tirto.id - Jawa adalah kunci Jepang. Namun, untuk merebut Jawa, Selat Makassar adalah jalur penting yang harus dibuka oleh tentara Jepang. Merebut beberapa kota penting di sekitar Selat Makassar tentu saja akan sangat membantu serbuan ke Jawa. Tarakan dan Balikpapan adalah kota penting di sekitar Selat Makassar. Minyak dari dua kota itu tentu sangat bermanfaat bagi jalannya perang.
Balikpapan yang sejak awal adalah kota tambang akhirnya kedatangan Hashima dan Ishitasi, yang dari namanya jelas mereka adalah orang Jepang. Di Balikpapan yang lemah dalam hal pertanian, Ishitasi menyambung hidup sebagai pedagang sayur-sayuran di Pasar Klandasan, sementara Hashima bertani sayur di sekitar kawasan perusahaan milik Belanda. Di Balikpapan, perusahaan minyak Belanda Bataafsche Petroleum Maatschappij (BPM) adalah aset penting kaum kapitalis yang dijaga kerajaan Belanda lewat aparat polisi dan tentara kerajaan udiknya, Koninklijk Nederlandsch Indische Leger (KNIL).
Ketika Tarakan disikat Jepang, KNIL dan armada lain Belanda di Balikpapan tentu saja siaga. Ranjau-ranjau telah ditanam di sekitar pelabuhan Semayang oleh HRMS Soemenep, yang dipimpin Letnan Jellema. Setelah Tarakan diduduki, balatentara Jepang mengirim dua tawanan perang untuk mengirim pesan ke Balikpapan. Kapten Colijn dan Kapten Reiderhoff dilepaskan pada 20 Januari 1942 di perairan Selat Makassar dari pesawat amfibi Jepang. Pesan yang dibawa berbunyi: jika ada bumi hangus lagi maka orang-orang Eropa akan dibantai. Kilang minyak di Balikpapan tetaplah jadi sasaran pembumihangusan. Elite militer di Balikpapan tampak tak menghiraukan pesan tentara Jepang itu.
Sebelum serangan besar, pernah ada serangan udara atas kota Balikpapan yang membuat satu orang sipil terbunuh dan 10 orang luka-luka. Seorang Letnan KNIL keturunan Arab, Max Hamid juga terluka sehingga harus diterbangkan ke Jawa.
Di Balikpapan, Letnan Kolonel Cornelius van den Hoogenband memimpin sekitar 1.100 kombatan untuk menghadapi Jepang. Kekutan militer di Balikpapan sejak tahun-tahun sebelumnya sudah ditambah. Djajusman dalam Hancurnya Angkatan Perang Hindia Belanda (KNIL) (1978:143) menyebut detasemen di Balikpapan diperbesar hingga satu batalyon dan juga ditambahi persenjataan berat. Konsentrasi militer terbesar berada di daerah Klandasan, yang menjadi lokasi sebuah tangsi KNIL (kini di sekitar Polres Balikpapan). Daerah pinggiran kota Balikpapan menjadi daerah lemah yang mudah diduduki musuh.
KNIL Keok
Militer Jepang mulai mendekat pada 23 Januari 1942. Setelah pertempuran laut yang dimenangkan armada laut Jepang, 17 kapal pendarat Jepang mendekat. Titik penting pendaratan serdadu Jepang adalah Somber-Sungai Wain (sekitar Teluk Balikpapan) dan pantai-pantai Sepinggan (sebelum Manggar dari arah pusat kota Balikpapan). Ribuan personel pasukan pendarat yang jumlahnya sekitar seribu orang bersiap menyusup masuk.
Hashima dan Ishitasi sudah menunggu kedatangan pasukan Jepang. Ternyata Ishitasi adalah kapten dan Hashima letnan, dalam intel militer Jepang. “Setelah prajurit pelopor Cap Bintang berhasil menyusup ke darat, kedua perwira mata-mata ini langsung bergabung dengan kesatuannya dan memberikan data sistem informasi pertahanan musuh,” tulis Agus Suprapto dalam Perang Berebut Minyak (1996:71). Kedua perwira intel itu tentu memberi informasi berharga dalam perebutan kota minyak Balikpapan.
Perlahan pasti dalam hitungan jam, serdadu-serdadu Jepang mendesak masuk ke arah kota Balikapapan, yang kala itu tak sebesar saat ini. Tentara Jepang akhirnya mencapai Klandasan. Usaha mempertahankan kota oleh KNIL di bawah komando Hoogenband lalu berubah menjadi misi pengunduran diri. Usaha itu tak sepenuhnya berhasil karena serdadu Jepang telah mengepung pinggiran kota. Pasukan KNIL tampak kocar-kacir ketika Jepang menyerbu.
Buku Palagan Perebutan Kota Minyak Sanga-sanga (1982:43) menyebut tentara Jepang masuk dengan mudah ke Balikpapan. KNIL harus jadi pecundang di Balikpapan yang terus diserang sejak malam 23 Januari 1942. Pada 24 Januari 1942, kota Balikpapan sepenuhnya dikuasai oleh militer Jepang.
Serdadu Jepang disambut gembira oleh sebagian bumiputra di Balikpapan. Agus Suprapto (1996:77) menyebut serdadu-serdadu Jepang itu, pada awal 1942, dianggap pembebas. “Makanan dan minuman disediakan dengan sukarela oleh penduduk di sepanjang jalan yang dilalui prajurit Jepang. Teriakan Banzai (hidup) selalu terdengar dari penduduk jika berpapasan dengan prajurit Jepang,” tulis Agus Suprapto.
Hari-hari itu rakyat Balikpapan melihat para serdadu yang mengalahkan Belanda bertubuh kecil yang pakaiannya tidak segagah serdadu KNIL. Sejatinya, tanggal 24 Januari 1942 menjadi hari penting bagi orang Balikpapan, melebihi kota jadi Balikpapan. Hindia Belanda runtuh dan Jepang menguasai Balikpapan.
Orang Belanda dan Indonesia yang bekerja sebagai pegawai maupun serdadu tentu mulai menatap masa depan dengan suram. Mereka tak hanya akan kehilangan gaji, tapi juga kebebasan dan bisa juga nyawa. Serdadu-serdadu KNIL dibariskan dan melakukan parade ke jalan-jalan besar. Orang-orang Indonesia yang tidak ada sangkut pautnya menonton serdadu-serdadu yang dipecundangi itu.
Pada siang hari bolong, 24 Januari 1942 itu, tontonan lain disuguhkan. Tawanan-tawanan perang dibariskan. Seperti diceritakan Agus Suprapto (1996:76) mereka adalah orang-orang Belanda. Di depan pantai Klandasan, tidak jauh dari Polres Balikpapan, mereka dibariskan ke arah laut dan diperintahkan berendam hingga air setinggi dada. Kemudian seregu penembak senapan mesin Jepang memberondongi mereka. Air laut berubah jadi merah.
Di antara yang terbunuh di Pantai Klandasan itu terdapat tenaga kesehatan, pendeta, milisi sipil penghancur, dan tentu saja anggota KNIL. Jepang tampak ingin menepati perkataannya jika kilang minyak dirusak maka orang Belanda akan dibunuh. Setelah kejadian itu, selama beberapa bulan sebagian warga Balikpapan enggan makan ikan.
Editor: Windu Jusuf