Menuju konten utama

Asa Permainan Tradisional Sebelum Punah

Banyak permainan tradisional yang hampir punah. Padahal permainan tradisional umumnya mengandung kegiatan fisik, kreativitas, sportivitas, interaksi sosial, makna filosofis yang dalam dan masih banyak segudang manfaat lainnya. Di era modern saat ini anak-anak lebih kenal dengan ragam permainan elektronik seperti game. Bisakah permainan tradisional bertahan di tengah perubahan zaman?

Asa Permainan Tradisional Sebelum Punah
Sejumlah anak berlari dan adu strategi saat mengikuti perlombaan permainan tradisional Bentengan di lapangan Thor Surabaya, Jawa Timur. [Antara Foto/Moch Asim]

tirto.id - “Saya pribadi ingin ada lomba-lomba tradisional yang pernah kami mainkan sewaktu masih kecil. Anak kecil sekarang dengan anak kecil dulu beda banget mainannya. Sorodot gaplok, rorobonan, galah asin, boy-boyan.”

Unek-unek ini meluncur dalam obrolan grup WhatsApp Rukun Tetangga (RT) di kawasan Depok, Jawa Barat, ketika membahas kegiatan perlombaan 17 Agustus. Respons datar dari para anggota grup seolah memberi kesan tak ada yang paham apa yang dimaksud sang inisiator.

Istilah sorodot gaplok, rorobonan, galah asin, boy-boyan bisa jadi nama yang asing bagi banyak orang. Selain pengalaman, latar belakang seseorang saat dibesarkan, asal daerah, kawasan perkotaan juga menentukan meleknya seseorang terhadap permainan tradisional. Indonesia salah satu negara yang menyimpan kekayaan permainan tradisional, hampir setiap daerah memilikinya. Sayangnya, hanya sedikit permainan dan alat tradisonal yang diingat oleh sebagian orang seperti petak umpet, engrang, congklak, dan lainnya.

Media thejakartapost pernah menulis berdasarkan data Komunitas Hong, sebuah komunitas pelestari permainan tradisional di Indonesia yang berada di Ciburial, Cimenyan, Bandung, Jawa Barat. Diperkirakan ada 1.000 lebih permainan tradisional dari Sabang sampai Merauke, tapi yang berhasil tercatat lebih sedikit. Dari jumlah itu, hanya 20 persen yang masih eksis dan tetap dimainkan oleh publik terutama di pedesaan.

“Jumlah yang sudah kami kumpulkan sudah ada 890 jenis,” kata pendiri Komunitas Hong, M. Zaini Alif dikutip dari situs ciburial.desa.id.

Apa yang menjadi perkiraan komunitas ini sangat klop dengan kondisi di lapangan. Berdasarkan hasil tesis tentang permainan tradisional yang dipublikasikan binus.ac.id, pengetahuan dan kesadaran orang tua Indonesia terhadap permainan tradisional masih rendah. Padahal para orang tua saat ini tak sedikit yang masih mengalami permainan tradisional saat mereka kanak-kanak.

Dalam studi itu, dari total 153 koresponden orang tua, rentang umur antara 20-45 tahun, rasio perbandingan perempuan dan laki-laki sebesar 55 persen dan 45 persen. Sebanyak 80 persen dari mereka berpendidikan S1. Mereka terdiri dari dua kategori, yaitu kalangan yang sudah memiliki anak usia 0-8 tahun, dan kalangan yang belum memiliki anak.

Tercatat sebanyak 60 persen dari kalangan yang sudah memiliki anak usia 0-8 tahun menjawab bahwa mereka lebih sering memberikan anak-anaknya permainan berbasis digital. Hanya sekitar 20 persen saja yang menjawab mereka mengarahkan anaknya untuk bermain permainan tradisional.

Sebanyak 50 persen dari koresponden yang memiliki anak usia 0-8 tahun tidak mengetahui bahwa permainan tradisional mengandung dan mengajarkan nilai-nilai budaya. Selain tercatat sebanyak 50 persen cukup tertarik untuk mengetahui lebih jauh tentang permainan tradisional.

Sementara itu, koresponden yang belum memiliki anak menjawab sebanyak 53 persen koresponden memilih permainan tradisional untuk diberikan kepada anak usia 3-8 tahun. Ada 31 persen koresponden tidak tahu permainan tradisional mengandung dan mengajarkan nilai-nilai budaya.

Sebuah Alasan

Survei bisa menggambarkan kondisi alam pikiran orang tua di Indonesia terhadap permainan tradisional. Pemahaman terhadap pentingnya permainan warisan nenek moyang ini masih perlu ditingkatkan. Padahal umumnya permainan tradisional jarang membutuhkan peralatan khusus. Banyak permainan dapat dimainkan di mana saja dan lintas usia.

