tirto.id - Sembilan tahun sejak mendapat hadiah Nobel bidang ekonomi, Daniel Kahneman, seorang psikolog asal Israel, menerbitkan Thinking: Fast and Slow.
Buku yang diproduksi oleh penerbit asal Amerika Serikat, Farrar, Straus and Giroux itu menjabarkan sistem kerja otak manusia dalam merespons informasi secara infuitif (spontan) dan non intuitif (mengolah informasi dengan cara berpikir yang lebih panjang, serta melibatkan logika serta berbagai ilmu yang pernah didapat).
Thinking: Fast and Slow menjadi menarik karena Kahneman menjabarkan kembali peran pikiran intuitif yang pernah ia buktikan pada buku sebelumnya tidak selalu benar.
“Dia menerangkan kompleksitas pikiran seseorang dalam proses pengambilan keputusan dalam berbagai kasus,” kata Hidayat Jati, 51 tahun, eksekutif di sebuah perusahaan media via telepon kepada Tirto (4/5/2020).
Beberapa hari belakangan, waktu luang Jati di rumah dihabiskan dengan membaca Thinking: Fast and Slow. Baginya, buku Kahneman tersebut tidak bisa secepat itu dibaca. Maka momen kerja dari rumah jadi waktu pas untuk mencerna buku-buku yang dirasa sulit.
“Saya rasa latar belakang akademisi membuat tulisan di buku ini masih terasa seperti makalah akademik meski saya paham si penulis pasti sudah berusaha membuat agar bahasa tulisan ini se populer mungkin.”
Jati biasa membaca di antara jeda rapat virtual atau sebelum tidur. Pilihan hiburan lain seperti streaming film memang tersedia tapi ia, yang sejak kecil punya kebiasaan membaca dan bisa dikategorikan sebagai “hoarder” buku, memilih menekuri bacaan yang masih menumpuk.
“Masih ada sekitar 20% yang belum dibaca” ucap Jati.
Jati juga mengaku selama ini berusaha menahan diri untuk tidak membeli buku. Usaha itu cukup berhasil, sampai kemudian ia melihat Amazon menjual Intelligence for Dummies: A Portrait dan String Theory: David Foster Wallace on Tennis.
Kerja dari rumah membuat Jati lebih produktif membaca buku fisik dan hal itu membuatnya merasa cukup puas. Ada empat buku dalam dua bulan terakhir. Mustahil dilakukan bila ia sedang bekerja normal.
Hal yang sama juga dirasakan Arita (27 tahun), seorang peneliti yang mengaku tidak dibesarkan dalam lingkungan dengan kultur membaca yang kental.
“Aku merasa bisa meminjam mata penulis untuk melihat kejadian-kejadian yang mungkin nggak akan pernah kualami, bisa memahami isu sosial di masa lalu dan sekarang. Buatku ini kemewahan,” kata Arita.
Beberapa hari sebelum kami berbincang via surel, ia mengaku telah menuntaskan empat buku dalam seminggu. Buku-buku itu sudah lama dibeli dan telah dibaca sebagian. Bekerja dari rumah memberinya waktu untuk menyelesaikan bacaan-bacaannya.
Rencananya Arita tetap melanjutkan rutinitas membaca buku selama bekerja dari rumah. Terutama buku-buku sastra seperti karya Mochtar Lubis, Abdoel Muis, dan Selasih. Katanya, buku-buku seperti itu membantunya lebih memahami situasi sosial pada masa lampau maupun sekarang.
Kini ia sedang membaca The Onion Book of Know Knowledge dan Great Ages of Man: Age of Kings. Ada kalanya buku-buku yang dibaca itu membantunya dalam memelihara perasaan tenang.
Terapi Membaca, Efektifkah?
Pada 2008, Alain de Botton mendirikan program School of Life yang mencakup terapi buku. fasilitator memberikan rekomendasi buku kepada klien untuk membantu mereka mengurai kegelisahan yang sedang dirasakan. Misalnya, ketika merasa karier terhambat, relasi cinta yang tengah bergejolak, dan perasaan kehilangan.
Penulis Ceridwen Dovey menuliskan pengalamannya dalam mengikuti program School of Life tersebut dalam New Yorker. Tadinya ia merasa skeptis terhadap program terapi buku ini, tetapi pikiran itu memudar kala terapis menyampaikan beberapa pertanyaan esensial kepada Dovey seperti: Hal apa yang paling menyita pikiran? Bagaimana latar belakang keluarga? Hal apa yang paling ditakutkan?
Dovey menjawab semua pertanyaan tersebut. Dan sebagai gantinya, sang terapis kemudian memberi sejumlah rekomendasi buku fiksi dan non fiksi yang dipandang mampu membantu Dovey.
“Karena aku bukan orang yang relijius, aku takut tidak bisa menemukan cara menenangkan diri bila aku ditinggal oleh orang yang aku cintai,” tulis Dovey.
“Salah satu buku yang direkomendasikan adalah The Guide karangan R.K. Narayan. Cerita tentang seorang pemandu wisata yang akhirnya jadi pemandu spiritual. Si terapis berharap aku bisa tercerahkan dengan membaca cerita itu,” lanjutnya. Dovey mengaku terapi tersebut cukup sukses dalam membantunya dalam menghadapi masa-masa sulit yang ia alami.
Dovey kemudian mencari pendapat sejumlah pakar dan hasil riset yang membahas pengaruh membaca terhadap kondisi mental. Ia melihat hasil penelitian yang dimuat di Annual Review of Psychology yang menjelaskan bahwa ketika seseorang membaca kisah petualangan, gelombang otaknya bekerja layaknya ia sedang melakukan aktivitas tersebut. Sementara karya-karya fiksi, menurut riset lain, mampu mengasah daya empati seseorang.
