Menuju konten utama
Pandemi COVID-19

Menguji Klaim Jokowi soal Ekonomi RI 2021 Bisa di Atas Rerata Dunia

Presiden Jokowi memprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2021 bisa tumbuh di atas rata-rata dunia. Namun melihat realita, ekonomi 2021 belum tentu bisa sepede yang diangankan Jokowi.

Menguji Klaim Jokowi soal Ekonomi RI 2021 Bisa di Atas Rerata Dunia
Presiden Joko Widodo memberikan sambutan saat acara penyaluran dana bergulir untuk koperasi di Istana Negara, Jakarta, Kamis (23/7/2020). (ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/Pool/nz)

tirto.id - Presiden Joko Widodo memasang harapan tinggi pada 2021. Ia memprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa tumbuh di atas rata-rata dunia.

“Saya kira kalau perkiraan ini betul kita akan berada pada posisi ekonomi yang juga mestinya itu di atas pertumbuhan ekonomi dunia,” ucap Jokowi dalam konferensi pers di Istana Negara, Jakarta Pusat, Selasa (28/7/2020).

Jokowi melandaskan perkiraannya itu pada perhitungan IMF yang menyatakan pada 2021 ekonomi dunia akan tumbuh di kisaran 5,4%. Dengan kata lain, Jokowi berharap pertumbuhan ekonomi Indonesia nanti bisa melampaui itu dan menjadikan Indonesia negara kedua yang paling cepat pulih usai Cina.

Sebelum pandemi, Indonesia punya tren tumbuh di atas rerata dunia. Pertumbuhan ekonomi dunia berbanding Indonesia pada 2019 lalu adalah 2,9% dan 5,1%, dan 3,6% dan 5,17% setahun sebelumnya.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan kemungkinan itu memang ada. Ia bilang sejumlah negara dunia diprediksi tumbuh di kisaran 3-4% bahkan sampai 5% setelah mengalami penurunan yang dalam di 2020.

Meski demikian, target pemerintah untuk 2021 nanti hanya berkisar 4,5-5,5% sesuai asumsi makro RAPBN 2021. Angka itu cukup pas-pasan untuk bisa melampaui 5,4% dan masih membuka peluang tumbuh di bawah 5%.

“Kami akan mencoba mengupayakan mendekati 5,5%. Jadi 5-5,5%,” ucap Sri Mulyani dalam konferensi pers usai rapat di istana.

Menurut data Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas), estimasi Sri Mulyani untuk mengejar pertumbuhan di atas 5% menggunakan sejumlah asumsi komponen pembentuk PDB 2021. Antara lain konsumsi rumah tangga tumbuh 4,1-4,9%, konsumsi pemerintah tumbuh 2,5-3,5%, investasi tumbuh 6-7,1%, ekspor tumbuh 3,5-5,1%, dan impor tumbuh 4,4-5,9%.

Asumsi yang digunakan pemerintah ini tampaknya masih terlalu optimistis. Data Bank Dunia per Kamis (17/7/2020) mencatat perdagangan dunia pada 2021 belum akan pulih sepenuhnya. Pertumbuhan ekspor di 2021 nanti hanya 1%. Impor bahkan minus 1,5%.

Sementara investasi diperkirakan hanya tumbuh 4,5%, jauh di bawah prediksi pemerintah. Hanya prediksi konsumsi rumah tangga relatif mirip dengan data pemerintah di angka 5% dan konsumsi pemerintah 2%.

Hasilnya, pertumbuhan ekonomi Indonesia di 2021 diprediksi mentok 4,8%.

Peneliti dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Abdul Manap juga menyatakan ekonomi 2021 belum bisa seperti yang diangankan Jokowi. Selama ini, untuk tumbuh, Indonesia sedikit banyak mengandalkan komoditas.

Merujuk data Bank Dunia, Indonesian Crude Price (ICP) tahun 2021 diprediksi hanya 26,4 dolar AS per barel. Nilai ini jauh di bawah asumsi makro pemerintah, Kamis (9/7/2020), di kisaran 42-45 dolar AS per barel, mengindikasikan permintaan minyak dunia yang belum akan pulih sepenuhnya.

Ekspor komoditas yang selama ini diandalkan Indonesia juga sama. Manap bilang pertumbuhan Cina yang positif di Q2 2020 3,2% belum sepenuhnya kokoh. Negara yang menyumbang 17,71% pangsa ekspor RI masih belum mampu mencapai potensinya 5-6%.

Kalaupun Cina sudah pulih di 2021, peran negara lainnya juga diperlukan. Masalahnya, negara sasaran ekspor terbesar Indonesia seperti Amerika Serikat dan India yang menyumbang 11,86% dan 6,54% ekspor RI akan sulit diandalkan dengan tingginya kasus pandemi yang belum juga teratasi.

Selain itu, Manap juga mempertanyakan seberapa siap pondasi ekonomi Indonesia di 2020 untuk bisa melompat tinggi pada 2021.

Manap mencontohkan data investasi BKPM menunjukkan realisasi yang rendah di kuartal II (Q2) 2020. Sudah rendah, sebagian besar investasi mengarah pada sektor tersier alias jasa yang minim kebutuhan tenaga kerjanya.

Di sisi lain, aktivitas kredit perbankan juga terus menunjukkan penurunan hingga hanya 3,04% di Mei 2020--terendah sejak 1997. Sementara itu, dua sektor yang dianggap berpeluang besar tumbuh positif di 2020-2021 seperti kesehatan dan telekomunikasi hanya memiliki porsi kecil dalam PDB, 1,2% dan 4,25%.

Belum lagi rendahnya realisasi anggaran Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) yang mentok di 19% pada Juli 2020 ini. Hal ini tentu akan semakin menyulitkan pemerintah menjaga daya beli sampai 2021 nanti.

“Tahun 2021 untuk tumbuh di atas level dunia sulit karena tidak banyak yang berhasil di-push selama 2020,” ucap Manap.

Lalu faktor yang tak kalah penting menurutnya juga mencangkup seberapa baik COVID-19 tertangani. Tanpa tren positif penurunan jumlah kasus baru dan penanganan yang efektif, menurut dia, 2021 juga tetap akan menjadi masa yang sulit.

Organisasi Kerja sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) pun sudah jauh hari memperingatkan kalau COVID-19 dapat memengaruhi pertumbuhan Indonesia. Per Juni 2020 misal, OECD memperkirakan tahun 2021, ekonomi Indonesia bisa tumbuh 5,2% jika mampu menangani COVID-19 dan pandemi hanya terjadi sekali.

Namun jika pandemi berkepanjangan bahkan datang gelombang kedua (double hit scenario), maka pertumbuhan 2021 menjadi 2,6% saja. Jauh di bawah pertumbuhan G20 bila sama-sama terkena gelombang kedua, 3,1%.

Baca juga artikel terkait PERTUMBUHAN EKONOMI atau tulisan lainnya dari Vincent Fabian Thomas

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Vincent Fabian Thomas
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Abdul Aziz