tirto.id - Krisis moneter 1997-1998 adalah mimpi buruk bagi para pengusaha. Namun bagi Robert Budi Hartono dan Michael Bambang Hartono, krisis moneter itu justru menjadi awal mula penobatan mereka dalam daftar orang paling kaya di Indonesia.
Baru-baru ini, Forbes merilis daftar 50 orang terkaya di Indonesia. Hartono bersaudara lagi-lagi masuk dalam daftar itu. Hebatnya, pemilik perusahaan rokok kretek Djarum ini menempati orang paling kaya di Indonesia dalam 10 tahun terakhir ini.
Nilai harta kekayaan Hartono bersaudara tercatat menembus angka US$35 miliar pada 2018, naik 9,37 persen dari tahun lalu sebesar US$32 miliar. Laporan Forbes, mencatat dari total nilai kekayaan itu, sebanyak 70 persen disumbang dari PT Bank Central Asia Tbk (BCA).
“Harga saham yang terus meningkat membuat sumbangan BCA terhadap kekayaan Hartono ikut naik. Tahun lalu, porsi BCA terhadap kekayaan Hartono hanya 50 persen,” tutur Editor in Chief Forbes Indonesia Taufik Darusman kepada Tirto.
Motor penggerak kekayaan Hartono bersaudara bukanlah dari bisnis rokok saja, tapi dari BCA—bank swasta terbesar di Indonesia—dan puluhan perusahaan lainnya yang bergerak di berbagai bidang. Bila hanya mengandalkan rokok, sulit agaknya bagi Hartono bersaudara untuk menjadi orang paling kaya di Indonesia, karena bisnis rokok yang digeluti Hartono bukanlah yang terbesar. Perusahaan rokok terbesar di Tanah Air bukanlah Djarum, melainkan Gudang Garam dan HM Sampoerna.
Hartono bersaudara bisa jadi beruntung dapat memiliki BCA. Bila bukan karena krisis moneter, Hartono bersaudara mungkin tidak akan menjadi orang paling kaya di Tanah Air selama 10 tahun terakhir ini. Bank BCA didirikan pada 21 Februari 1957 oleh Sudono Salim, pendiri dari Salim Group. Namun dalam perjalanannya, BCA ternyata sulit berkembang.
“BCA pada pertengahan 1970-an hanya punya dua kantor cabang dan menempati urutan ke-23 dari 58 bank niaga swasta,” tulis Richard Borzuk dan Nancy Chng dalam ‘Liem Sioe Liong dan Saling Group: Pilar Bisnis Soeharto’ (2014: 214).
Kondisi BCA mulai membaik saat Sudono menggandeng Mochtar Riady pada 1975. Kala itu, Mochtar diberi julukan sebagai ‘dokter perbankan’ setelah menghidupkan kembali tiga bank, yakni Bank Kemakmuran, Bank Buana, dan Bank Panin.
BCA pun bertransformasi. BCA melesat bak meteor, dan membantu melontarkan Sudono Salim ke jajaran orang terkaya di Asia. Di tangan Mochtar Riady, aset BCA melesat mendekati angka US$3 miliar pada awal 1990an dari awal ia masuk sebesar US$1 juta.
Pada 1998, krisis moneter terjadi. Nilai tukar rupiah terhadap dolar yang memburuk memicu dana keluar (outflow) besar-besaran. Hal ini membuat sejumlah bank kolaps. BCA pun juga terkena dampaknya. Besarnya arus dana keluar membuat BCA harus pasrah menjadi pasien Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Kepemilikan saham BCA pun berganti. Sebanyak 92,8 persen saham BCA dimiliki pemerintah, dan sisanya pihak lain.
Secara bertahap, pemerintah mulai melepas sahamnya, diawali dengan pencatatan saham perdana BCA pada 31 Mei 2000. Per 30 September 2007, pemerintah pusat sudah tidak lagi memiliki saham BCA.
