tirto.id - Pertempuran terus berkecamuk di Yaman, sekitar 7 ribu orang tewas dan 42 ribu orang lainnya terluka dalam perang yang berkecamuk selama dua tahun terakhir. Pemukiman warga sipil hingga fasilitas publik tak luput dari perang tersebut. Perang tak hanya melumpuhkan kehidupan penduduk Yaman. Setelah hancur di dera perang, kini warga harus menghadapi wabah kolera yang mematikan. Sebanyak 69 kasus kolera baru tercatat di rumah sakit di Sana'a pada awal Mei.
Badan Kesehatan Dunia (WHO) mencatat sebanyak 51 orang tewas dalam dua minggu terakhir dan 2.752 kasus dugaan kolera sejak 27 April lalu. Kasus tersebut dilaporkan dari 10 provinsi termasuk ibukota Sana'a.
“Kami sangat prihatin dengan munculnya kembali kolera di beberapa wilayah di Yaman dalam beberapa minggu terakhir. Sekarang upaya mencegah wabah harus ditingkatkan dan menghindari peningkatan dramatis dalam kasus penyakit diare,” kata perwakilan WHO di Yaman, Nevio Zagaria seperti dikutip dari Xinhua.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan mitranya meningkatkan upaya untuk mengatasi lonjakan penularan kolera di beberapa bagian Yaman, menurut Juru Bicara PBB Stephane Dujarric.
Wabah kolera di Yaman diumumkan oleh Kementerian Kependudukan dan Kesehatan Masyarakat Yaman pada 6 Oktober 2016. WHO juga melaporkan 51 kasus kolera yang dikonfirmasi dari 9 provinsi di Yaman. Pada bulan tersebut, tercatat sekitar 1.180 kasus dugaan kolera.
Serangan Kolera
Kolera merupakan penyakit diare akut yang disebabkan oleh infeksi usus akibat terkena bakteriVibrio cholerae. Diare akut dapat menyebabkan kehilangan cairan tubuh sehingga dapat mengakibatkan dehidrasi dan jika tak ditangani dengan cepat maka dapat menyebabkan kematian.
Seseorang dapat terkena kolera jika meminum air atau makanan yang terkontaminasi bakter kolera. Namun, dalam situasi wabah (epidemik), biasanya tinja dari orang yang terinfeksi juga dapat menjadi sumber kontaminasi.
Kolera bisa menjadi endemik atau epidemik di suatu wilayah. Daerah endemik kolera adalah daerah dengan kasus kolera yang dikonfirmasi terdeteksi selama 3 tahun terakhir dengan bukti transmisi lokal (yang berarti kasus tidak diimpor dari daerah lain).
Wabah atau epidemik kolera didefinisikan dengan terjadinya setidaknya 1 kasus kolera yang terkonfirmasi dengan bukti transmisi lokal di daerah yang biasanya tidak ditemukan adanya kolera sebelumnya, menurut WHO.
Lantas apa hubungan perang dengan kolera? Transmisi kolera erat kaitannya dengan akses yang tidak memadai terhadap air bersih dan sanitasi. Perang yang terjadi di Yaman telah membuat sekitar 7,6 juta orang harus tinggal di kamp-kamp pengungsian.
Di kamp-kamp pengungsian, warga Yaman menghadapi masalah minimnya air bersih karena fasilitas air bersih yang hancur karena perang. Selain itu, sumber air di Yaman juga ada yang terkontaminasi oleh limbah.
Hal ini diakui pihak WHO yang mengungkapkan jika kerusakan fasilitas air bersih sebagai pemicu meningkatnya kasus kolera di Yaman. Kondisi yang minim air bersih tersebut menyebabkan mereka berisiko tinggi tertular kolera.
Selain itu, mereka yang terserang kolera sulit mendapat pelayanan kesehatan karena rumah sakit serta fasilitas kesehatan di Yaman hancur karena perang. Pada Agustus 2016, pesawat koalisi mengebom sebuah rumah sakit di kota Abs. Serangan itu menewaskan 19 orang dan menyebabkan 24 orang lainnya terluka. Ini adalah serangan keempat ke fasilitas medis. Rumah sakit yang hancur tentu berakibat pada penangan kolera yang akan menjadi lambat. Sedangkan pasien kolera yang lambat ditangani media dapat berujung pada kematian.
Serangan wabah kolera juga ternyata tak pandang usia, termasuk anak-anak. Sejumlah anak-anak dilaporkan mengalami dehidrasi ekstrem. Kementerian Kesehatan Yaman mengungkapkan terdapat delapan kasus kolera yang melibatkan anak-anak di kota Sana'a.
“Wabah ini (kolera) menambah kesengsaraan jutaan anak di Yaman,” kata perwakilan Badan Anak-Anak PBB (UNICEF), Julien Harneis seperti dikutip Aljazeera.
Kolera memang sering menimpa kawasan-kawan yang dilanda perang. Selain Yaman, kasus kolera juga terjadi di Irak. Lebih dari seribu kasus kolera telah terkonfirmasi di Irak. Kolera juga terkonfirmasi di Kuwait serta Bahrain. Pengungsi Suriah yang berada di Timur Tengah juga berada di bawah bayang-bayang korela. Sedangkan pengungsi yang di Eropa dinyatakan tak begitu berpotensi karena air bersih serta sanitasi yang memadai.
Jauh sebelumnya, kolera juga menyerang Eropa. Lebih dari 23 ribu orang tewas karena kolera di Inggris pada tahun 1854. Di Italia korbannya mencapai 5000 orang. Rusia mencatat salah satu yang tertinggi dengan jumlah korban meninggal yang mencapai 200 ribu orang pada tahun 1893-1894.
Indonesia juga tak luput dari kolera. Pada tahun 1820, lebih dari 100 ribu orang meninggal di pulau Jawa karena kolera. Pada 1961, terjadi pandemi kolera di Pulau Sulawesi. Kemudian menyebar ke seluruh Asia selama tahun 1960an.
Yang Perlu Dilakukan dalam Melawan Kolera
Hal pertama yang perlu dilakukan agar terjauh dari kolera yang direkomendasikan oleh WHO adalah meminum air yang bersih. Pengadaan air bersih tentu sangat diperlukan terlebih bagi mereka yang berada di kamp-kamp pengungsian. Penggunaan vaksin juga diperlukan agar mengurangi penyebaran kolera.
Selain itu, pengobatan pertama bagi penderita kolera dapat dilakukan dengan jalan mengganti cairan tubuh dan garam yang hilang akibat diare. Pasien juga dapat diobati dengan diberikan larutan yang terdiri dari campuran garam dan gula. Larutan ini digunakan di seluruh dunia untuk mengobati diare. Namun dalam kasus diare parah, pasien tentu harus mendapat penanganan medis.
Laporan WHO menyebut terjadi peningkatan dari 129 ribu kasus kolera pada 2013 menjadi 190 ribu pada 2014, dengan 2.231 korban jiwa secara global. Serangan kolera di Yaman dapat menjadi pengingat untuk segera mengambil langkah pencegahan untuk menekan penyebaran kolera.
Penulis: Yantina Debora
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti