Menuju konten utama

Bahaya Kesehatan yang Mengancam Korban Tsunami

Pemerintah harus mengantisipasi kemungkinan penyakit ringan hingga risiko kematian.

Bahaya Kesehatan yang Mengancam Korban Tsunami
Korban gempa selamat berjalan di Bandara Mutiara Sis Aljufri untuk dievakuasi di Palu, Sulawesi Tengah, Sabtu (29/9/2018). ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja

tirto.id - Gempa bumi berkekuatan 7,7 SR mengguncang Kabupaten Donggala, Kota Palu, Sulawesi Tengah pada hari Jumat (28/9/2018), disusul tsunami yang menyebabkan banyak korban jiwa.

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) pada Ahad (30/9/2018) pukul 13.00 WIB mengumumkan jumlah korban tewas akibat gempa sekaligus tsunami di Palu dan Donggala, Sulawesi Tengah mencapai 832 orang. Sebanyak 821 korban jiwa ditemukan di Kota Palu, sementara 11 korban tewas dari Donggala.

“Korban yang meninggal umumnya karena tertimpa bangunan dan diterjang tsunami. Untuk itu, korban meninggal akan segera dimakamkan secara layak dan massal. Ini karena pertimbangan kesehatan,” kata Kepala Pusat Data, Informasi, dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho.

Sebelumnya, BNPB mengatakan jumlah pengungsi yang berada di Palu hingga Sabtu (29/9/2018) lebih dari 10.000 orang yang tersebar di 50 titik. “Sampai malam ini, ditaksir 10.000 pengungsi yang tersebar di 50-an titik dalam Kota Palu. Mereka akan diberi bantuan tempat berlindung, makanan dan obat-obatan bagi yang sakit,” kata Wilem.

Wilem juga menyampaikan bahwa TNI telah mengerahkan sejumlah bantuan medis dan tenaga medis-paramedis beserta Kapal Rumah Sakit yang akan merapat di Kota Palu dalam satu hingga dua ke depan untuk perawatan korban yang sakit.

Bencana Tsunami dan Penyakit

Tsunami tak hanya mengakibatkan warga kehilangan tempat tinggal dan anggota keluarganya saja. Pemerintah mesti waspada terhadap penyakit yang mengintai para pengungsi.

Seperti ditulis Carol Potera pada artikelnya yang berjudul “In Disaster’s Wake: Tsunami Lung” (PDF), usai Tsunami Asia yang terjadi pada 26 Desember 2004 lalu, Kementerian Kesehatan telah melakukan persiapan terhadap serangan penyakit yang ditularkan melalui air, seperti malaria dan kolera.

Kala itu, air laut mencemari air bersih yang menjadi tempat berkembang biak nyamuk, dan menyebarkan penyakit malaria. Namun, rupanya, meskipun pemerintah berhasil mengantisipasi wabah kolera yang sering terjadi pada bencana air, beberapa korban selamat justru terkena pneumonia yang mereka sebut sebagai “tsunami lung”.

Infeksi paru-paru itu muncul ketika para korban yang tersapu oleh gelombang tsunami menghirup air laut yang terkontaminasi dengan lumpur dan bakteri.

Dalam artikel itu, seorang pulmonologis dari Massachusetts General Hospital di Boston, David Systrom, mengatakan tsunami 2004 “menghabisi” seluruh infrastruktur medis dan antibiotik untuk mengobati infeksi pada tahap awal.

Akibatnya, paru-paru korban infeksi bernanah, masuk ke aliran darah, dan menyebar ke otak, menghasilkan abses dan permasalahan neurologis seperti kelumpuhan.

Dalam bencana itu, tercatat ada 25 kasus paru-paru tsunami. “Tidak ada yang mengira jumlah kasus paru-paru tsunami yang kita lihat,” ungkap Systrom.

Dalam kasus paru-paru tsunami, kombinasi mikroba berkontribusi terhadap terjadinya penyakit tersebut, apalagi tidak ada fasilitas laboratorium yang tersedia untuk mengidentifikasi penyakit tersebut.

Risiko kesehatan juga menghantui para korban tsunami di Haiti pada 12 Januari 2010 lalu. Seperti dilansir Time, warga Haiti terancam risiko kesehatan akibat hancurnya fasilitas kesehatan dasar dan sanitasi. Selain itu, jutaan orang kehilangan tempati tinggal mereka, serta persebaran penyakit menular yang tak terkendali dan kontaminasi. Itu yang dikatakan Pino Annuziata, Koordinator Tanggap Darurat Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) kepada Time.

Saat itu, WHO menganggap bencana tsunami yang melanda Haiti juga merupakan bencana kesehatan masyarakat, sebab Haiti merupakan salah satu negara termiskin di dunia. Kota-kota di Haiti tidak memiliki sistem pembuangan kotoran umum, dan kurang dari separuh penduduk yang memiliki akses ke layanan air minum. Akibatnya, korban yang selamat terancam dehidrasi.

