Menuju konten utama

Makna Lirik Lagu Gugur Bunga di Sejarah Hari Pahlawan Nasional

Berikut ini makna lirik lagu "Gugur Bunga" di Sejarah Hari Pahlawan Nasional 10 November dan penjelasan singkat fakta-fakta Hari Pahlawan.

Makna Lirik Lagu Gugur Bunga di Sejarah Hari Pahlawan Nasional
Ismail Marzuki. FOTO/Istimewa

tirto.id - Makna lirik lagu "Gugur Bunga" berkisah tentang mereka yang gugur di medan pertempuran, sangat kontekstual dengan Hari Pahlawan Nasional.

Lagu "Gugur Bunga" dinyanyikan dengan tempo lambat, tetapi penuh keagungan.

Telah gugur pahlawanku

Tunai sudah janji bakti

Gugur satu tumbuh seribu

Tanah air jaya sakti

Itu adalah potongan lirik lagu "Gugur Bunga" atau berjudul lengkap "Gugur Bunga di Taman Bakti" yang ditulis oleh legenda musik Indonesia Ismail Marzuki tidak lama setelah Indonesia merdeka tanggal 17 Agustus 1945.

Ismail Marzuki adalah musikus kelahiran Betawi pada 11 Mei 1914, dia wafat pada 25 Mei 1958. Ia sangat piawai bermain musik bahkan multi-instumentalis.

Ia mulai menciptakan lagu-lagu perjuangan dalam kurun waktu 1943-1944 seperti "Rayuan Pulau Kelapa", "Gagah Perwira" dan "Indonesia Tanah Pusaka".

Untuk mengenang jasa-jasanya, namanya diabadikan sebagai sebuah tempat yang mewadahi para seniman di Jakarta, yakni Taman Ismail Marzuki (TIM).

Berikut akan dijelaskan tentang lagu Gugur Bunga dan konteksnya dengan Hari Pahlawan serta pembahasan singkat tentang sejarah lagu Gugur Bunga.

Makna Lagu "Gugur Bunga"

Hani Widiatmoko dan Dicky Maulana dalam bukunya berjudul Kumpulan Lagu Wajib Nasional, Tradisional, & Anak Populer (2017) menulis, sejarah lagu Gugur Bunga dibuat sebagai penghormatan kepada para pejuang yang gugur selama periode Revolusi Nasional Indonesia, yang menggambarkan kisah kepahlawanan yang terjadi pada masa tersebut.

Dari upacara pemakaman tokoh-tokoh penting hingga momen-momen di mana seseorang gugur dalam perjuangan, lagu ini selalu mengiringi sebagai penghormatan atas pengorbanan mereka.

Sementara menurut Indonesian Idioms and Expressions: Colloquial Indonesian at Work (2007), karya Christopher Torchia, dijelaskan bahwa penciptaan lagu "Gugur Bunga" bertujuan untuk menghargai para pejuang yang gugur selama periode perang dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia dari 1945 hingga 1949.

Meskipun Indonesia telah memproklamasikan kemerdekaannya pada Agustus 1945, Belanda/NICA tetap berusaha menguasai wilayah tersebut dengan bantuan pasukan Sekutu.

Niat Belanda untuk menjajah kembali Indonesia setelah kehilangan kekuasaan akibat kekalahan dari Jepang pada tahun 1942, menjadi latar belakang terjadinya konflik tersebut.

Namun, semangat perlawanan dari berbagai lapisan masyarakat Indonesia, termasuk para pemimpin dan rakyatnya, menolak untuk menyerah begitu saja.

Mereka bersatu dalam upaya melawan Belanda, dari prajurit hingga petani, bahkan kalangan pelajar pun turut mengangkat senjata demi mempertahankan kemerdekaan yang telah diumumkan oleh Sukarno-Hatta.

Pada awal lagu yang liriknya "Betapa hatiku takkan pilu, Telah gugur pahlawanku, Betapa hatiku takkan sedih, Hamba ditinggal sendiri" menggambarkan perasaan sedih dan kehilangan seseorang yang ditinggal oleh orang yang dikasihi, pahlawan.

Kemudian di bait kedua, yang liriknya "Siapakah kini plipur lara, Nan setia dan perwira, Siapakah kini pahlawan hati, Pembela bangsa sejati" menceritakan seseorang yang ditinggal tersebut menanyakan siapa yang kini bisa menghibur hatinya di saat dirinya sedang bersedih karena orang yang dikasihi, sang pahlawan telah pergi selama-lamanya.

