Menuju konten utama
Periksa Data

Mengapa Banyak Orang Mengabaikan Pandemi COVID-19?

"No Pict, Hoax". Mungkin ungkapan inilah jawaban yang paling mendekati dari alasan mengapa masyarakat seolah ragu terhadap ancaman COVID-19 di Indonesia.

Mengapa Banyak Orang Mengabaikan Pandemi COVID-19?
Periksa Data Mengapa Banyak Orang Tidak Peduli dengan Pandemi. tirto.id/Lugas

tirto.id - Sejak kasus COVID-19 yang disebabkan virus corona baru SARS-CoV-2 terkonfirmasi di Indonesia enam bulan silam, 'prediksi' yang ditampilkan Contagion (2011) tampaknya mulai terbukti. Dalam film garapan Steven Soderbergh itu, banyak orang tidak percaya pada keberadaan virus mematikan yang menyebar ke seluruh dunia. Situasi serupa juga terjadi di dunia nyata saat ini.

Dalam beberapa bulan terakhir, dunia maya memang disesaki banyak orang yang mulai tidak percaya atas keberadaan COVID-19, apalagi bahayanya. Mereka berkicau mengenai teori konspirasi bahwa SARS-CoV-2 ini hanyalah "akal-akalan elite global" atau "persaingan bisnis antarnegara."

Fenomena ini terjadi di berbagai belahan dunia. Masing-masing tempat punya bumbu tersendiri terkait teori konspirasi yang beredar, termasuk Indonesia. Para influencer di media sosial turut mengamplifikasi informasi yang beredar, baik yang mendidik maupun yang berbau konspirasi.

Deddy Corbuzier, misalnya, pada 19 April 2020 mengunggah video obrolan dengan rapper Young Lex berjudul "CORONA HANYA SEBUAH KEBOHONGAN KONSPIRASI ⁉️ (Tonton sebelum video ini ter take down)" yang kontroversial. Pada 21 Mei 2020, ia juga mengunggah video wawancaranya yang tak kalah kontroversial dengan narapidana korupsi Siti Fadilah Supari, mantan menteri kesehatan yang mengaku berhasil menangani flu burung.

Ada pula musisi Erdian Aji Prihartanto, atau Anji, yang meragukan karya foto jurnalistik Joshua Irwandi. Catatan singkat, jepretan Joshua untuk National Geographic itu menampilkan jenazah terbungkus plastik yang meninggal akibat COVID-19 di salah satu rumah sakit di Jakarta.

Anji dalam unggahannya pada 17 Juli menyebut COVID-19 "tidak semengerikan itu." Unggahan Anji memang telah dihapus karena gelombang protes warganet. Pewarta Foto Indonesia (PFI) turut mengecam Anji karena telah "mendiskreditkan profesi jurnalis." PFI menilai Anji menyamakan kerja jurnalisme dengan kerja 'influencer' seperti Anji.

Tak berhenti di situ, Anji kembali melakukan kekonyolan lewat video yang ia unggah di akun YouTube miliknya. Dalam video itu ia mewawancarai Hadi Pranoto, orang yang menyebut dirinya "profesor mikrobiologi," yang mengklaim menemukan obat herbal yang mampu menyembuhkan "ribuan pasien COVID-19 dalam hitungan hari." Belakangan video tersebut dihapus karena menyesatkan dan perkara ini bahkan diusut oleh kepolisian.

Catatan singkat, Deddy Corbuzier dan Anji punya jutaan subscriber dan pengikut di akun media sosial mereka. Akun YouTube Corbuzier, misalnya, memiliki 10,9 juta subscriber, sementara Anji memiliki 3,68 juta subscriber.

Namun, benarkah Deddy, Anji, dan influencer lain benar-benar mampu memengaruhi audiens melalui konten bombastis dan teori konspirasi? Mengapa ada yang percaya teori konspirasi kendati hal itu membuat mereka berpotensi mengabaikan pandemi COVID-19 yang berujung pada peningkatan penularan virus?

Ada banyak faktor. Salah satunya semakin menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah menangani pandemi. Tak hanya itu, kepercayaan masyarakat terhadap media juga masih lebih rendah dibandingkan kepada lingkar dalam mereka seperti teman dan saudara.

