tirto.id - Masa depan Arnoldus Isaac Zacharias Mononutu pada awalnya nyaris sempurna. Ia pernah sekolah di HBS Salemba dan di sekolah dagang menengah di Batavia. Pada tahun 1920, Arnold berangkat ke Belanda untuk belajar dengan biaya dari orang tuanya. Ia sempat belajar bahasa dan sejarah sastra Belanda di Leiden, lalu belajar ilmu politik di Paris. Namun, politik kemudian membuat kuliahnya berantakan, juga masa depannya.
Arnold tergabung dalam Perhimpunan Indonesia (PI). Maka itu, pemerintah kolonial menekan orang tuanya yang amtenar agar tidak mengiriminya uang untuk hidup dan belajar di Belanda. Jika orang tuanya tetap memberinya uang, sementara Arnold tetap aktif di PI, maka ayahnya yang seorang komis di kantor Residen Manado terancam kehilangan jabatan.
Kala itu, belanja bulanan Arnold di Eropa sebesar 200 gulden perbulan. Bila ia bersikeras untuk tetap menjadi anggota PI, maka mulai bulan berikutnya tidak akan mendapat kiriman lagi dari ayahnya. Ini tentu menjadi pilihan berat baginya: uang bulanan atau PI. Namun akhirnya ia memilih berdiri tegak pada keyakinannya.
”Mononutu membalas surat ayahnya bahwa ia menjadi anggota Perhimpunan Indonesia atas keyakinannya dan ia tidak dapat lagi mengundurkan diri. Dan karena itu, ia maklum pada ayahnya apabila ia memutuskan kiriman uang untuk belanja kepadanya,” tulis Bung Hatta dalam Mohammad Hatta: Memoir (1981:86).
Sejak itu, Arnold makin jauh dari foya-foya masa muda. Ia juga mempertaruhkan masa depannya dengan terus bergerak di Belanda bersama PI. Hidupnya jadi terlunta-lunta tanpa uang kiriman dari orang tua, tapi ia terus melawan kemauan pemerintah kolonial.
Sebelum mengenal dan bergabung dengan PI, Arnold sempat merasa bangga sebagai orang Indo. Ibunya adalah Agustina van der Slot, keturunan Borgo (Indo-Eropa). Sementara ayahnya yang seorang pegawai negeri bernama Karel Charles Wilson Mononutu. Sebelum tiba di Belanda, ia lebih senang hanya memakai nama Arnold Wilson. Namun, pergaulannya dengan orang-orang PI macam Mohammad Hatta, Ahmad Subardjo, dan Nazir Pamuntjak, membuat nama Mononutu--salah satu marga di Minahasa--akhirnya ia pakai. Seingat Arnold, itu terjadi sekitar tahun 1923.
”Mononutu yang gagal studinya di Negeri Belanda menetap di Paris pada 1925 atas permintaan PI,” tulis Harry Poeze dan kawan-kawan dalam Di Negeri Penjajah: Orang-orang Indonesia di Negeri Belanda 1600-1950 (2008:187).
Ahmad Subardjo, kawannya, dalam Kesadaran Nasional (1978:149) menyebut, ”Mononutu fasih berbahasa Prancis, dan inilah alasan kenapa ia kami kirim ke Paris.”
Di Prancis, Arnold mewakili gerakan mahasiswa Indonesia dan berhubungan dengan orang-orang pergerakan nasional dari Asia dan Afrika, yang tujuannya sama: melawan kolonialisme di tanah air masing-masing.
Tahun 1927, Arnold pulang ke Indonesia. Namun, bukan untuk "bertobat" pada kemapanan kolonial. Ia mula-mula bekerja di Mitsui Busan Keisha di Jakarta dengan gaji 400 Gulden. Tak lama di sana, antara 1928 hingga 1930 ia mengajar bahasa Prancis di Perguruan Rakyat di Jakarta. Setelah itu ia sempat menjadi direktur sebuah koperasi di Minahasa. Arnold juga pernah menjadi Ketua Gerakan Rakyat Indonesia di Manado pada 1937.
Setelah Perang Dunia II selesai, Arnold masih tinggal di Sulawesi. Antara tahun 1945-1950, selama gejolak Perang Kemerdekaan, wilayah Sulawesi dan Indonesia timur lainnya dikuasai Belanda. Hal ini membuat Arnold kesulitan berhubungan dengan kawan-kawan seperjuangannya dulu di Belanda. Namun, ia tahu bahwa di Jawa, Republik Indonesia masih eksis.
Dalam keterbatasan gerak politik, Arnold menjadi anggota parlemen di Negara Indonesia Timur (NIT). Ia yakin, perjuangan tak selamanya mesti menggunakan bedil. Ia mulai menakhodai surat kabar Menara Merdeka, dan di parlemen mencoba menunjukkan diri bahwa di tubuh negara boneka itu terdapat orang-orang yang pro Republik.
Tamar Djaja dalam Kabinet Hatta (1950:14) menyebut Arnold sebagai anggota parlemen yang progresif, yang mendukung eksistensi Republik Indonesia di Sulawesi. Arnold adalah prototipe Republiken di kawasan Indonesia Timur. Ia sempat menjadi Ketua Gabungan Perjuangan Kemerdekaan Indonesia (Gapki).
”Gapki ini adalah manifestasi dari usaha Arnold Mononutu dan kawan-kawan untuk meningkatkan perjuangan pro Republik di samping perjuangan dalam Parlemen,” tulis Ruben Nalenan dalam Arnold Mononutu, Potret Seorang Patriot (1981:184).
Sebagai anggota parlemen NIT, Arnold Mononutu pernah berkunjung ke Yogyakarta yang kala itu menjadi ibu kota RI. Ia senang karena bertemu dengan kawan lamanya yang jadi pejabat RI.
Setelah Konferensi Meja Bundar (KMB) yang mengharuskan Belanda angkat kaki dari Indonesia, Republik Indonesia Serikat (RIS) kemudian didirikan. Arnold diangkat menjadi Menteri Penerangan RIS. Selain di kabinet RIS, antara 1951 hingga 1953 ia juga tergabung dalam Kabinet Sukiman dan Wilopo, yang lagi-lagi sebagai Menteri Penerangan. Setelahnya, ia dijadikan Duta Besar RI untuk Republik Rakyat Tiongkok.
Selain aktif di Gapki, Arnold juga adalah seorang kader PNI. Ahmad Syafii Maarif dalam Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan: Sebuah Refleksi Sejarah (2009) menyebut Arnold sebagai orang yang jujur dan suka berterus terang.
Di hari tuanya, Arnold tak menyesali pilihan hidupnya yang diambil pada tahun 1925. Apalagi Indonesia sudah jadi negara merdeka.
Meski masa mudanya sempat diwarnai dengan sejumlah pacar, tetapi pada akhirnya Arnold hidup sendirian tanpa pasangan di rumahnya di bilangan Tebet, Jakarta. Seperti ditulis Tempo (15/12/1979), meski membujang, Arnold yang biasa disapa Om No ini tampak bahagia ketika merayakan ulang tahunnya yang ke 83 tahun, yang jatuh pada 4 Desember 1979. Om No tutup usia pada 5 September 1983 di Jakarta.
Editor: Irfan Teguh