendarai sepeda berhenti di muka Jembatan Coen yang telah putus. Mereka memerintahkan rakyat untuk menangkapi orang-orang Belanda dan Tionghoa dan membawa mereka kepada Jepang.
Pada jam 3 sore Wali Kota R. Mulder menyerahkan diri. Ia diiringi Kepala Polisi Ruitenberg dan Meulemans. Ketiganya dibariskan di pinggir jembatan Coen yang telah putus dan ditembak mati. Mayat mereka dilempar ke sungai Martapura. Tiga orang Tionghoa yang dipaksa Jepang menonton peristiwa itu kemudian disuruh berjongkok dan dipancung kepalanya satu per satu. Begitu selesai kejadian, tiga orang Belanda dibawa dan dibantai lagi di atas jembatan.
Di Telawang, empat orang Belanda yaitu Luth (kontrolir Tanjung), Balk (kontrolir Pelaihari), Labrijn (inspektur polisi), dan H.J. Honing dijatuhi hukuman pancung sambil ditonton massa. Mayat mereka dibiarkan bergelimpangan untuk meneror rakyat yang hadir.
Teror Jepang itu berlangsung sepekan. Ketika pasukan Kaigun mengambil alih kota, ketertiban dan keamanan pelan-pelan ditegakkan. Banjarmasin, dan seluruh bekas Hindia Belanda, pun menyongsong penguasa baru: rezim fasis Dai Nippon.
==========
Muhammad Iqbal adalah sejarawan, pengajar IAIN Palangka Raya, dan editor penerbit Marjin Kiri. Baru-baru ini ia menulis buku berjudul Menyulut Api di Padang Ilalang: Pidato Politik Sukarno di Amuntai 27 Januari 1953.
Editor: Ivan Aulia Ahsan