Sejarah Lagu "Gugur Bunga" dan Konteksnya dengan Hari Pahlawan

Tentang lagu Gugur Bunga dan konteksnya dengan Hari Pahlawan sendiri tentu saja berkaitan pada pertempuran besar yang pernah terjadi di Surabaya pada 10 November 1945.

Peristiwa ini pula yang menjadi cikal bakal ditetapkannya Hari Pahlawan Nasional oleh Presiden Sukarno lewat Keputusan Presiden (Keppres) No. 316 Tahun 1959 tentang Hari-hari Nasional.

Dalam pertempuran itu, arek-arek Surabaya berperang melawan pasukan NICA dan sekutu yang dilengkapi dengan persenjataan lengkap sehingga banyak menelan korban jiwa, terutama dari kalangan rakyat biasa.

Setahun usai pertempuran itu, Sukarno menetapkan tanggal 10 November sebagai Hari Pahlawan.

Gelar pahlawan yang disematkan bukan hanya untuk mereka yang gugur dalam balutan seragam prajurit saja, tetapi juga bagi seluruh warga yang menjadi korban serangan Inggris dalam peristiwa heroik itu.

Oleh karena itu, lagu "Gugur Bunga" pun tepat didedikasikan kepada para pahlawan yang gugur dalam pertempuran 10 November 1945 tersebut.

Pertempuran 10 November 1945 di Surabaya dipicu oleh tewasnya perwira kerajaan Inggris Jenderal Mallaby.

Waktu itu, Tentara Sekutu yang dipimpin oleh Jenderal Mallaby datang ke Surabaya pada bulan Oktober 1945 untuk melakukan aksi seremonial dengan berjalan ke berbagai sudut kota untuk melihat situasi.

Namun, Jenderal Mallaby tewas pada akhir 30 Oktober 1945 karena mobil yang ia gunakan hangus terbakar. Terkait dengan penyebab meninggalnya perwira Inggris itu, masih jadi perdebatan sampai saat ini. Ada yang menyebut ia meninggal usai aksi tembak terhadap warga Surabaya.

Selain itu, sumber lain mengatakan bahwa Jenderal Mallaby meninggal akibat granat dari anak buahnya yang berusaha melindungiya. Akan tetapi, granat itu malah terkena mobil Mallaby. Akibatnya, kematian Mallaby itu pun memicu kemarahan dari tentara Sekutu.

Pada 10 November 1945 pukul 06.00 pagi, Inggris menggempur Kota Surabaya dari berbagai penjuru. Untuk menghancurkan Surabaya, Inggris mengerahkan segenap daya dan upayanya, dari darat, laut, dan udara.

Serangan pertama ini menimbulkan korban yang sangat besar, terutama dari kalangan rakyat biasa. Warga dari berbagai lapisan masyarakat langsung merespons.

Tokoh-tokoh masyarakat yang bukan berasal dari kalangan militer, salah satunya K.H. Hasyim Asy'ari, menggelorakan perlawanan rakyat untuk menghadapi kekejaman Inggris.

Para pemuda, pedagang, petani, santri, serta berbagai kalangan lainnya menyatukan nyali demi mempertahankan kemerdekaan bangsa.

Dalam perang Surabaya itu, sebagaimana menurut penelitian Lorenzo Yauwerissa yang dibukukan dalam 65 Tahun Kepahlawanan Surabaya (2011), setidaknya melibatkan 20 ribu tentara dari Indonesia, sementara unsur warga sipil yang terlibat mencapai 100 ribu orang.

Hario Kecik, perwira TNI sekaligus pelaku sejarah dalam pertempuran 10 November 1945, bahkan menyatakan bahwa peristiwa itu merupakan perang antara rakyat Surabaya dengan militer Inggris.

Sebagaimana tertuang dalam buku Pemikiran Militer 5: Gerak Maju Jalur Pemikiran Abad ke 21 Homo Sapiens Modern Kembali ke Benua Afrika (2009), Hario Kecik menulis: “Rakyat kampung-kampung Surabaya, telah mengorbankan 20.000 jiwa penduduknya dan Inggris kehilangan serdadunya dalam pertempuran dengan senjata modern pada waktu itu.”

Serdadu Inggris-India yang mencapai 30 ribu orang sangat terlatih dan dilengkapi dengan persenjataan lengkap, hal itu membuat tumbang banyak pejuang Surabaya.

