Menuju konten utama

Arti Resesi Ekonomi 2023 dan Bagaimana Kondisi Indonesia Saat Ini?

Arti resesi ekonomi 2023 dan kondisi ekonomi Indonesia saat ini.

Arti Resesi Ekonomi 2023 dan Bagaimana Kondisi Indonesia Saat Ini?
Ilustrasi Resesi Global. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Resesi adalah penurunan signifikan dalam kegiatan ekonomi yang berlangsung selama berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun.

Para ahli menyatakan resesi ketika ekonomi suatu negara mengalami produk domestik bruto (PDB) negatif, tingkat pengangguran meningkat, penurunan penjualan ritel, ukuran pendapatan dan manufaktur yang berkontraksi untuk jangka waktu yang lama.

Menurut Forbes, resesi dianggap sebagai bagian yang tak terhindarkan dari siklus bisnis dan kontraksi reguler yang terjadi dalam perekonomian suatu negara.

Selama resesi, orang kehilangan pekerjaan, perusahaan membuat penjualan lebih sedikit dan output ekonomi negara secara keseluruhan menurun. Titik di mana ekonomi secara resmi jatuh ke dalam resesi tergantung pada berbagai faktor.

Pada tahun 1974, ekonom Julius Shiskin mengemukakan beberapa aturan praktis untuk mendefinisikan resesi: Yang paling populer adalah penurunan PDB selama dua kuartal berturut-turut.

Ekonomi yang sehat berkembang dari waktu ke waktu, sehingga dua kuartal berturut-turut dari output yang berkontraksi menunjukkan ada masalah mendasar yang serius, menurut Shiskin. Definisi resesi ini menjadi standar umum selama bertahun-tahun.

Biro Riset Ekonomi Nasional (NBER) umumnya diakui sebagai otoritas yang menentukan tanggal mulai dan berakhirnya resesi AS.

NBER memiliki definisi sendiri tentang apa yang dimaksud dengan resesi, yaitu “penurunan signifikan dalam aktivitas ekonomi yang tersebar di seluruh perekonomian, berlangsung lebih dari beberapa bulan, biasanya terlihat dalam PDB riil, pendapatan riil, lapangan kerja, produksi industri, dan penjualan grosir-eceran.”

Prediksi Resesi 2023

Menurut studi dari World Bank, dunia mungkin bergerak menuju resesi global pada tahun 2023 ketika bank sentral di seluruh dunia secara bersamaan menaikkan suku bunga sebagai respons terhadap inflasi.

“Pertumbuhan global melambat tajam, dengan kemungkinan perlambatan lebih lanjut karena lebih banyak negara jatuh ke dalam resesi. Kekhawatiran mendalam saya adalah bahwa tren ini akan bertahan, dengan konsekuensi jangka panjang yang menghancurkan orang-orang di pasar negara berkembang dan ekonomi berkembang,” kata Presiden Grup Bank Dunia David Malpass.

“Untuk mencapai tingkat inflasi yang rendah, stabilitas mata uang, dan pertumbuhan yang lebih cepat, para pembuat kebijakan dapat mengalihkan fokus mereka dari mengurangi konsumsi ke meningkatkan produksi. Kebijakan harus berusaha untuk menghasilkan investasi tambahan dan meningkatkan produktivitas dan alokasi modal, yang sangat penting untuk pertumbuhan dan pengurangan kemiskinan.”

Studi ini menyoroti keadaan luar biasa di mana bank sentral memerangi inflasi hari ini. Beberapa indikator historis resesi global sudah memberikan peringatan. Perekonomian global saat ini mengalami perlambatan paling tajam setelah pemulihan pasca-resesi sejak tahun 1970.

Bank sentral harus mengomunikasikan keputusan kebijakan dengan jelas sambil menjaga independensi mereka. Ini dapat membantu menopang ekspektasi inflasi dan mengurangi tingkat pengetatan yang diperlukan.

Di negara maju, bank sentral harus mengingat efek limpahan lintas batas dari pengetatan moneter. Di pasar negara berkembang, mereka harus memperkuat peraturan makroprudensial dan membangun cadangan devisa.

Kondisi Ekonomi Indonesia Saat Ini

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2023 lebih aman dari goncangan karena kebijakan konsolidasi fiskal pada 2023.

Konsolidasi fiskal pada 2023 tampak pada defisit dalam Rancangan Undang-Undangan APBN Tahun Anggaran 2023 yang dipatok sebesar 2,84 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) atau kembali ke bawah 3 persen dari PDB sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020.

“Dengan kenaikan suku bunga dan gejolak di sektor keuangan serta nilai tukar, maka defisit yang lebih rendah memberikan potensi keamanan bagi APBN dan perekonomian kita,” kata Sri Mulyani dalam rapat bersama Badan Anggaran DPR RI di Jakarta, Selasa.

Pemerintah dan DPR RI menyepakati defisit anggaran mencapai Rp598,15 triliun atau 2,84 persen dari PDB dalam RUU APBN TA 2023 sehingga terdapat pembiayaan utang senilai Rp598,15 triliun yang mesti dikelola dengan baik.

“Kami sepakat bahwa kita harus sangat waspada terhadap pengelolaan defisit dan pembiayaan utang tersebut,” katanya.

APBN pada 2023 akan difokuskan untuk memperbaiki produktivitas dalam rangka terus mendukung transformasi ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan.

Pendapatan negara yang diasumsikan mencapai Rp2.463,02 triliun pada 2023 juga akan terus dimonitor karena gejolak harga komoditas berpotensi terus berlanjut,

“Kalau dilihat dari gejolak harga komoditas yang bisa berimbas terhadap pendapatan negara baik dari sisi pajak, bea keluar, dan PNBP (Pendapatan Negara Bukan Pajak), maka kita harus membuat suatu mekanisme untuk mengamankan apabila harga komoditas tidak setinggi yang diasumsikan,” katanya.

Adapun belanja negara yang ditarget mencapai Rp3.061,2 triliun akan difokuskan untuk meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM), mendukung tahapan pemilu, menopang pembangunan Ibu Kota Negara (IKN), dan menyelesaikan proyek-proyek infrastruktur strategis yang bermanfaat bagi masyarakat dan perekonomian.

Adapun RUU APBN Tahun Anggaran 2023 telah disepakati oleh pemerintah dan Badan Anggaran DPR RI untuk disahkan dalam sidang paripurna DPR RI.

“Pemerintah sangat menghargai dan menyambut positif masukan yang disampaikan oleh seluruh fraksi pada hari ini. Kami akan mempelajari, dan kami akan merespons dalam pembicaraan tingkat kedua maupun dalam pelaksanaan APBN 2023 yang akan datang,” ucapnya.

Baca juga artikel terkait RESESI EKONOMI atau tulisan lainnya dari Dipna Videlia Putsanra

tirto.id - Ekonomi
Penulis: Dipna Videlia Putsanra
Editor: Iswara N Raditya