tirto.id - Hampir tiga minggu sudah Saga Omar Nagata menjalani proses pemulihan akibat infeksi di telinga kirinya. Putra penyanyi Anji dan Wina Natalia itu adalah satu dari sedikit anak di dunia yang memiliki sinus preauricular, yakni lubang kecil mirip tindikan anting di telinga.
Telinga Saga mengalami infeksi akibat bakteri yang masuk ke dalam lubang tersebut. Lewat akun instagramnya @winatalia, sang ibu berbagi kisah soal penyakit langka yang diderita anaknya. Awalnya, mereka mengira bengkak di telinga Saga sebagai bisul. Namun hingga hari ketujuh, bengkaknya tak kunjung kempis sampai-sampai Saga sering menangis. Pada hari kesembilan, bengkak sempat mengempis, tetapi masih ada sisa nanah yang harus dikeluarkan.
“Harus dikompres obat dengan harapan sisa nanah keluar,” tulis Wina.
Sayangnya hingga hari ketiga belas, masih ada sisa nanah akibat infeksi sehingga Saga terpaksa menjalani prosedur operasi pembersihan. Dua tahun silam, Saga juga pernah mengalami infeksi serupa di telinga kanan. Hanya saja, saat itu infeksinya pulih dengan cepat. Menurut laman Children's Hospital of Philadelphia, sinus preauricular tak lebih dari sekadar lubang kecil di telinga.
Lazimnya ia muncul hanya di salah satu telinga, persisnya di titik tulang rawan yang terhubung ke wajah. Tampilannya mirip nodul, penyok, atau lesung. Sinus preauricular muncul karena proses perkembangan daun telinga yang tidak sempurna ketika bayi berada di kandungan, tepatnya selama fase awal, minggu keempat hingga keenam kehamilan. Kelainan ini terjadi karena lengkungan faring pertama dan kedua tidak bergabung dengan baik. Untungnya, kelainan ini tidak mengganggu kesehatan.
“Namun, akan jadi masalah ketika bakteri menginfeksi lubang,” tulis laman tersebut.
Jika bakteri masuk, kista atau infeksi jinak, termasuk nanah kecil yang dikenal sebagai abses, bisa berkembang. Lengkungan faring adalah struktur yang ada pada setiap jenis vertebrata dan tumbuh selama pembentukan embrio. Pada mamalia, pelekatan faring terus berkembang dan membentuk struktur kepala serta leher. Sementara pada ikan, faring berkembang menjadi insang.
Hong Jun Kim, dkk dalam hasil penelitian berjudul A Case of Bilateral Postauricular Sinuses, mengatakan bahwa infeksi sinus preuricular pada telinga dapat menyebabkan indera pendengaran mengalami iritasi, keluar cairan, menimbulkan bau, nyeri, dan bengkak. Jika hal ini terjadi, pasien harus segera diberi penanganan dengan antibiotik untuk mengeringkan infeksi. Operasi untuk menghilangkan semua kista, seperti yang dijalani Saga, juga harus dilakukan.
Jika penanganan terlambat, infeksi dapat menyebar ke bagian tubuh yang berdekatan, misalnya daun telinga, sendi pada rahang dekat telinga, dan corong yang menghubungkan daun dengan gendang telinga. Pengobatan awal biasanya menggunakan antibiotik sistemik. Namun pada abses, operasi pengeringan mungkin harus dilakukan.
Sisa Evolusi
Ditemukan pertama kali oleh Van Heusinger pada 1864, sinus preuricular adalah kejadian langka di dunia. Sinus preuricular diderita 0,1 persen penduduk Amerika Serikat, 0,9 persen masyarakat Inggris, 4-10 persen orang Asia dan sebagian Afrika.
Dalam laporan bertajuk "Preauricular Sinus: A Novel Approach" (2012), Kavuturu V. S. Kumar Chowdary, Nelakurthi Sateesh Chandra, dan Ratnavelu Karthik Madesh mengatakan bahwa sinus preuricular pada 0,1-0,9 persen penduduk dunia. Ia lebih sering dialami orang keturunan Afrika atau Asia, khususnya perempuan, dan muncul di sisi kanan telinga. Sejauh ini, sinus preauricular hanya dikategorikan sebagai kelainan yang mengganggu bentuk visual telinga semata.
“Orangtua yang memiliki sinus preauricular kemungkinan akan punya anak dengan kondisi serupa,” tulis Kumar, dkk.
Dalam sebuah video yang diunggah Business Insider, biolog evolusi Amerika Serikat Neil Shubin berspekulasi tentang muasal lubang kecil di telinga tersebut. Menurut Shubin, sinus preauricular kemungkinan adalah sisa-sisa evolusi insang ikan. Dalam buku berjudul Your Inner Fish(2009), Shubin menjabarkan secara rinci proses jutaan tahun evolusi ikan menjadi amfibi dan mamalia, termasuk manusia.
Pada tahun 2004 di Kutub Utara, Shubin dan timnya menemukan moncong hewan berkepala pipih menempel di sebuah dinding tebing. Fosil ikan Tiktaalik roseae itu memiliki panjang 3 meter dan hampir membentuk kerangka utuh. Temuan tersebut rupanya menggenapi missing link antara Panderichthys, ikan yang memiliki tanda-tanda evolusi awal hewan darat 385 juta tahun lalu, dengan Acanthostega, yakni hewan darat berkaki empat yang muncul 365 juta tahun lalu.
“Tiktaalik hidup setelah Panderichthys, sebelum Acanthostega, sekitar 380 juta tahun lalu,” tulis Shubin.
Tiktaalik punya sirip dan struktur tulang lebih kuat dari Panderichthys, sehingga memungkinkan hewan ini beradaptasi dengan merangkak dari perairan dangkal ke darat. Meski didukung oleh banyak ilmuwan, akan tetapi penelitian lebih lanjut mengenai Tiktaalik terus dikembangkan, mengingat telah banyak varian teori evolusi spesies yang lebih dulu berkembang.
Editor: Windu Jusuf