Dovey juga bicara dengan profesor emeritus bidang psikologi kognitif dari Universitas Toronto, Keith Oatley. Kepada Dovey sang profesor mengatakan, “karya sastra bisa menggerakkan seseorang dan bisa mengubah sikap serta perilaku seseorang.”
Oatley mengakui, penelitian tentang hubungan antara kondisi mental dan membaca buku memang baru kembali marak diteliti kurang dari satu dekade belakangan. Dalam studi soal korelasi antara kondisi mental dan buku, Oatley juga beranggapan kisah-kisah yang ada dalam karya fiksi bisa membantu seseorang untuk lebih memahami pola hubungan interpersonal dan permasalahan-permasalahan yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat.
Psychology Today mengutip pernyataan doktor dari Universitas Nottingham yang menyebut bila orang-orang yang sedang mengalami gangguan psikologis membaca narasi yang mengandung kisah pemulihan, maka ia akan terkoneksi dan memahami proses pemulihan yang ada dalam cerita tersebut.
Dosen dari Universitas Terbuka di Inggris, Sara Haslam beserta dua orang rekannya menulis di The Conversationdan menjelaskan bahwa membaca dan terapi buku bisa meminimalisir kesepian.
Sementara berdasarkan penelusuran Haslam dkk., praktik terapi buku telah dilakukan sejak masa Perang Dunia I. Tenaga medis saat itu meminta pasien--yang sebagian besar adalah tentara--untuk membaca buku. Ada pun pencetus metode ini adalah Helen Mary Gaskell.
Saat itu, Gaskell bisa dibilang orang yang punya relasi dekat dengan para dokter, pemerintah, dan para pejabat di bidang kesehatan. Oleh sebab itu, usulan Gaskell tersebut bisa diterapkan dengan efektif. Buku-buku yang diberikan pun berasal dari perpustakaan pribadinya.
Karena terapi ini dianggap sukses karena terbukti mampu membantu proses pemulihan tentara, tradisi serupa tetap diteruskan meski gaungnya tidak begitu terdengar.
Tirto sempat berbicara dengan psikolog Kasandra Putranto terkait hal ini. Ia mengatakan, tidak semua orang bisa mengambil manfaat dari membaca buku. Semua tergantung kondisi mental seseorang.
“Masalahnya sekarang makin sedikit orang yang suka membaca. Dibutuhkan kapasitas mental tertentu untuk bisa membaca dan memaksimalkan manfaatnya,” kata Kasandra.
Kasandra pernah menerapkan metode terapi membaca terhadap klien dengan memberi mereka buku yang sesuai permasalahan masing-masing. “Misal, pada kasus permasalahan rumah tangga, saya bisa meminta mereka membaca buku karangan saya, buku tentang pernikahan, atau buku The Secret,” jelasnya.
Menurut Kasandra, dasar dari terapi membaca buku ialah mindfulness yang bertujuan agar seseorang menemukan koneksi dengan bacaan dan menyerap inspirasi dari kisah yang dibaca.
Nasib Toko Buku
Pada masa sekarang, keberadaan toko-toko buku independen yang menjual dagangannya secara online bisa jadi opsi untuk membeli buku.
Dewi Ria Utari, seorang penulis, dalam artikelnya menjelaskan bahwa kini toko buku arus utama yang sudah punya nama besar seperti Gramedia dan Mizan tengah berupaya untuk membangun strategi bertahan. Antara lain dengan merampingkan struktur organisasi, jumlah tenaga kerja atau menggencarkan program penjualan daring.
Toko-toko buku dengan skala yang lebih kecil seperti POST, misalnya, yang tidak terlalu terkena dampak signifikan dari sistem WFH, mencoba membangun sistem baru dengan menawarkan jasa rekomendasi online. Calon konsumen bisa mengirim pesan terkait jenis buku yang hendak mereka baca dan pemilik POST akan merekomendasikan beberapa bacaan.
“Belakangan ini jadi sangat terlihat keragaman selera orang. Ada yang ingin novel petualangan seperti Raden Mandasia. Ada yang ingin menghabiskan waktu dengan bacaan ringan dan santai seperti esai-esai personal karya Patty Smith. Ada pula yang suka novel bertema keluarga seperti Semasa,” kata Teddy W. Kusuma, pemilik POST.
Teddy juga menyatakan, kondisi penjualan buku kini sudah mulai stabil setelah sempat mengalami penurunan pada masa-masa awal diterapkannya sistem kerja dari rumah.
“Buku bukan prioritas masyarakat kita. Tidak seperti di luar negeri di mana orang tetap mencari buku bacaan meski sedang ada di masa-masa awal pandemi,” kata Ronny Agustinus, pendiri Marjin Kiri, penerbit dan toko buku daring yang menjual buku-buku kritis tentang filsafat, sosial budaya, ekonomi, dan juga sastra.
Marjin Kiri sempat goncang pada masa awal pandemi dengan penurunan pendapatan lebih dari 50%. Namun, kini kondisi tersebut sudah mulai membaik. Kedekatan dengan pembaca coba dibangun dengan ikut serta dalam beberapa festival literasi. Salah satunya adalah Literal, festival buku di Spanyol. Bentuk aktivasi online berupa diskusi di Instagram juga digiatkan.
Bagi penerbit atau toko buku yang sejak awal memfokuskan diri di ranah daring seperti Berdikari Book, misalnya, momen kerja dari rumah justru adalah masa di mana orang gencar membeli buku.
Dana, sang pendiri Berdikari Book menjelaskan, sekitar dua bulan terakhir terjadi peningkatan transaksi yang cukup signifikan terutama dari buku jenis humaniora, filsafat, dan self improvement.
Editor: Eddward S Kennedy