tirto.id - Pertamina Hulu Energi Offshore North West Java (PHE ONWJ) masih berjibaku menghentikan kebocoran minyak dan gas di sumur YYA-1 Blok Offshore North West Java (ONWJ) di lepas pantai Karawang, Jawa Barat.
VP Relation PHE ONWJ Ifki Sukarya mengatakan sejak awal Agustus lalu mereka masih melakukan pengeboran relief well alias sumur baru (YYA-1RW). Sejauh ini pengeboran sudah mencapai kedalaman 1.464 meter--sekitar 55 persen dari target 2.765 meter atau sekitar 9.000 feet.
"Pengeboran relief well alias sumur baru (YYA-1RW) untuk menginjeksikan fluida berupa lumpur berat agar sumur YYA-1 bisa ditutup permanen," katanya lewat keterangan yang diterima reporter Tirto, Senin (13/8/2019).
Tanda-tanda kebocoran sebetulnya sudah terlihat pada 12 Juli lalu. Muncul gelembung saat Pertamina mengaktifkan kembali sumur yang pernah dibor pada 2011 itu.
PHE ONWJ langsung menyatakan keadaan darurat operasi dan menghentikan semua aktivitas pengeboran.
Saat itu, tutur VP Corporate Communication Pertamina Fajriyah Usman, Incident Management Team (IMT) langsung bergerak menangani gelembung gas. Setelah dua hari bekerja, pekerja di anjungan dan menara pengeboran (rig) gagal meredam gelembung gas.
Ahad, sekitar pukul 22.40 WIB, barulah IMT memutuskan mengevakuasi seluruh pekerja ke tempat aman. Saat itulah tumpahan minyak (oil spill) yang dikhawatirkan pun muncul di laut Karawang. Penanganan pun makin intensif.
Ini jelas perkara besar. Kata Direktur Hulu Pertamina Dharmawan H Samsu, sumur YYA-1 diperkirakan dapat memproduksi 3.000 barel per hari (BPH) dan gas 23 juta kaki kubik per hari.
Jika prediksi lifting itu sesuai, potensi tumpahan minyak di anjungan lepas pantai ONWJ bisa di atas seribu BPH.
Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Karawang Hendro Subroto menyebut ada 8.000 orang terkena dampak tumpahan minyak. Sementara Direktur Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Karliansyah menyebut warga terdampak tersebar di 12 desa di Karawang dan Bekasi serta tujuh pulau di Kepulauan Seribu.
Selain tak bisa melaut, lebih dari 9.00 orang juga terkena penyakit seperti gatal-gatal dan infeksi saluran pernapasan akut setelah terpaksa membersihkan pantai dari minyak. Warga yang ikut membersihkan limbah minyak itu dibayar Rp100 ribu per hari dan mendapatkan makan dari Pertamina.
Melihat jumlah warga terdampak, bencana ini bisa dibilang lebih parah dibanding kasus serupa yang terjadi pada 13 Maret tahun lalu. Kebocoran yang terjadi di Teluk Balikpapan Kalimantan Timur itu berdampak pada 1.200 warga.
Kebocoran di Balikpapan disebabkan karena salah satu pipa distribusi minyak mentah di bawah Teluk Balikpapan patah terkena jangkar kapal MV Ever Judger milik perusahaan Panama Ever Judger Holding Company Limited.
Penanganan & Ganti Rugi
Secara umum, jika terjadi kasus kebocoran, yang dilakukan Pertamina pertama-tama adalah menangani sumber bencana dan efeknya (pencemaran). Di Karawang, untuk melakukan itu Pertamina sudah menurunkan 46 unit kapal dan 3.616 personel.
Dengan kekuatan finansial yang dimilikinya, Pertamina juga mendatangkan Boots and Coots, perusahaan yang punya rekam jejak cukup panjang dalam penanganan insiden kebocoran migas, salah satunya adalah menangani kasus minyak di Teluk Meksiko pada 2019 yang kisahnya diangkat Hollywood di layar lebar.
Perusahaan tersebut melakukan pengeboran dari Rig Jack Up Soehanah yang sudah berada di sekitar lokasi relief well YYA-1RW pada 27 Juli 2019. Rig tersebut didatangkan khusus lantaran Rig YYA-1 tak bisa lagi dioperasikan.
"Kalau enggak ada kendala lain di lapangan, Pertamina memperkirakan bisa selesai [menutup kebocoran] bulan September," kata Direktur Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan KLHK Karliansyah.
SVP Development and Production Pertamina Panji Sumirat menyampaikan, hingga saat ini mereka masih menginvestigasi penyebab utama kebocoran. Setiap insiden beda-beda penyebabnya, karena itu pula ia enggan mengomentari insiden lain.
Ia hanya memastikan hasil investigasi nanti akan dijadikan pelajaran agar tak terjadi di kemudian hari.
"Dan memastikan kami mendapatkan pelajaran untuk membuat tim yang lebih kuat lagi," terangnya.
Selain menangani sumber masalah, seperti kasus Balikpapan, Pertamina juga akan memberikan kompensasi bagi warga.
Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati mengatakan pertama-tama perusahaannya akan melakukan verifikasi ke pemerintah setempat. Mereka akan bekerja sama dengan pemerintah Kabupaten Karawang agar kompensasi tak salah sasaran.
Nicke belum bisa menyampaikan berapa besaran ganti rugi yang harus ditanggung perusahaannya.
"Ada tahapannya. Jumlah yang menetapkan bukan kami [yang menentukan]. Itu pemerintah daerah. Itu kami tunggu keputusan mereka," ucap Nicke dalam konferensi pers di Kantor Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Jakarta, Kamis dua pekan lalu.
Jika ada yang perlu ditambah, itu adalah memastikan kompensasi dibayar tepat waktu. Dalam kasus kebocoran di Balikpapan, hanya 83 dari 1.200 warga terdampak yang mendapat ganti rugi pada September, atau kira-kira enam bulan setelah kejadian.
Padahal, seperti diwartakan Antara, janji Pertamina adalah ganti rugi turun pada Juni atau sebelum Idul Fitri.
Warga pun kecewa karenanya.
Penulis: Hendra Friana
Editor: Rio Apinino