Menuju konten utama

Bagaimana Sepakbola Inggris Mengingat Ray Wilkins

Ray Wilkins: Legenda Chelsea yang baik hati

Bagaimana Sepakbola Inggris Mengingat Ray Wilkins
Ray Wilkins di tim Nasional Inggris. FOTO/Istimewa

tirto.id - Harimau mati meninggalkan belang, kata pepatah, dan gajah mati meninggalkan gading. Peribahasa tersebut merujuk jejak yang selalu ditinggalkan mereka yang pernah hidup. Warisan yang bisa berarti apa saja. Baik atau buruk.

Pemain bola, tentu saja, sering diingat nama atau jasanya lewat kiprah mereka di lapangan sewaktu meninggal. Johan Cruyff, Ferenc Puskas, Bobby Robson, untuk menyebut segelintir, umumnya dikenang orang karena keluarbiasaan yang mereka pernah tunjukkan di atas rumput.

Namun, berita kematian Ray Wilkins—pemain gelandang yang pernah berkostum Chelsea, Manchester United, AC Milan, Paris St Germain, Glasgow Rangers—4 April kemarin, memunculkan ingatan yang lain di benak orang-orang yang pernah mengenal dan berhubungan dengannya.

Cerita-Cerita tentang Wilkins

Simak misalnya cerita Jim White di tulisan berjudul “Ray Wilkins – A True Gentleman Who was Ahead of His Time” di Telegraph.

“Sebulan lalu,” demikian White membuka tulisannya, “sewaktu Chelsea menjamu Crystal Palace, Ray Wilkins tengah berjalan menuju tempat dia biasa duduk di bagian depan Tribun Timur stadion Stamford Bridge.”

Sewaktu mencapai area khusus jurnalis, Wilkins melihat Paul Parker, rekan satu timnya sewaktu di Queens Park Rangers (QPR) dulu. “Bagi kebanyakan kita,” tulis White, “lambaian tangan ... mungkin sudah cukup sebagai sapaan. Tapi buat Wilkins rupanya itu belum.” Ia berjalan menuju tempat temannya, sambil beberapa kali bilang permisi dengan sopan kepada orang-orang. Ketika sampai, ia lantas memeluk kawannya itu dengan hangat.

“Namun, yang terjadi selanjutnya lebih luar biasa lagi,” lanjut White. Pasalnya Wilkins masih menyempatkan diri selama sepuluh menit untuk memenuhi permintaan beberapa suporter Chelsea untuk bersalaman dan berfoto selfie.

“Itulah Wilkins yang sebenarnya: ramah dan mudah bergaul. Ia manusia yang selalu punya waktu untuk setiap orang,” tandas White.

Nigel Qiashie memiliki cerita lain tentang pemain kelahiran Hiilingdong, 14 September 1956 ini. Sebagaimana yang dilansir BBC, saat itu Quashie baru saja melakukan debutnya sebagai pemain profesional di klub QPR yang bertandang ke kandang Manchester United, Old Trafford. Di QPR tahun 1995 itu, Wilkins bertindak sebagai pelatih-pemain yang sudah dijalaninya setahun lalu.

Setelah pertandingan yang berkesudahan 2-1 untuk kemenangan tim tuan rumah itu, Quashie meminta izin Wilkins untuk menelepon ibunya. Saat itu, keluarga Quashie termasuk salah seorang yang masih belum memiliki ponsel karena berasal dari kalangan kurang berada.

Wilkins lantas menyerahkan ponsel miliknya dan meminta Quashie untuk menghubungi nomor yang tertera di sana. Sewaktu Quashie menghubungi nomor itu, ternyata ibunya yang menjawab seraya berkata bahwa ia ada di luar di samping bus tim QPR.

“Saya keluar untuk menemui ibuku lalu bertanya bagaimana ia bisa berada di sini karena saya tahu ibuku tidak memiliki biaya untuk melakukan perjalanan itu. Ibuku berkata bahwa Ray berhasil membujuk pihak klub membayar tiket kereta ibuku agar ia bisa datang menonton pertandingan. Ibuku lantas memberitahu bahwa Ray pun berhasil membuat pihak klub untuk memberi kami ponsel pertama dalam kehidupan kami dan menurut ibuku Ray ingin membuat surprise sebagai hadiah aku melakukan debut.”

Sejak berita kematiannya menghiasi media-media, testimoni-testimoni yang muncul ke permukaan hampir semuanya senada: betapa Wilkins seorang gentlemen yang benar-benar.

