Menuju konten utama

Baliho Ganjar Capres 2024 Dinilai Belum Masuk Pelanggaran Pemilu

Menurut Perludem ada kekosongan aturan hukum Pemilu saat pendaftaran capres belum dibuka, namun sudah ada baliho politikus maju sebagai capres.

Baliho Ganjar Capres 2024 Dinilai Belum Masuk Pelanggaran Pemilu
Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo pascapenetapan calon presiden yang diusung oleh PDI Perjuangan, di Bogor, Jawa Barat, Jumat (21/4/2023). FOTO/Tim Humas PDIP

tirto.id - Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo diusung PDIP untuk maju sebagai bakal calon presiden (capres) pada Pilpres 2024.

Beberapa hari kemudian, muncul baliho Ganjar yang saat ini masih berstatus Gubernur Jateng mendadak 'diganti' menjadi capres 2024. Baliho Ganjar itu viral di media sosial.

Persatuan Nasional Aktivis 98 (Pena 98) pun turut memasang baliho raksasa yang bertuliskan “Kami Bersama Ganjar Pranowo” di markasnya, Jalan Cokroaminoto, Menteng, Jakarta Selatan.

Merespons itu, Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini menilai munculnya baliho Ganjar itu tak masuk pelanggaran pemilu.

Sebab, dalam aturan yang ada bahwa baru bisa dikatakan pelanggaran pemilu ketika Ganjar sudah mendaftar secara resmi sebagai capres di Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Adapun aturan mengenai kampanye ialah UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan PKPU Nomor 33 Tahun 2018 tentang Kampanye.

Sementara menilik Peraturan KPU Nomor 3 Tahun 2022 tentang Tahapan dan Jadwal Pemilu Tahun 2024, kampanye Pemilu 2024 baru akan dimulai pada 28 November 2023 hingga 10 Februari 2024.

"Berdasar aturan main yang ada, yaitu UU Pemilu dan Peraturan KPU tentang kampanye, saat ini belum ada peserta pemilu presiden dan wakil presiden," kata Titi saat dihubungi reporter Tirto, Rabu (26/4/2023).

Titi mengatakan saat ini, KPU baru sebatas menetapkan partai politik peserta pemilu. Alhasil, ada kekosongan hukum atas mereka yang baru sebatas dinyatakan partai sebagai calon pilihan mereka atau menunjukkan minat untuk maju di pilpres.

"Aturan kampanye secara formal hanya menyasar peserta pemilu yang ditetapkan KPU, sehingga terkait alat peraga para calon potensial tersebut hanya bisa diterapkan aturan soal tata ruang dan pajak atau retribusi daerah," ucap Titi.

Ia mengatakan hal itu dinilai seperti ruang abu-abu sosialisasi politik di mana akuntabilitasnya tidak bisa dijangkau publik baik soal pengaturan ataupun pendanaan.

Semestinya, kata dia, KPU bisa mengatur ruang kosong ini agar kompetisi bisa berjalan adil, setara, dan akuntabel dari sisi pendanaan politik.

"PKPU Kampanye perlu direvisi untuk membuatnya lebih aksesibel dan kompetitif bagi semua pihak yang ingin maju di Pilpres," jelas Titi.

Menurut pengajar kepemiluan di Universitas Indonesia itu, pemasangan alat peraga harus patuh pada regulasi tata ruang dan pajak atau retribusi daerah.

Selain itu, lanjutnya, tidak merusak lingkungan dan alam dengan sembarangan memaku di pohon. Oleh karena itu, kata dia, agar tidak terjadi kebingungan dan kesalahpahaman di masyarakat soal aktivitas politik para calon potensial ini, KPU dan Bawaslu perlu membuat aturan terkait hal itu.

"Apalagi penyebaran alat peraga tersebut memang untuk kepentingan pemilu dan memberikan insentif elektoral kepada parpol tertentu," pungkas Titi.

Baca juga artikel terkait PEMILU 2024 atau tulisan lainnya dari Fransiskus Adryanto Pratama

tirto.id - Politik
Reporter: Fransiskus Adryanto Pratama
Penulis: Fransiskus Adryanto Pratama
Editor: Bayu Septianto