tirto.id - Kendati Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 digelar tahun depan, tapi pertarungan antara Joko Widodo-Ma’ruf Amin versus Prabowo Subianto—Sandiaga Salahuddin Uno sebenarnya sudah dimulai sejak keduanya resmi mendaftarkan diri sebagai pasangan capres-cawapres 10 Agustus lalu. Pertarungan itu misalnya tampak dari upaya kedua kubu memenangkan jagoannya dalam polling di Twitter, termasuk kemungkinan melibatkan akun-akun robot.
Ismail Fahmi, peneliti media sosial sekaligus pendiri Drone Emprit, mengatakan jasa pemenangan polling online di Twitter menggunakan akun robot bukanlah isapan jempol. Asal punya uang, jasa ini bisa digunakan. Ia menjelaskan cara kerja akun robot mempengaruhi hasil polling.
Akun robot adalah akun yang bekerja berdasarkan program yang dijalankan admin. Admin bisa menjalankan sekira puluhan ribu hingga jutaan akun dengan perintah program bermacam-macam: mulai dari mencuitkan isu, mengulang cuitan (retweet), menyukai cuitan (like), termasuk mempengaruhi hasil polling. Garis besarnya semua perintah itu dilakukan secara massif dan dalam waktu bersamaan atau berdekatan.
Khusus untuk polling biasanya akun robot akan bekerja pada masa-masa kritis seperti jelang polling ditutup. “Mereka mengerahkan sisa kekuatan untuk mendapatkan hasil vote tertinggi,” kata Fahmi kepada Tirto, Rabu (16/8).
Pantauan Tirto terhadap sejumlah polling dengan jumlah peserta di atas 50.000 menunjukkan angka beragam. Polling yang dilakukan akun Twitter @ILC_tvOnenews dengan jumlah peserta 110.259 menunjukkan Prabowo-Sandi unggul dari Jokowi-Ma’ruf dengan prosentase pemilih 65 persen berbanding 26 persen, dan sebanyak 10 persen lainnya menyatakan golput.
Kemenangan juga diraih Prabowo-Sandi dalam polling yang dilakukan akun @iwanfals. Dengan jumlah pemilih 50.126, Prabowo-Sandi unggul dengan persentase pemilih sebesar 68 persen. Sedangkan pasangan Jokowi-Maruf hanya didukung 27 persen pemilih dan sisanya sebanyak 6 persen pemilih golput.
Hasil berbeda ditunjukkan dalam polling yang dilakukan akun @faizzalassegaf. Polling yang melibatkan 127.094 pemilih ini menunjukkan pasangan Jokowi-Ma’ruf dari Prabowo Sandi dengan prosentase 66 persen berbanding 32 persen. Sisanya sebanyak 2 persen menyatakan ragu-ragu dan golput.
Fahmi enggan memastikan apakah hasil dari polling-polling itu melibatkan akun robot atau tidak. Namun, menurutnya hasil polling yang melibatkan akun robot dapat dicirikan dari beberapa hal. Pertama, hasil polling berubah drastis dalam waktu singkat jelang polling ditutup.
“Kalau tiba-tiba, dalam waktu satu jam yang ketinggalan tiba-tiba menang dalam waktu singkat itu kan sangat tidak mungkin. Itu pakai robot,” ujar Fahmi
Kedua, komplain si pembuat polling atas hasil polling. Menurut Fahmi, komplain pembuat polling penting diperhatikan sebab merekalah orang yang paling tahu kejanggalan hasil polling dari mulai dibuka hingga ditutup. “Kalau yang bikin polling enggak komplain biasanya benar. Karena yang bikin polling itu biasanya dia memperhatikan hasilnya,” katanya.
Meski begitu Fahmi mengingatkan para pengguna akun robot tidak serta merta bisa bernafas lega. Sebab polling yang dimenangkan oleh akun robot dengan mudah akan diketahui oleh user (pembuat polling).
“Maka kredibilitas polling tersebut tidak akan bisa dipercaya. Sehingga tidak akan berdampak apa-apa bagi publik. Publik tahu kalau robot digunakan,” katanya.
Acuan atau Bukan?
Fahmi mengatakan akun robot berbeda dengan akun anonim. Akun anonim menurut Fahmi dioperasikan langsung oleh seseorang, bukan oleh program seperti akun robot. “Mereka itu [pemilik akun anonim] kalau dicari ada orangnya,” ujarnya.
Biasanya akun anonim memiliki jumlah followers (pengikut) yang besar sedangkan akun robot memiliki jumlah followers yang sedikit. Hal ini karena akun robot tidak berinteraksi intensif dengan pengguna akun lainnya di Twitter. “Biasanya followers-nya satu karena kan akun itu tidak lakukan percakapan tidak berinteraksi,” katanya.
Penggunaan akun robot maupun akun anonim di media sosial menurut Fahmi memiliki tujuan yang relatif sama yakni mempengaruhi pilihan masyarakat terhadap sebuah isu. Dalam konteks politik pilpres misalnya, akun robot atau akun anonim yang berhasil memenangkan satu isu dalam polling bisa meningkatkan moralitas calon pemilik suara.
“Kan orang ada yang melihat bagaimana referensinya teman-temannya, jadikan [kalau menang polling] kayak moralitas naik. Kalau kalah moralitasnya down,” ujarnya.
Ketua DPP Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Tsamara menilai hasil polling hanya sebatas alat mendekati calon pemilih dan memancing daya partisipasi publik. Ia tidak merepresentasikan gambaran suara dari masing-masing calon. “Kalau kami sih sebenarnya tidak berpatok pada polling. Lebih kepada penyediaan konten kreatif, informasi, dan workshop-workshop offline kepada milenial," kata Tsamara.
Sebaliknya Ketua Divisi Hukum DPP Partai Demokrat Ferdinand Hutahaean menganggap hasil polling capres-cawapres di Twitter merupakan potret suara generasi mileneal dan segmen pemilih pengguna media sosial. Sebab, menurut dia, pengguna Twitter juga berasal dari berbagai kalangan. Dari yang tua sampai muda.
"Sebagai acuan memotret situasi psikologis rakyat, bisa digunakan,” kata Ferdinand. "Sepanjang itu tidak dikotori oleh akun-akun robot.”
Baik Tsamara maupun Ferdinand sama-sama membantah kubu mereka menggunakan akun anonim dan akun robot untuk memenangkan sentimen di media sosial.
Penulis: Jay Akbar
Editor: Maulida Sri Handayani