Sebuah jurnal Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) dalam situs uny.ac.id mengungkapkan beberapa manfaat dari permainan tradisional di Indonesia. Permainan tradisional cenderung menggunakan atau memanfaatkan alat atau fasilitas di lingkungan sekitar tanpa harus membelinya sehingga perlu daya imajinasi dan kreativitas yang tinggi bagi anak-anak. Banyak alat-alat permainan yang dibuat atau digunakan dari tumbuhan, tanah, genting, batu, atau pasir.

Permainan anak tradisional melibatkan pemain yang relatif banyak, hampir setiap permainan rakyat begitu banyak anggotanya. Sebab, selain mendahulukan faktor kesenangan bersama, permainan ini juga mempunyai dampak interpersonal yang lebih tinggi seperti petak umpet, congklak, dan gobak sodor. Kegiatan ini juga sebagai cara mewariskan nilai-nilai luhur dan pesan-pesan moral tertentu seperti nilai-nilai kebersamaan, kejujuran, tanggung jawab, sikap lapang dada atau sportivitas, dorongan berprestasi, dan taat pada aturan.

Dari sisi jasmani, permainan tradisional dapat menstimulasi berbagai aspek perkembangan anak yang dapat meliputi hal-hal perkembangan motorik, termasuk melatih daya tahan fisik, daya lentur. Selain itu, ada dorongan pada aspek kognitif seperti mengembangkan imaginasi, kreativitas, kemampuan memecahkan masalah.

Permainan tradisional engklek misalnya, berdasarkan riset dari 30 anak usia SD kelas III dan IV di Kabupaten Malang, menunjukkan bahwa permainan tradisional tersebut memiliki keunggulan dalam mengatasi permasalahan anak. Permainan ini meningkatkan koordinasi dan keseimbangan tubuh. Seorang anak juga bisa belajar memecahkan masalah sehingga kemampuan tersebut bisa jadi pengalaman dalam kehidupan nyata.

Bangkitnya Kesadaran

Manfaat penting adanya permainan tradisional telah membangkitkan kesadaran bahwa permainan-permainan ini harus dilestarikan. Lembaga PBB yang mengurusi anak-anak, UNICEF termasuk yang memberikan perhatian terhadap permainan tradisional di dunia.

Juga, beberapa program internasional seperti International Inspiration programme yang diselenggarakan britishcouncil menyadari pentingnya permainan tradisional sebagai sarana edukasi bagi anak-anak. Pada 2007 terdapat 20 negara yang terlibat dalam program ini, yang menampilan 22 permainan mewakili negaranya, termasuk dari Indonesia ada permainan galah asin.

Hasrat melestarikan permainan tradisional tak hanya dalam skala global, tapi juga skala lokal. Pada 2013 lalu pemerintah daerah Jawa Barat menggelar pesta permainan rakyat dengan tajuk "Festival Kaulinan Urang Lembur 2013. Setelah itu, untuk pertama kalinya, pesta olahraga tradisional Alimpaido digelar dalam rangkaian kegiatan Festival Seni dan Budaya Pesisir Utara Jawa di Keraton Kasepuhan Cirebon yang berlangsung sejak 8-10 Oktober 2014.

Alimpaido menampilkan delapan cabang permainan yang dilombakan secara estafet antara lain engrang, lari kelom batok, tarik pelepah, lari sinerji, perepet jengkol, lari putar gasing, lomba beban tarik pelepah, engklek tembak batu sorodot gaplok, dan menembak dengan sumpit.

Kabar lain yang menggembirakan, Association For International Sport for All (TAFISA) World Games yang akan digelar di Jakarta, 6-12 Oktober 2016 akan memasukan engrang sebagai permainan tradisional asli Indonesia yang akan dipertontonkan kepada perwakilan 110 negara. Kegiatan TAFISA selama ini lebih fokus pada olahraga rekreasi.

Jadi, bukti nyata untuk mendukung keberlangsungan permainan tradisional banyak caranya, antara lain tetap memperkenalkannya kepada anak-anak. Sarana yang paling ampuh mengajarkannya di sektor formal bisa melalui sekolahan, atau juga acara festival, pesta rakyat seperti 17 Agustus yang akan berlangsung sebentar lagi. Melestarikan permainan tradisional Indonesia bisa dimulai dari lingkungan Anda masing-masing.

Baca juga artikel terkait SOSIAL BUDAYA atau tulisan lainnya dari Suhendra

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Suhendra
Penulis: Suhendra
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti