tirto.id - Sebagai orang Malang yang sejak 2005 tinggal di Bandung, saya masih terheran-heran melihat kebanyakan orang Sunda menempatkan ayam bakakak sebagai makanan istimewa. Bagi saya, mungkin juga bagi kebanyakan orang Jawa Timur lainnya, ayam bakakak alias ayam bakar adalah sajian yang biasa saja. Keheranan itulah yang kemudian saya tanyakan kepada Hawe Setiawan, budayawan Sunda yang sehari-hari biasa saya panggil Uwa Hawe.
“Dulu, orang Sunda itu makan ayam cuma dua kali. Pertama saat orangnya sakit, kedua saat ayamnya yang sakit!” ujarnya.
Saya ketawa mendengar jawaban Uwa Hawe, kemudian manggut-manggut saat sosok pecinta Persib tersebut memberikan penjelasan yang lebih serius. Menurutnya, ayam bakakak hadir di pesta-pesta besar seperti pernikahan dan sunatan, sebagai bentuk rasa syukur, sebab kebanyakan orang Sunda tidak bisa menikmatinya saban waktu. Berbeda dengan kalangan menak alias priyayi.
Lalu, kapan pertama kali saya mengenal ayam bakakak atau bakakak hayam itu? Tentu saja ketika menjalani prosesi pernikahan di Subang, 11 tahun silam. Kala itu, pemandu adat di acara pernikahan saya berteriak, memberi aba-aba agar saya dan istri bersiap melakukan prosesi huap lingkung.
“Hijiii! Duaaa! Tiluuuuu!”
Sorak sorai keluarga dan tamu undangan riuh terdengar, mengiringi aktivitas saya dan istri saling tarik ayam bakakak. Sebagai tontonan, “ritual” ini tidak berhenti begitu saja setelah ayam utuh itu terbagi dua. Pengantin masih diminta untuk menggigit bagian paling kecil, dilakukan berdua dalam waktu bersamaan, sehingga dua pasang mulut yang kian mendekat terlihat tampak seperti hendak berciuman. Di momen inilah pemandu adat dan hadirin memberi teriakan yang lebih riuh lagi.
“Witwiiiiiiiiww!”
Di antara keriuhan yang belum reda, sayup-sayup terdengar suara master of ceremony menjelaskan makna atau siloka ritual barusan. Menurutnya, pengantin yang mendapat porsi terbesar dari pabetot-betot hayam bakakak akan membawa kesejahteraan bagi keluarga. Sedangkan maksud dari adegan saling menggigit porsi yang paling kecil adalah agar kedua pengantin tetap saling menjaga jika kelak didera ujian dan cobaan.
Untuk urusan memberi makna atau gagasan kepada berbagai artefak budaya, termasuk dalam perkara penganan dan masakan, tentu saja bangsa kita jagonya. Kalau bangsa Barat terbiasa dengan rasionalisasi hitung-hitungan gizi dan kalori, masakan Nusantara bisa masuk ke dimensi lain kala menjadi bagian dari prosesi-prosesi khusus dalam fase hidup manusia, misalnya pernikahan.
Tentu saja ayam bakakak juga punya nasib demikian. Di hadapan ritual adat, ia bukan lagi ayam panggang belaka, tapi punya peran sebagai pengingat bahwa aral melintang pasti bakal dihadapi oleh sepasang manusia dalam perjalanan kisah kasih mereka.
Lebih Nikmat Pakai Ayam Kampung
Lepas dari narasi kebudayaan di atas, ayam bakakak adalah hidangan ayam panggang khas masyarakat Sunda yang wabil khusus harus menggunakan ayam kampung. Alasannya, bilamana menggunakan ayam broiler atau ayam negeri, niscaya bumbunya kurang meresap dan potongan dagingnya malah lebih dulu hancur saat masih diproses.
Dibanding ayam broiler, ayam kampung punya karakteristik yang lebih kaya serat dan rendah lemak, sehingga tidak mudah hancur saat harus dipanggang dalam waktu yang lama. Di luar negeri sana, ayam kampung sering disebut sebagai free range chicken, sementara ayam broiler dikenal sebagai ayam kandang atau cage chicken. Dari perbedaan istilah itu saja rasanya sudah jelas: ayam yang bebas akan lebih ulet dibandingkan ayam yang hidupnya di kandang melulu.