Ditambah lagi dengan Batalyon Infanteri Maratha yang terlatih dalam perang kota. Sementara Batalyon Rajputna punya senapan mesin yang bisa memberondong banyak orang Indonesia.

Sementara jumlah militer Indonesia di Surabaya secara pasti sulit ditemukan di buku-buku sejarah maupun biografi para pelakunya. Ada pihak yang menaksir terdapat sekitar 20 ribu anggota Badan Keamanan Rakyat (BKR).

Meski demikian, anggota BKR biasanya bekas PETA, Heiho, KNIL dan pemuda yang tak pernah mendapat latihan militer sama sekali.

Sementara jumlah pemuda pejuang di luar BKR diperkirakan mencapai 100 ribu orang. Jadi diperkirakan kekuatan pihak Indonesia mencapai 120 ribu dengan persenjataan tak lebih 50 ribu.

“Perlawanan Indonesia berlangsung dalam dua tahap. Pertama pengorbanan diri secara fanatik, dengan orang-orang yang hanya bersenjatakan pisau-pisau belati menyerang tank-tank Sherman, dan kemudian dengan cara yang lebih terorganisir dan efektif, mengikuti dengan cermat buku-buku petunjuk militer Jepang,” tulis David Wehl dalam Birth of Indonesia (1949) seperti dikutip Ben Anderson dalam Revoloesi Pemoeda.

Lirik Lagu “Gugur Bunga di Taman Bakti”

Betapa hatiku takkan pilu

Telah gugur pahlawanku

Betapa hatiku takkan sedih

Hamba ditinggal sendiri

Siapakah kini plipur lara

Nan setia dan perwira

Siapakah kini pahlawan hati

Pembela bangsa sejati

Telah gugur pahlawanku

Tunai sudah janji bakti

Gugur satu tumbuh seribu

Tanah air jaya sakti

Gugur bungaku di taman bakti

Di haribaan pertiwi

Harum semerbak menambahkan sari

Tanah air jaya sakti

Fakta-Fakta Hari Pahlawan

1. Dipicu tewasnya Jenderal Mallaby

Pertempuran 10 November 1945 di Surabaya dipicu oleh tewasnya perwira kerajaan Inggris Jenderal Mallaby.

2. Serangan darat, laut dan udara

Pada 10 November 1945 pukul 06.00 pagi, Inggris menggempur Kota Surabaya dari berbagai penjuru. Untuk menghancurkan Surabaya, Inggris mengerahkan segenap daya dan upayanya, dari darat, laut, dan udara. Serangan pertama ini menimbulkan korban yang sangat besar, terutama dari kalangan rakyat biasa.

Warga dari berbagai lapisan masyarakat langsung merespons. Tokoh-tokoh masyarakat yang bukan berasal dari kalangan militer, salah satunya K.H. Hasyim Asy'ari, menggelorakan perlawanan rakyat untuk menghadapi kekejaman Inggris.

Para pemuda, pedagang, petani, santri, serta berbagai kalangan lainnya menyatukan nyali demi mempertahankan kemerdekaan bangsa.

3. Melibatkan banyak sipil daripada militer

Dalam perang Surabaya itu, sebagaimana menurut penelitian Lorenzo Yauwerissa yang dibukukan dalam 65 Tahun Kepahlawanan Surabaya (2011), setidaknya melibatkan 20 ribu tentara dari Indonesia, sementara unsur warga sipil yang terlibat mencapai 100 ribu orang.

4. Modal dengkul melawan Inggris

“Perlawanan Indonesia berlangsung dalam dua tahap. Pertama pengorbanan diri secara fanatik, dengan orang-orang yang hanya bersenjatakan pisau-pisau belati menyerang tank-tank Sherman, dan kemudian dengan cara yang lebih terorganisir dan efektif, mengikuti dengan cermat buku-buku petunjuk militer Jepang,” tulis David Wehl dalam Birth of Indonesia (1949) seperti dikutip Ben Anderson dalam Revoloesi Pemoeda.

5. Bung Tomo pengobar semangat

Dalam peristiwa 10 November 1945, nama Bung Tomo begitu legendaris karena dikenal sebagai pengobar semangat tempur yang bersenjatakan mikrofon. Selain itu, dia juga salah satu pemimpin laskar yang kemudian ditarik ke Kementerian Pertahanan.

Baca juga artikel terkait HARI PAHLAWAN atau tulisan lainnya dari Alexander Haryanto

tirto.id - Pendidikan
Penulis: Alexander Haryanto
Editor: Iswara N Raditya
Penyelaras: Dhita Koesno