tirto.id - Arina Elopere, seorang perempuan yang merupakan satu dari enam tahanan politik Papua di Jakarta, hari ini bebas dari Rutan Pondok Bambu.
"Setelah tertunda karena rumitnya proses administrasi, hari ini Arina juga sudah resmi bebas," ucap Kuasa Hukum Tapol Papua Michael Himan, ketika dihubungi Tirto, Rabu (27/5/2020).
Ia berharap Ariana bisa kembali melanjutkan studi dan bergabung dengan keluarga terdekatnya.
Michael berpendapat, kebanyakan perempuan Papua lahir dari wilayah konflik, seperti Arina yang berasal dari Nduga, maka dianggap tahu dengan apa yang ingin diperbuat.
"Setiap perempuan Papua sadar betul dan tahu persoalan Papua, sehingga tidak akan pernah diam. Mereka akan tetap menyuarakan ketidakadilan walaupun mengorbankan kepentingan diri sendiri," jelas dia.
Michael menilai, perempuan Papua terlibat dalam gerakan prodemokrasi di Papua, jumlah perempuan yang berpartisipasi dalam gerakan, semakin meluas.
Dia juga meminta pemerintah untuk menghentikan segala kriminalisasi terhadap aktivis perempuan Papua yang menyuarakan ketidakadilan, serta menghentikan sikap represif dan diskriminatif rasial terhadap orang Papua.
“Pemenjaraan terhadap perempuan dalam era demokrasi (dihentikan), hendaknya diajak berdialog, pemerintah memperkuat cinta dan damai dengan pendekatan restorative justice dalam melihat Papua. Bukan represif dan penegakan hukum dengan pasal makar," kata Michael.
Selain Arina, yang mendekam di penjara karena dituduh melakukan makar yakni Paulus Suryanta Ginting, Ambrosius Mulait, Charles Kossay, Dano Anes Tabuni dan Isay Wenda. Empat lelaki pertama bebas pada 26 Mei. Sementara, nama terakhir bebas bulan lalu.
Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memvonis enam tahanan politik Papua, Jumat (24/4/2020). Sidang daring ini dipimpin oleh Hakim Ketua Purwanto serta Hakim Anggota Djunaedi dan Heru.
Mereka didakwa dengan tuduhan makar dan pemufakatan jahat, Pasal 106 KUHP juncto Pasal 55 ayat (1) KUHP atau Pasal 110 ayat (1) KUHP.
Jaksa Penuntut Umum menuntut Isay Wenda dihukum 10 bulan, yang lain 17 bulan.
Hakim memvonis mereka lebih ringan dari tuntutan jaksa. Arina, Dano Anes Tabuni, Paulus Suryanta Ginting, Ambrosius Mulait, dan Charles Kossay diputus bersalah dan divonis 9 bulan penjara, sementara Isay Wenda vonis 8 bulan penjara.
Penulis: Adi Briantika
Editor: Abdul Aziz