Kamus Bahasa Sunda-Belanda terbitan 1913 karya Sierk Coolsma menjelaskan bakakak sebagai “naam van een schaap, kip of ander klein die, dat na geslacht en gereinigd te zijn, opengespreid en in zijn geheel aan het vuur gebraden is”. Sementara bakakak dalam Kamus Basa Sunda (2006) karya R.A. Danadibrata berarti “panggang hayam hiji nu beunang meulah palebah dada nepi kana beuteungna n.k saperti nu didangkakkeun; hayam dipakéna dina ngarewahkeun, dina upacara kapercayaan d.a dina huap-lingkung, dina sunatan jsté.”
Kedua penjelasan beda bahasa tadi punya kesamaan: bakakak ialah teknik masak pada domba, ayam, atau hewan kecil lainnya, yang setelah disembelih atau dibersihkan, kemudian dibelah dari bagian dada hingga perut, berikutnya dipanggang secara utuh di atas api. Bedanya, versi Danadibrata memiliki arti yang lebih dalam bila dibandingkan dengan Coolsma. Danadibrata menyebut ayam bakakak juga digunakan dalam upacara kepercayaan masyarakat Sunda, seperti saat pernikahan, sunatan dan lain-lainnya.
Biar begitu, penjelasan Colsma juga tidak keliru, karena sajian ayam bakakak juga sering menjadi hidangan sehari-hari. Saat ini, bakakak bahkan menjadi menu utama di berbagai restoran, rumah makan, saung, dan warung Sunda.
Saung Liwet Wa Dase di Kampung Cibogo, Subang, misalnya, adalah andalan keluarga mertua saya. Lokasinya yang di tepi sawah tentu punya kesan tersendiri bagi warga Kota Nanas yang suhu udaranya terbilang panas. Tapi lebih dari segalanya, kombinasi nasi liwet hangat, sambel dadak, lalapan dan ayam bakakak yang digandrungi orang membuat Wa Dase sanggup memanggang 50-100 ekor ayam kampung saban hari.
Tiap rumah makan Sunda pastilah punya bumbu rempah dan proses memasak ayam bakakak yang khas. Dan belakangan, istri saya yang gemar berburu tempat makan yang viral di Tiktok ingin sekali mengunjungi RM Pengkolan Jati di dekat pintu keluar tol Cimalaka, Sumedang. Menurut informasi yang ia terima, ayam bakakak di sana punya profil rasa asin dan gurih, berbeda dengan umumnya ayam bakakak yang cenderung manis dan berbumbu kecap.
“Plus,” sambungnya, “ada sambel surawung (kemangi) yang otentik!”
Ayam bakakak memang primadona di keluarga istri. Itu pula yang membuat ibu mertua saya bisa dengan rinci menjelaskan proses memasak ayam bakakak versinya, dengan menggunakan bahasa Indonesia bercampur dialek Sunda yang kental.
“Bumbunya bawang putih, bawang merah, katuncar (ketumbar), kunyit, lalu pakai cabe sedikit. Kalau mau empuk, ayamnya dibelah tengah langsung direbus pakai bumbu tadi. Setelah itu diangkat, kemudian dibakar sambil dioles lagi dengan bumbu pakai koas kecil. Ingat, jangan terlalu banyak garem, pakai juga mentega sama penyedap sedikit!”
Meski kata Wa Hawe ayam ialah sejenis unggas yang paling merana— sebab walau bersayap mereka tak bisa terbang—bagi saya, ayam, lebih-lebih ayam kampung, adalah satu-satunya unggas yang bisa membuat manusia terus-terusan mendayagunakan akalnya.
Lewat ayam kampung, manusia tidak hanya sibuk menghitung kadar gizi dan kalori, tapi juga merangkai narasi, mencari tautan tradisi sekadar untuk mengukuhkan yang sakral, hingga mencuri predikat viral di media sosial. Singkat kata, gara-gara ayam kampung, kita, orang Indonesia, bisa mengingat tradisi sekaligus boros nasi.
“Sanguan deui, Wa!”
Editor: Nuran Wibisono