tirto.id - Tidak lama setelah pengakuan kedaulatan, Indonesia – terutama ibukota Jakarta – mulai bergeliat. Beberapa proyek pengembangan kota dan pembangunan infrastruktur dilaksanakan sejak awal 1950-an, misalnya pengembangan kota satelit Kebayoran Baru, pembangunan fasilitas penjernihan air Pejompongan, dan pengembangan kawasan permukiman di Grogol.
Tetapi maraknya pengembangan fisik kota belum dibarengi dengan ketersediaan tenaga ahli perencana, khususnya arsitek. Banyak dari arsitek insinyur Belanda pada masa sebelum pendudukan Jepang tidak lagi berpraktik.
Hampir seluruh warga Belanda ditahan di kampung-kampung internir dan hidup menderita. Banyak di antara mereka yang meninggal dunia atau kembali ke Belanda setelah tahun 1945. Meskipun banyak yang kembali berpraktik, tetapi hanya segelintir kecil yang dapat mendedikasikan diri dalam pendidikan.
Hingga tahun 1960, hanya ada satu sekolah yang menawarkan pendidikan tinggi arsitektur di Indonesia. Pendirian pendidikan tinggi ilmu bangunan yang diawali di Technische Hogeschool di Bandung (sekarang Institut Teknologi Bandung/ITB) sejak tahun 1920 merupakan kelanjutan dari sistem sekolah pertukangan (Ambachtsschool) dan sekolah teknik rendah (Lagere Technischeschool) yang telah ada di beberapa kota sejak akhir abad 19.
Sistem pendidikan ini dulu ditujukan untuk mencetak tenaga-tenaga terampil pribumi di bidang keteknikan yang bekerja bagi proyek dinas pekerjaan umum kolonial. Para ahli bangunan pribumi diharapkan dapat menyelenggarakan kegiatan pengembangan infrastruktur, bangunan gedung, dan wilayah mulai dari perencanaan hingga pembangunan di bawah pimpinan para insinyur Belanda.
Di masa kemerdekaan, sistem pendidikan keteknikan di Indonesia tetap mengikuti sistem yang berlaku di Belanda. Sejak tahun 1947 hingga 1959, “Bagian Bangunan” (sebutan bagi Jurusan Arsitektur pada saat itu) di Fakultet Tehnik Universitet Indonesia di Bandung (sebutan bagi ITB saat itu) mengambil pola yang sama dan setara dengan kurikulum pendidikan teknik di negara-negara Eropa barat, yang menekankan keterampilan dan keahlian keinsinyuran.
Profesor Vincent Rogers van Romondt (1903-1974) – yang memimpin Bagian Bangunan di FT UI Bandung - mendefinisikan profesi arsitek sebagai seorang “seniman yang berpengetahuan insinyur, insinyur yang berjiwa seniman,” dan yang dapat “menyelesaikan persoalan-persoalan sampai ke dasar yang berhubungan dengan bentuk dan konstruksi.”
Kesempatan Studi Ke Negeri Seberang
Menjelang pertengahan dekade 1950, sekolah arsitektur satu-satunya di Indonesia tersebut mengalami krisis pengajar. Hingga saat itu, Bagian Bangunan Fakultet Tehnik Universitet Indonesia hanya memiliki kurang dari 5 tenaga pengajar – yang seluruhnya orang Belanda – yang harus mengajar puluhan mahasiswa Indonesia. Hal ini semakin parah di pertengahan 1950-an, ketika hubungan Indonesia dan Belanda kembali memanas karena masalah teritorial Papua.
Seluruh tenaga pengajar Belanda di Bandung – kecuali Professor van Romondt – harus meninggalkan Indonesia dan menyebabkan para mahasiswa Indonesia tidak memiliki dosen.
Hal ini mungkin salah satu faktor yang menyebabkan beberapa mahasiswa Universitet Indonesia melanjutkan pendidikan ke Belanda, ke Technische Hogeschool di Delft.
Di antara dari mereka adalah Suwondo Bismo Sutedjo (1928-2019), Soejoedi Wirjoatmodjo (1928-1981), Kho Lin Hek (Herianto Sulindro, 1928), Oei Jan Beng (1933), Eddy Heryadi (1931), Hoemar Tjokrodiatmo (1931-2019), dan Yusuf Bilyarta Mangunwijaya (1929-1999).
Di TH Delft mereka bergabung bersama mahasiswa Indonesia lain; Han Hoo Tjwan (Han Awal, 1930-2016), Liem Bian Poen (Bianpoen, 1930-2020), Oei King Han (1931-2021), Thung Po Hin (1933), dan Mustafa Pamuntjak (1932-2020).
Di sana mereka mengembangkan persahabatan, solidaritas, serta aktif melakukan berbagai kegiatan, termasuk berdiskusi dan melakukan perjalanan bersama menyaksikan karya-karya arsitektur di Eropa.
Menjelang 1957, keretakan hubungan antara Indonesia dan Belanda atas konflik Papua semakin membesar dan memaksa mereka untuk meninggalkan Belanda. Karena faktor kedekatan, kemiripan bahasa, dan kesetaraan sistem pendidikan, mereka akhirnya pindah ke Jerman Barat.
Mereka semua – kecuali Bianpoen dan Suwondo Sutedjo yang bergabung ke Technische Hochschule di Hannover – pindah ke Berlin dan bergabung ke Technische Universität Berlin. Mereka melanjutkan pendidikan di sana dan lulus pada sekitar tahun 1960-1961 dengan gelar Dipl.-Ing atau Diplom-Ingenieur.