Faktor lain yang tak kalah penting sesungguhnya adalah adanya keyakinan di masyarakat bahwa kepercayaan dapat diraih hanya jika melihat dengan mata kepala mereka sendiri. Faktor ini timbul seiring dengan banyaknya hoaks berbasis manipulasi baik foto ataupun video yang beredar di internet.

Probabilitas Interaksi Antar Masyarakat

Lantas, seberapa besar kemungkinan seseorang akan melihat atau bertemu langsung dengan pasien COVID-19, baik yang sudah maupun yang belum teridentifikasi?

Berdasarkan data 31 Agustus 2020, Indonesia mencatat 174.796 kasus COVID-19. Jumlah ini tidak kecil. Sejak 19 Juli 2020, kasus positif di Indonesia sudah melewati China, episentrum pertama penularan COVID-19.

Catatan penting, angka kasus Indonesia tidak menggambarkan realitas yang ada karena sampai enam bulan terakhir Indonesia masih minim dalam melakukan tes. Jumlah kasus yang diumumkan merupakan angka kumulatif, bukan kasus aktual sehingga tidak merepresentasikan kaidah epidemiologi. Selain itu, contact tracing yang agresif juga masih minim dilakukan pemerintah.

Apakah jumlah kasus corona ini benar-benar dialami di lingkungan sekitar seseorang? Analisis ini mencoba mengacu pada penelitian Del Valle, et al. pada 2007 di Portland, Amerika Serikat. Dalam penelitian itu, dikemukakan bahwa rata-rata orang dewasa berumur 20-50 tahun berinteraksi dengan sekitar 21-23 orang setiap hari.

Hasil penelitian ini memang tak bisa diterapkan langsung dengan perilaku interaksi di Indonesia, tapi bisa menjadi gambaran awal. Selain itu, kita bisa berkaca pada kegiatan diri sendiri dan menghitung berapa orang yang sudah kita temui, baik ketika hanya berpapasan maupun berinteraksi langsung.

Sedikit catatan, para pekerja esensial seperti kasir, pramusaji, dan satpam memiliki potensi interaksi jauh lebih banyak dibandingkan pegawai kantoran yang memiliki privilese untuk bekerja dari rumah.

Sebagai gambaran, lingkaran dengan garis kuning putus-putus pada grafik adalah ruang lingkup yang sekiranya ditemui oleh subyek setiap hari, mengikuti hasil penelitian Del Valle, et al. Lalu dengan tombol acak, kita bisa melihat seberapa sering probabilitas lingkaran berwarna merah masuk ke lingkaran kuning. Artinya, seberapa sering penderita COVID-19 akan ada di lingkup orang yang kita temui sehari-hari.

Jumlah 174.796 kasus berbanding 267 juta penduduk Indonesia berarti 0,06% atau 0,06 orang per 100 populasi atau 6 orang per 10.000 populasi terinfeksi COVID-19 di Indonesia.

Sementara itu, pada 31 Agustus 2020, tercatat 40.309 kasus di Jakarta. Jika dibandingkan dengan seluruh 9,6 juta penduduk Jakarta, ada 0,42% penduduk Jakarta positif COVID-19 atau sekitar 4 orang per 1.000 penduduk, atau 42 orang per 10.000 populasi.

Periksa Data Banyak Orang Tidak Peduli dengan Pandemi

Mengapa Banyak Orang Tidak Peduli dengan Pandemi. tirto.id/Lugas

Jawa Timur mencatat 33.220 kasus pada 31 Agustus 2020. Kasus di Jawa Timur adalah tertinggi kedua se-Indonesia. Tapi, luas Jawa Timur lebih besar dari Jakarta dan penduduknya juga lebih banyak, yaitu 38,85 juta penduduk. Jika dibandingkan dengan seluruh penduduk Jawa Timur, maka 0,08% penduduk Jawa Timur positif terinfeksi COVID-19, atau 8 orang per 10.000 populasi.

Walaupun di Jawa Timur kasusnya terbanyak se-Indonesia, tapi kasusnya tampak lebih sedikit bila dibandingkan dengan populasinya. Penduduk Jawa Timur sangat mungkin akan semakin abai dengan pandemi ini, karena kemungkinan besar mereka tidak melihat langsung kasus COVID-19 terjadi di lingkungan sekitar mereka.

Catatan penting, data dan visualisasi ini akan lebih jelas apabila diterapkan dalam skala kota, misalnya, di Surabaya saja.