Selain itu, buruknya sistem sanitasi di Haiti mendatangkan ancaman kolera dan disentri akibat penyebaran penyakit yang terbawa air. Ancaman lain adalah campak dan infeksi, sebab separuh penduduk Haiti berusia di bawah 18 tahun dan memiliki kondisi kesehatan yang buruk.

Di Jepang, hal ini juga pernah terjadi tsunami pada 11 Maret 2011 lalu. Akibatnya, WHO mencatat beberapa laporan kesehatan para korban selamat. Dalam artikel berjudul “Impact of the Great East Japan Earthquake and tsunami on health, medical care and public health systems in Iwate Prefecture, Japan, 2011.

Pada bencana tersebut, WHO menerima beberapa laporan kesehatan seperti hipertensi karena mereka tak bisa mengonsumsi obat, dan tingkat stres yang meningkat akibat bencana. Selain itu juga ada permasalahan deep vein thrombosis (DVT) karena kurang cairan dan kurang olahraga.

Masalah pernapasan juga menjadi akibat dari bencana tsunami yang disebabkan oleh debu dan influenza. Selain itu, WHO juga mencatat adanya keluhan penyakit infeksi seperti influenza dan infeksi gastroenteritis.

Efek Tsunami pada Kesehatan

David Batty dan David Callaghan pernah membeberkan penyakit-penyakit yang mengancam korban tsunami melalui artikel berjudul “Tsunami health hazards” di The Guardian, yakni kolera, diare, malaria, infeksi dada, demam berdarah dengue, typhoid, hepatitis A, infeksi vagina, dan penyakit anak-anak.

Kolera merupakan infeksi usus yang disebabkan oleh bakteri, dan disebarkan oleh air dan makanan yang terkontaminasi. Biasanya, wabah tersebut disebabkan oleh pasokan air yang tercemar. Penyakit ini merupakan penyakit yang paling mengancam kesehatan korban tsunami, sebab kolera bisa menyebabkan diare dan muntah parah. Satu dari 10 pasien kolera berpotensi menderita dehidrasi, dan rentan terjadi pada anak-anak dan orangtua. Selain kolera, penyakit yang umum menyerang korban tsunami adalah diare.

Infografik Penyakit Pasca-Tsunami

Menurut WHO, malaria juga menjadi penyakit yang mengancam kesehatan pasca tsunami. Malaria merupakan penyakit yang ditularkan oleh nyamuk dengan cara menggigit manusia, dan menyuntikkan parasit malaria ke dalam darah, dan akan menginfeksi hati serta menghancurkan sel darah merah.

Tak hanya itu, WHO juga menyebut infeksi dada sebagai penyakit yang sering terjadi pada korban tsunami, termasuk penyakit pernapasan ringan hingga yang berisiko menyebabkan kematian seperti bronkitis akut dan pneumonia.

Situs resmi Centers for Disease Control and Prevention mempublikasikan artikel berjudul “Health Effects of Tsunamis”. Di situ, tertulis masalah kesehatan utama masyarakat adalah air bersih layak minum, makanan, tempat tinggal, serta perawatan medis untuk cedera.

Hilangnya tempat tinggal membuat orang rentan terhadap paparan, serangga, panas, dan berbahaya bagi lingkungan. Selain itu, air yang terkontaminasi dan kurangnya persediaan makanan dapat menyebabkan penyakit. Apalagi akses kesehatan mereka telah berkurang.

Dalam artikel berjudul “Tsunamis: Water Quality” yang ada pada Centers for Disease Control and Prevention menjelaskan bahwa tsunami menciptakan gelombang air laut yang dapat menyapu area geografis yang luas. Saat air laut menerjang daratan, air bersih akan bercampur dengan air laut dan berpotensi terkontaminasi mikroorganisme seperti bakteri, virus, parasit, serta bahan kimia yang berpengaruh terhadap kesehatan manusia.

Mikroorganisme tersebut berbahaya saat tertelan, meskipun dalam jumlah kecil. Selain itu, menggunakan air yang terkontaminasi untuk pembersihan luka kecil dan luka terbuka juga menimbulkan bahaya infeksi.

Kontaminan kimia yang terikut bersama banjir tsunami itu juga berpotensi mencemari sumur. Kontaminan tersebut dapat berasal dari tangki bahan bakar, atau pestisida. Untuk itu, pasca tsunami, warga disarankan untuk menguras sumurnya dan memberikan desinfektan.

Baca juga artikel terkait GEMPA PALU DAN DONGGALA atau tulisan lainnya dari Widia Primastika

tirto.id - Kesehatan
Penulis: Widia Primastika
Editor: Maulida Sri Handayani