Di Jerman Barat mereka menyaksikan kemeriahan dan belajar banyak dari pembangunan fisik dan perkembangan arsitektur khususnya. Mereka diajar langsung oleh arsitek-arsitek terkenal dan berpengaruh Jerman Barat saat itu, di antaranya: Willy Kreuer (1910-1984), Kurt Dübbers (1905–1987), dan Hans Scharoun (1893-1972). Setelah lulus, beberapa dari mereka – seperti Oei Jan Beng, Kho Lin Hek, dan Thung Po Hin - mengawali karier di Eropa, sementara sebagian besar kembali ke tanah air.
Periode Membangun Profesi Arsitek di Indonesia
Sekembalinya mereka ke tanah air, Indonesia sedang membutuhkan banyak sekali tenaga terampil di bidang arsitektur. Perhelatan akbar Asian Games IV tahun 1962 menuntut banyak pembangunan fasilitas dan infrastruktur.
Kegiatan ‘nation-building’ di era Demokrasi Terpimpin banyak diekspresikan melalui proyek-proyek arsitektural di ibu kota Jakarta. Kebutuhan akan dosen arsitektur juga sangat mendesak. Maka dari itu, kepulangan para arsitek Indonesia lulusan Jerman disambut dengan tangan terbuka lebar.
Soejoedi Wirjoatmodjo bergabung dengan ITB dan segera menggantikan Professor van Romondt memimpin Jurusan Arsitektur pada tahun 1963. Soejoedi dan Han Awal bergabung dengan arsitek lulusan Bandung Kwee Hin Goan merancang Press House - sebuah hotel yang (dulu) berseberangan dengan Hotel Indonesia – dalam rangka melengkapi fasilitas bagi Asian Games IV.
Han Awal juga ditugaskan mengerjakan perencanaan kampus Universitas Atma Jaya di samping Jembatan Semanggi. Suwondo Sutedjo bergabung ke ITB dan menggantikan kepemimpinan Soejoedi tahun 1968.
Reputasi Soejoedi melesat setelah ia memenangkan sayembara rencana pembangunan kompleks CONEFO pada tahun 1965. Bersama biro yang ia dirikan – Gubah Laras - Soejoedi juga merancang banyak sekali bangunan pemerintahan yang monumental hingga tahun 1980-an.
Soejoedi bersama Han Awal, Suwondo, dan Bianpoen juga berjasa mempelopori pembentukan Jurusan Arsitektur di Universitas Indonesia, Jakarta, pada tahun 1965.
Han Awal dan Mustafa Pamuntjak mengembangkan biro Han Awal & Partners. Mereka menjadi salah satu praktisi arsitektur yang paling disegani di Indonesia saat ini. Han Awal juga menjadi pelopor pelestari arsitektur bangunan cagar budaya yang berjasa menentukan dan mengembangkan standar, prosedur, dan metode pelestarian melalui serangkaian proyek-proyek restorasi.
Beberapa dari antara para lulusan Jerman ini berkarya di berbagai administrasi pemerintahan dan juga lembaga pendidikan. Selain mengembangkan praktek partikelir, Mustafa Pamuntjak mengabdi di Kementerian Pekerjaan Umum dan terlibat dalam berbagai program permukiman, perbaikan kampung, dan perencanaan kawasan berskala nasional.
Selain mengajar di berbagai perguruan tinggi, Bianpoen berkarya di Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan berperan sebagai perencana dan peneliti lingkungan perkotaan hingga pertengahan 1980-an.
Para arsitek lulusan Jerman juga meninggalkan banyak jejak dan peran di organisasi keprofesian arsitek Indonesia, di Ikatan Arsitek Indonesia (IAI).
Pameran tentang Arsitek-Arsitek Indonesia lulusan Jerman
Kisah para arsitek Indonesia lulusan Jerman ini akan dipamerkan pada pameran dengan tajukDipl.-Ing. Arsitek: Arsitek Indonesia lulusan Jerman dari tahun 1960-an. Pameran ini disusun untuk menggali berbagai kisah dan catatan berharga dari perjalanan karier mereka, yang terkubur dalam tumpukan naskah, gambar, dan benda yang pernah dekat dengan pekerjaan dan pribadi mereka.
Jauh dari lengkap dan tuntas, pameran ini menyusun ulang serpihan-serpihan tantangan, gagasan, dan upaya beberapa arsitek tersebut dalam mengarungi karier arsitektur – baik di Indonesia maupun di negara lain - sejak paruh kedua abad ke-20 sehingga kita, pada hari ini, dapat memahami dan memetik nilai-nilai berharga dari masa lalu.
Konsep pameran ini diarahkan menjadi sebuah paparan jejak yang mengundang pemirsa untuk ikut menelusuri rentang karier para arsitek Indonesia - sejak masih menjadi mahasiswa hingga berkiprah di dunia profesional hingga mencapai puncak – dan menyelami dunia arsitektur dan kepribadian mereka.
Pameran ini – yang diadakan di Taman Ismail Marzuki dari tanggal 12 Desember 2022 hingga 12 Januari 2023 - merupakan puncak dari serangkaian kegiatan yang mengawalinya: pengarsipan, pendokumentasian, penelitian, penulisan yang dilakukan oleh Yayasan Museum Arsitektur Indonesia dengan arahan kuratorial dari Setiadi Sopandi dan Avianti Armand berkerja sama dengan Sally Below, Moritz Henning, dan Eduard Kogel.
Dengan rentang karier panjang dan kekaryaan yang luas, para arsitek Indonesia lulusan Jerman ini meninggalkan banyak sekali pondasi, batu penjuru, dan warisan berharga tidak hanya bagi para arsitek Indonesia pada masa kini, namun juga masyarakat Indonesia melalui karya dan pemikiran mereka di bidang arsitektur, permukiman, birokrasi, dan lingkungan perkotaan.
Penulis: Setiadi Sopandi
Editor: Lilin Rosa Santi