Menuju konten utama

Aspek: Aturan Potongan Tapera Makin Membuat Pekerja Terpuruk

Mirah bilang Aspek akan meminta pemerintah untuk membatalkan PP yang telah diterbitkan sejak 20 Mei 2024.

Aspek: Aturan Potongan Tapera Makin Membuat Pekerja Terpuruk
Sejumlah warga melintas di salah satu kompleks perumahan di Batam, Kepulauan Riau, Selasa (6/6/2023). ANTARA FOTO/Teguh Prihatna/aww.

tirto.id - Ketua Asosiasi Serikat Pekerja (Aspek) Indonesia, Mirah Sumirat, menilai, penerbitan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2024 tentang Perubahan atas PP Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) sama saja menzalimi para pekerja, di tengah sulitnya perekonomian Indonesia. Sebab, upah pekerja menjadi lebih murah sejak dirilisnya Undang-Undang Cipta Kerja.

Belum lagi, kata Mirah, para pekerja juga masih harus menghadapi kenaikan harga pangan sampai 20%, inflasi tinggi, gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK), hingga kesulitan mencari pekerjaan.

"Jadi ini luar biasa, makin terpuruk, makin miskin kehidupan para pekerja. Saya kira, saya menolak keras dengan adanya pemotongan gaji 2,5% bagi pekerja buruh untuk diberikan kepada Tabungan Perumahan (Rakyat) ini,” kata Mirah, saat dihubungi Tirto, Selasa (28/5/2024).

Sebagai bentuk penolakan, pada Rabu (29/5) atau Kamis (30/5), Aspek bakal bersurat kepada Presiden Joko Widodo. Mirah bilang, mereka akan meminta pemerintah untuk membatalkan PP yang telah diterbitkan sejak 20 Mei 2024 tersebut.

Menurut Mirah, alih-alih membuat aturan tentang pemotongan upah pekerja dan pekerja mandiri atau freelancer, pemerintah seharusnya memberikan subsidi agar para pekerja yang termasuk dalam kategori Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) dapat mengakses rumah murah. Apalagi, pemerintah yang seharusnya bertanggung jawab dan berkewajiban untuk menyiapkan serta menyediakan perumahan bagi rakyat.

“Kalaupun belum bisa, maka pemerintah lah yang memberikan subsidi, bukan kemudian upah pekerja yang dipotong secara paksa upahnya,” kata Mirah.

Tidak hanya itu, Mirah juga menyayangkan sikap pemerintah yang sering kali membuat aturan yang menyasar pekerja, tanpa melibatkan partisipasi pekerja ataupun asosiasi-asosiasi buruh. Pada akhirnya, kebijakan-kebijakan itu kemudian hanya semakin mencederai hak-hak pekerja.

Selain itu, dia meminta agar pemerintah berkaca pada pelaksanaan iuran BPJS Ketenagakerjaan yang rutin dibayarkan para pekerja. Namun, di sisi lain hanya memberikan sedikit manfaat bagi para pesertanya.

“Betul itu diwajibkan untuk pekerja. Jadi kita enggak berdaya kalau ini diwajibkan? Ini sama saja ngumpulin uang dari rakyat. Nanti peruntukannya nggak jelas. Berkaca pada BPJS Ketenagakerjaan, meskipun uang buruh banyak, tapi banyak yang nggak klaim, karena nggak tau caranya,” imbuh Mirah.

Sebagai informasi, dalam Pasal 15 ayat (1) PP 21 Tahun 2024, dijelaskan besaran simpanan peserta ditetapkan sebesar 3 persen dari gaji atau upah untuk peserta pekerja dan penghasilan untuk pekerja mandiri. Dengan 0,5 persen akan ditanggung oleh pemberi kerja dan 2,5 persen oleh pekerja.

“Besaran simpanan peserta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk peserta pekerja mandiri ditanggung sendiri oleh pekerja mandiri,” tulis beleid tersebut.

Kemudian, dalam pelaksanaannya pemerintah memberikan tenggat waktu untuk mendaftarkan para pekerja kepada BP Tapera paling lambat 7 tahun sejak PP 21 Tahun 2024 diteken. Selain itu, pada Pasal 20 juga dijelaskan, pemberi kerja wajib menyetorkan simpanan Tapera setiap bulan, paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya dari bulan simpanan yang bersangkutan ke Rekening Dana Tapera.

Baca juga artikel terkait TAPERA atau tulisan lainnya dari Qonita Azzahra

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Qonita Azzahra
Penulis: Qonita Azzahra
Editor: Abdul Aziz