Kala itu, sebanyak 51,15 persen saham BCA dipegang konsorsium Farindo Investments Ltd dan Farallon Capital Management LLC, di bawah Grup Djarum. Sisanya, sebanyak 46,72 persen dilepas ke publik, dan 1,76 persen dimiliki Anthony Salim. Saat ini, Grup Djarum—melalui PT Dwimuria Investama Andalan—memiliki saham di BCA sebanyak 54,94 persen. Sementara sebanyak 45,06 persen sisanya, dilepas ke masyarakat atau publik.
Rokok Lesu, Bank Melesat
Alfred Nainggolan, Kepala Riset Koneksi Capital meyakini kekayaan Hartono bersaudara ke depannya besar kemungkinan akan lebih banyak didorong dari sektor perbankan, ketimbang industri rokok.
Alasannya, pertama, pertumbuhan sektor perbankan lebih konsisten ketimbang sektor barang konsumsi, seperti rokok. Apalagi BCA bisa dibilang menjadi pemimpin pasar (market leader) di sektor perbankan Tanah Air.
Dalam lima tahun terakhir ini, rata-rata harga saham bank besar yang tercatat di Bursa Efek Indonesia meningkat dua digit setiap tahunnya. Misal, BCA tumbuh 20 persen per tahun, BRI 18 persen, BNI 15 persen dan Mandiri 14 persen.
Meningkatnya harga saham perbankan juga tidak terlepas dari fundamental emiten bank-bank tadi. Kinerja BCA misalnya. Bank berkode emiten BBCA ini meraup pendapatan sebesar Rp45,93 triliun pada kuartal III-2018, naik 10 persen dari kuartal III-2017. Sementara itu, dari pos laba bersih, BCA mencatatkan laba sebesar Rp18,5 triliun, naik 10 persen dari periode yang sama tahun lalu sebesar Rp16,85 triliun. Nilai kapitalisasi pasar BCA pun sudah menyentuh Rp640,40 triliun.
“Jika dibandingkan dengan pergerakan saham consumer goods itu jauh sekali. Unilever saja hanya 5-10 persen per tahun. Apalagi harga saham emiten rokok saat ini cenderung bergerak flat,” tutur Alfred.
Sekadar pembanding, harga saham PT Gudang Garam Tbk. sepanjang 2018 ini mencatatkan penurunan sekitar 4 persen dari Rp84.775 per saham menjadi Rp81.550 per saham per 17 Desember 2018. Namun, kinerja keuangan Gudang Garam justru positif. Pendapatan Gudang Garam tercatat Rp69,88 triliun pada kuartal III-2018 ini, naik 14 persen. Sementara untuk laba bersih, naik 7 persen menjadi Rp5,76 triliun.
Alasan kedua, ruang gerak pertumbuhan industri rokok semakin terbatas. Kebijakan pemerintah terhadap industri rokok memang kian ketat, mulai dari adanya pembatasan iklan, pengenaan cukai dan lain sebagainya.
Sementara itu, pemerintah tentunya tidak akan menahan perkembangan industri bank. Pasalnya, perbankan memiliki peran yang penting dalam mendukung pertumbuhan ekonomi, terutama dalam penyediaan kredit usaha. Juga jadi sarana untuk melek akses keuangan.
Ketiga, daya tahan perbankan juga lebih besar ketimbang industri rokok. Umumnya, industri barang—tak terkecuali rokok—akan ikut melambat jika ekonomi tengah melambat. Namun, perbankan lantaran menjual jasa justru tidak begitu terpengaruh.
BCA masih akan menjadi motor utama penggerak kekayaan Hartono bersaudara untuk ke depannya, dan bukan tidak mungkin porsinya akan jauh lebih besar dari yang ada saat ini. Hartono bersaudara belum tergoyahkan sebagai orang yang berada teratas daftar orang kaya versi Forbes.
Editor: Suhendra