Periksa Data Banyak Orang Tidak Peduli dengan Pandemi

Mengapa Banyak Orang Tidak Peduli dengan Pandemi. tirto.id/Lugas

Lebih lanjut, pada tanggal 31 Agustus 2020 sudah tercatat ada 5.207 kasus positif di Bali. Apabila dibandingkan dengan seluruh 4,2 juta penduduk Bali, maka 0,12% penduduk Bali positif terinfeksi Covid-19, atau 12 orang per 10.000 populasi.

Melihat angkat tersebut, maka masuk akal bila orang cenderung tidak percaya terhadap kegawatan persebaran COVID-19layaknya penabuh drum Superman Is Dead Jerinx atau JRXkarena sebagian besar tidak pernah bertemu langsung dengan kasus COVID-19. Walaupun lingkar interaksinya diperbesar menjadi sekitar 100 orang pun, belum tentu 12 orang yang positif akan masuk dalam lingkaran tersebut.

Periksa Data Banyak Orang Tidak Peduli dengan Pandemi

Mengapa Banyak Orang Tidak Peduli dengan Pandemi. tirto.id/Lugas

Indonesia tercatat memiliki positivity rate kasus COVID-19 sebesar 13,5%, dengan rata-rata bulanan tertinggi pada bulan Agustus, yaitu 15,3%. Angka ini telah jauh melampaui standar yang ditetapkan oleh World Health Organization (WHO) yaitu 5%.

Positivity rate adalah rasio kasus positif dibandingkan hanya dengan sampel yang telah dites, bukan dengan populasi suatu daerah. Angka ini fluktuatif seiring dengan pertambahan jumlah tes yang dilakukan.

Secara keseluruhan, DKI Jakarta memiliki positivity rate sebesar 6,3%. Di Jakarta, positivity rate tampak mengalami peningkatan dalam dua minggu terakhir di bulan Agustus. Rata-rata positivity rate pada 16 hingga 30 Agustus 2020 sebesar 9,95%. Rata-rata pada 23 hingga 30 Agustus sebesar 10.11%.

Walau positivity rate tidak dihitung berbanding dengan populasi daerah, namun hal ini dapat menjadi gambaran berapa banyak potensi orang yang terinfeksi COVID-19, baik yang sudah terkonfirmasi, belum di tes, maupun OTG (Orang Tanpa Gejala) di sekitar kita.

Positivity rate Indonesia sebesar 13,5% berarti setidaknya ada sekitar 1.350 orang per 10.000 populasi di seluruh Indonesia memiliki kemungkinan terjangkit COVID-19, baik yang telah terdeteksi maupun yang belum. Di DKI Jakarta, angka 6,3% berarti setidaknya terdapat 630 orang per 10.000 populasi di Jakarta yang memiliki kemungkinan terjangkit COVID-19.

Periksa Data Banyak Orang Tidak Peduli dengan Pandemi

Mengapa Banyak Orang Tidak Peduli dengan Pandemi. tirto.id/Lugas

Apabila sebelumnya terdapat penjelasan bahwa di Jakarta sudah mencatat 42 orang per 10.000 populasi yang positif, maka otoritas kesehatan, pemerintah, dan masyarakat harus mewaspadai minimal 588 orang yang memiliki kemungkinan terjangkit COVID-19. Sebanyak 588 orang ini mungkin masih berkeliaran dan tidak terdeteksi karena kurangnya contact tracing, tes massal, ataupun tidak menunjukkan gejala (OTG).

Dari grafik-grafik sebelumnya, kita bisa melihat bagaimana banyak orang kemungkinan besar tidak menyaksikan atau mengalami COVID-19 dari dekat dan langsung. Kendati demikian, perlu diperhatikan bahwa kenyataan akan COVID-19 sesungguhnya cukup dekat dengan gambaran grafik positivity rate.

Selain itu, banyak pihak seolah lupa bahwa penularan COVID-19 dapat terjadi bahkan tanpa bertemu langsung tapi melalui perantara yang umumnya mudah dipegang, seperti: gagang pintu, railing tangga, tombol lift, setang motor, setir mobil, peralatan makan, hingga uang.

Baca juga artikel terkait PERIKSA DATA atau tulisan lainnya dari Louis Lugas Wicaksono

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Louis Lugas Wicaksono
Editor: Ign. L. Adhi Bhaskara