Menjadi Kapten Termuda

Ingatan orang-orang tentang kepribadian Wilkins dan bukan pada prestasinya di lapangan mungkin memunculkan anggapan bahwa dia bukan pesepakbola handal. Tentu saja itu keliru. Wilkins memang bukan Bobby Robson atau Stanley Matthews, tetapi pemain yang memulai debutnya bersama Chelsea saat usianya 17 tahun ini sering dianggap sebagai salah satu pemain gelandang terbaik di generasinya.

Berasal dari keluarga pesepakbola—ayah dan ketiga saudaranya juga merupakan pemain bola—karier Wilkins meroket cepat. Selang setahun semenjak debutnya, ia langsung ditunjuk sebagai kapten tim pada 1974. Ini membuat Wilkins menjadi kapten termuda dalam sejarah Chelsea.

Meski demikian, Wilkins agak kurang beruntung ketika berkarier sebagai pemain. Tiga klub pertama yang dibelanya tidak sedang berada dalam era keemasan. Itu kenapa Wilkins minim sekali mencicip gelar.

Chelsea, misalnya. Medio 1970-an merupakan awal era kemunduran bagi klub asal London tersebut setelah di musim 1970/71 meraih Piala Winner. Di tahun 1975/76 Chelsea terdegradasi ke Divisi Dua. Selama dua musim Wilkins bermain di kasta kelas dua itu. Di musim 1977/78 Chelsea kembali promosi.

Infografik raymond colin wilkins

Namun itu rupanya tak bertahan lama. Ketika musim 1979/1980 Chelsea kembali terdegradasi, Wilkins—yang telah memiliki reputasi sebagai pemain bintang—dibeli oleh Manchester United. Nilai transfer sebesar 825,000 poundsterling menjadi bukti betapa tingginya Wilkins dihargai sebagai pemain muda berbakat. Apalagi sudah sejak 1976, ia membela timnas Inggris. Bersama United, Wilkins meraih Piala FA pada 1983 dan ikut menyumbang gol di partai final.

Pada 1984 Wilkins pindah ke AC Milan dengan rekor transfer di Liga Inggris sebesar 1.5 juta poundsterling. Namun, saat itu Milan sedang dalam masa transisi setelah dua kali menjalani musim di Seri B pada 1980/81 dan 1982/83. Menghabiskan 3 tahun di Milan, Wilkins tidak meraih gelar apapun.

Persinggahan Wilkins selanjutnya adalah Paris St Germain. Hanya bertahan empat bulan, ia pindah ke Liga Premier Skotlandia bersama Rangers. Di klub barunya inilah ia merasakan gelar utama dengan membawa klub asal Glasgow itu meraih gelar dobel, juara liga dan piala liga pada musim 1988/99.

Setelah bermain di Skotlandia selama dua tahun, Wilkins kembali ke Inggris dan bermain untuk 6 klub berbeda sampai tahun 1997. Ia pensiun di usia 40 tahun.

Depresi dan Pencadu Alkohol

Seusai pensiun, Wilkins melanjutkan kariernya sebagai pelatih—posisi yang pernah diembannya ketika masih tampil sebagai pemain di QPR. Selain QPR, tim yang pernah dilatihnya adalah Fullham, dan timnas Jordania. Karier kepelatihan Wilkins sayangnya tidak berjalan mulus. Beberapa kali ia dipecat. Karena itu Wilkins lebih banyak duduk sebagai asisten pelatih.

Yang tak disangka orang-orang, Wilkins ternyata sering mengalami depresi. Dan perjuangannya melawan depresi sudah dimulai sejak ia ditunjuk menjadi kapten pada usia 18 tahun. Berlanjut ketika kariernya di QPR selesai, dan ketika dipecat sewaktu menjadi asisten Carlo Ancelotti di Chelsea pada 2010. Pelarian Wilkins adalah alkohol. Beberapa kali ia terkena tilang karena kadar alkohol dalam darahnya di atas normal ketika mengemudi.

Kendati demikian, seperti yang diungkapkan Peter Reid kepada BBC, Wilkins tak pernah menunjukkan itu.

"Kelebihan Ray adalah kita tahu dia memiliki masalah, namun kita takkan pernah bisa menebaknya. Ia pasti mengalami hari-hari buruk, namun itu tidak pernah terlihat ke permukaan. Ia selalu tampak elegan, tersenyum ceria."

Baca juga artikel terkait OBITUARI atau tulisan lainnya dari Bulky Rangga Permana

tirto.id - Olahraga
Reporter: Bulky Rangga Permana
Penulis: Bulky Rangga Permana
Editor: Zen RS