tirto.id - Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pandemi COVID-19 telah mengganggu pola inflasi di Indonesia. Hingga Juli 2020 ini, BPS menyatakan pergerakan inflasi sudah meninggalkan trennya seperti yang terjadi di 2019.
Kepala BPS Suhariyanto menyatakan salah satu buktinya terlihat dari Juli 2020 yang mengalami inflasi minus 0,1% alias deflasi. Deflasi ini tentu tidak biasa karena terjadi dua bulan sesudah periode Ramadan yang berakhir per Mei 2020.
Jika mengikuti pola 2019, maka deflasi baru terjadi 3 bulan sesudah Ramadan. Pada September 2019 sesudah 3 bulan dari Juni 2019 misalnya, terjadi inflasi minus 0,27%.
“Saya sampaikan pada rilis sebelumnya juga inflasi tahun ini beda jauh dengan inflasi tahun sebelumnya karena ada pandemi COVID-19,” ucap Suhariyanto dalam konferensi pers virtual, Senin (3/8/2020).
Gangguan COVID-19 pada inflasi Indonesia sebelumnya juga sudah terlihat pada rendahnya inflasi di bulan Ramadan yang jatuh selama April-Mei 2020. Inflasi keduanya tercatat hanya 0,08 dan 0,07%. Idealnya inflasi seharusnya terjadi di Ramadan seperti Mei-Juni 2019 di kisaran 0,68 dan 0,55%.
Suhariyanto mengatakan kondisi Ramadan 2020 memang berbeda karena jumlah uang yang beredar tak banyak. Hal ini merupakan imbas dari penurunan permintaan dan perputaran uang yang bersumber dari penurunan aktivitas ekonomi karena COVID-19.
“Memang tidak wajar, situasi tidak normal,” ucap Suhariyanto.
Secara lebih detail, gangguan pola ini juga tampak dari kelompok-kelompok pengeluaran yang dicatat BPS secara berkala. Yang paling kentara adalah rendahnya inflasi pendidikan padahal bulan Juli bertepatan dengan pembukaan tahun ajaran baru.
Inflasi Juli 2020 hanya 0,16% dengan andil 0,01%. Salah satu komponen yang mendapat perhatian BPS adalah kenaikan biaya sekolah SD dengan andil 0,01%.
Berbeda dengan Juli 2018-2019, inflasi sub sektor pendidikan waktu itu mencapai 1,29% dan 1,16%. Sementara itu inflasi perlengkapan pendidikan Juli 2018-2019 adalah 0,56% dan 0,66%.
Di samping pendidikan, inflasi dari kategori makanan, minuman, dan tembakau juga mengalami perubahan. Selama Juli 2018 dan 2019, kelompok pengeluaran ini mengalami inflasi 0,45% dan 0,24%. Di 2020, justru tercatat inflasi minus 0,73% alias deflasi dengan andil minus 0,19%.
Kelompok bahan makanan juga sama. Selama Juli 2019 terjadi inflasi 0,8% dengan andil 0,17%. Periode yang sama di tahun 2020 malah tercatat inflasi minus 1,06% dengan andil minus 0,19%.
Sejumlah penyebabnya terkait turunnya harga sejumlah komoditas pangan. Antara lain bawang merah dengan andil deflasi 0,11%, daging ayam ras 0,04%, bawang putih 0,03%. Lalu ada penurunan harga beras, cabai rawit, kelapa, dan gula pasir dengan andil masing-masing 0,01%.
Sebaliknya penyumbang inflasi tertinggi di Juli 2020 ini adalah pengeluaran perawatan pribadi dan jasa lainnya. Inflasinya mencapai 0,93% dengan andil 0,06%. Kedua angka itu adalah yang tertinggi dari 11 kelompok indikator yang dipantau BPS.
Komoditas penyumbang inflasi dalam kategori ini adalah kenaikan harga emas yang terjadi di 80 dari 90 kota IHK yang menjadi basis data BPS. Andil inflasi emas sendiri mencapai 0,05%.
Sejalan dengan itu harga emas Antam juga menunjukkan kenaikan hingga di posisi puncak Rp1,028 juta per gram. Padahal selama 2019 hingga sebelum pandemi COVID-19 di awal Maret 2020, harganya berfluktuasi di kisaran Rp600-700 ribu per gram.
Sejumlah penyebab kenaikan harga emas bisa ditelisik dari keputusan sebagian masyarakat untuk berinvestasi di aset yang dinilai lebih aman dari inflasi dan penurunan nilai mata uang. Belum lagi pandemi COVID-19 dikhawatirkan terus berlanjut dan kasusnya masih naik.
Penurunan Daya Beli
Salah satu perubahan terbesar yang diakibatkan COVID-19 pada inflasi hingga semester I 2020 adalah pergerakan inflasi yang memberi sinyal penurunan daya beli.
Inflasi tahunan Juli 2020 menunjukkan tanda terus menurun dari April ke Juli 2020. Secara berturut-turut dari 2,67% menjadi 2,19%, 1,96%, dan 1,54%.
Inflasi tahun kalender Juli 2020 juga mencapai 0,98%. Idealnya inflasi pada Juli tiap tahunnya selalu di atas 1% seperti tahun 2019 di kisaran 2,36%.
Suhariyanto bilang COVID-19 telah menyebabkan tren inflasi Indonesia dan berbagai negara melambat bahkan mengarah deflasi. Ia bilang pada periode ini angka inflasi mencatat gangguan yang ditimbulkan dari lonjakan PHK dan perubahan skema kerja menjadi WFH sehingga memukul permintaan yang berimbas pada suplai.
Pelemahan daya beli ini menurutnya juga terlihat dari anjloknya inflasi inti. Pada Juli 2020 angkanya hanya 0,16% dengan andil 0,11% padahal tahun 2019 lalu 0,33% dengan andil 0,2%.
“Inflasi inti masih lemah meski ada peningkatan di Juni 2020. Menunjukkan kita harus berupaya untuk terus meningkatkan daya beli masyarakat,” ucap Suhariyanto.
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Abdul Aziz