tirto.id - Hukum menyelam saat puasa Ramadhan tidak membatalkan dengan catatan tidak ada air yang masuk melalui lubang tubuh, misalnya mulut, hidung, dan sebagainya. Imam Malik dan Imam Ghazali berpendapat tidak membatalkan puasa meskipun air masuk melalui lubang telinga. Meskipun demikian, tindakan menyelam sebaiknya ditinggalkan saat sedang berpuasa karena rentan menyebabkan air tertelan.
Secara definitif, puasa adalah ibadah menahan diri dari segala hal yang membatalkannya, mulai dari makan, minum, dan berhubungan badan dari terbitnya fajar shadiq (waktu subuh) hingga terbenamnya matahari (waktu magrib).
Ulama mazhab Syafi'i Ibnu Qosim Al-Ghazi dalam kitabFathul Qarib (1990) menjelaskan salah satu dari beberapa hal yang dapat membatalkan puasa ialah memasukkan sesuatu ke dalam tubuh dengan senagaja.
Tindakan ini maksudnya adalah apabila ada seseorang yang memasukkan benda (ain) lain dari luar tubuh menuju ke bagian dalam tubuh (jauf) dengan unsur kesengajaan, maka puasanya dianggap batal.
Menyelam merupakan salah hal yang berpotensi menyebabkan air (benda lain) masuk ke dalam tubuh. Terlebih, menyelam yang dilakukan secara sengaja dan jika ada air yang masuk melalui lubang tubuh seperti mulut, hidung, dan lainnya, hal itu berpotensi membatalkan puasa. Hal ini merupakan pendapat dari mayoritas ulama Mazhab Imam Syafi’i.
Meskipun demikian, Imam Malik dan Imam Ghazali memiliki pandangan yang sedikit berbeda mengenai hal ini. Mereka menjelaskan bahwa apabila suatu benda lain, seperti air masuk melalui telinga, maka perkara tersebut tidak menyebabkan batalnya puasa.
Jumlah volume air yang masuk ke dalam tubuh tidak mempengaruhi hukum batalnya puasa. Sedikit maupun banyak pasti akan membatalkan puasa seorang muslim. Hal ini juga disampaikan oleh Syekh Zainuddin Al-Malibari dalam kitab Fathul Mu’in (2004): “Dan puasanya batal sebab masuknya benda lain sekalipun kecil atau sedikit, ke tempat rongga dalam (jauf).”
Meskipun demikian, air yang masuk untuk mencapai hukum membatalkan puasa juga harus melewati batas tertentu.
Dalam artikel “Delapan Hal yang Membatalkan Puasa” yang ditulis M. Ali Zainal Abidin di NU Online, lubang (jauf) ini memiliki batas awal yang ketika benda melewati batas tersebut maka puasa menjadi batal, tapi selama belum melewatinya maka puasa tetap sah.
Pertama, dalam hidung, batas awalnya adalah bagian yang disebut dengan muntaha khaysum (pangkal insang) yang sejajar dengan mata.
Kedua, dalam telinga, batasnya yaitu bagian dalam yang sekiranya tidak telihat oleh mata.
Ketiga, untuk mulut, batas awalnya adalah tenggorokan yang biasa disebut dengan hulqum.
Terlepas dari hukumnya tidak membatalkan atau tidak, perilaku menyelam ketika puasa Ramadan sebaiknya dijauhi atau ditunda terlebih dahulu. Seorang muslim mungkin bisa menyelam ketika malam hari. Hal ini dilakukan supaya terhindar dari batalnya puasa.
Imam Taqiyuddin Abu Bakr bin Muhammad al-Hishni dalam kitab Kifayah al-Akhyar fi Hall Ghayah al-Ikhtishar (2001) mengatakan sebagai berikut, “Ketahuilah sesungguhnya harus bagi orang yang puasa untuk menahan diri dari perkara yang bisa (atau berisiko) membatalkan puasa.”
Berlandaskan pendapat di atas, apabila aktivitas menyelam bukan merupakan profesi, dalam keadaan seseorang berpuasa, sebaiknya kegiatan itu dihindari, atau dikerjakan pada malam hari ketika sudah berbuka.
Berbeda halnya jika seseorang berprofesi sebagai nelayan atau atlet renang yang sumber kehidupannya dari berenang atau menyelam atau profesi sejenis, maka berenang tidak dipermasalahkan. Dalam hal ini, seseorang yang berprofesi demikian seyogyanya menggunakan perlengkapan tertentu agar air tertelan ketika ia berenang.
Penulis: Syamsul Dwi Maarif
Editor: Abdul Hadi