Menuju konten utama

Apakah Pemburu Harta Karun Benar-Benar Ada? Apa Mereka Kaya?

Beberapa mantan pencari harta karun bercerita pengalaman mereka dulu dan apa yang tersisa kini.

Apakah Pemburu Harta Karun Benar-Benar Ada? Apa Mereka Kaya?
Suharyanto berada di atas kapal. (tirto.id/Faisal irfani)

tirto.id - Muslimin sudah berkarib dengan lautan sejak usia belia. Ia lahir dan tumbuh di Makassar, Sulawesi Selatan, tempat di mana ayah dan ibunya sama-sama bekerja sebagai nelayan. Nyaris saban hari waktunya dihabiskan di laut; entah ikut ayah mencari ikan atau sekadar bermain pasir dan berenang bersama teman-teman seumuran.

Ikatan tersebut seiring waktu kian menguat, bahkan ketika Muslimin sudah beranjak dewasa dan kedua orang tuanya meninggal dunia. Ia memutuskan menjadi nelayan sebagai jalan hidup. Ia paham nelayan bukan profesi yang mentereng, namun kecintaannya telah bulat dan ia hanya ingin menjalaninya sepenuh hati.

“Saya ingat pesan ayah saat masih SD: Jadi nelayan itu bukan semata cari uang, cari ikan, tapi juga cara kita merawat kelestarian alam. Hubungan manusia dengan alam itu luas bentuknya. Dia bilang seperti itu, dan mengena sampai sekarang,” katanya saat kami berjumpa di Pelabuhan Sunda Kelapa, Jakarta Utara.

Rute Muslimin mencari ikan dimulai di perairan sekitar Balanglompo, lalu menyusuri Sapuka dan Maccini Baji. Semua ia lakukan secara mandiri, mulai dari membuat kapal sampai alat tangkap. Kerja keras itu terbayar. Tahun pertama melaut, hasil tangkapannya senantiasa memuaskan. “Bisa sampai banyak banget. Pokoknya rasanya puas saja ketika habis melaut.”

Hasil dari laut itu Muslimin pakai untuk membangun kehidupannya: dari mulai membenahi rumah, menikah, dan sisanya ditabung untuk masa depan. “Saya merasa waktu itu keputusan untuk jadi nelayan sangat tepat.”

Akan tetapi jalan hidup tak selamanya mulus. Ombak keras mulai mengusik kenyamanan yang telah dibangun: tangkapan ikan menyusut, pendapatan tak tentu, sampai akhirnya terjerat utang menumpuk. Pontang-panting Muslimin berupaya bertahan di tengah ketidakpastian, dan berkali-kali hasilnya tak jauh berbeda.

“Waktu itu yang ada di pikiran saya adalah gimana caranya keluarga bisa makan. Anak satu, masih balita, jangan sampai enggak dapat gizi yang baik,” kenangnya dengan logat Makassar yang masih kental. Muslimin berusaha percaya bahwa gelap tak selamanya menyelimuti.

Satu hari, ketika tengah melaut seperti biasa, bergumul dengan harapan hidup yang menurun drastis, ia dikagetkan oleh teriakan sesama nelayan dari jarak yang tak kelewat jauh.

“Dapat emas!” Muslimin menceritakan ulang kalimat yang ia dengar pertama kali pada waktu itu.

Teriakan tersebut membikin para nelayan bergegas mengikuti sumber suara. Antara penasaran dan kaget yang berkumpul jadi satu, perahu langsung diarahkan ke tepi dermaga. Sesampainya di sana, yang dilihat Muslimin, juga nelayan yang lain, membuat mata cukup membelalak.

“Dan beneran emas, bentuknya kepingan gitu,” terang lelaki berusia 56 tahun ini.

Peristiwa hari itu, yang terjadi menjelang dekade 1980 tutup buku, membuat keyakinan hidup Muslimin kembali membuncah dengan cara yang tak pernah dibayangkan sebelumnya.

Menjadi pemburu harta karun.

***

Siang begitu terik ketika saya menginjakkan kaki di Muara Kramat, daerah di pesisir utara Banten, yang berjarak kurang lebih 60 kilometer dari Jakarta. Rumah Taufiq, lelaki berusia 67 tahun yang oleh warga sekitar dipanggil Babeh, cukup sulit ditemukan. Saya mesti melewati beberapa hamparan sawah yang luas serta jalan tak beraspal yang berisikan bebatuan terjal. Ini belum termasuk berkali-kali tersasar karena gagal membaca arah peta dengan baik.

Taufiq tengah sibuk membikin perahu tatkala saya sampai di depan kediamannya. Tangannya masih cekatan memasang bongkah kayu dan mengecat beberapa bagian tubuh perahu dengan warna biru atau merah, kendati rambutnya sudah dipenuhi banyak uban. Membuat perahu menjadi kesibukan Taufiq setelah tak lagi melaut. Rutinitas ini ia lakukan selama sekitar enam tahun belakangan.

Pesanan perahu yang ia garap biasanya datang dari bos-bos dari luar Banten yang sedang berencana membuka bisnis pariwisata. Ada juga nelayan, namun intensitasnya tak sering.

“Kadang kangen juga melaut. Tapi, mau gimana lagi, kan, usia sudah tua,” katanya, terkekeh.

Kerinduan itu dapat dipahami lantaran bagi Taufiq melaut adalah masa-masa—sekaligus pengalaman—yang penuh petualangan. Melaut, untuknya, tak sekadar cari duit, melainkan juga belajar dan bertahan hidup. Apa yang terjadi di laut, mengutip kata-katanya, tak ubahnya “refleksi dari kehidupan kita.” “Kita [bisa] belajar kesabaran, ketekunan, dan keuletan. Tanpa itu, kita enggak bisa bertahan di laut, juga di hidup [sehari-hari],” ia memberi petuah.

Sama seperti Muslimin, Taufiq menjalin kedekatan yang intim dengan laut sejak kecil. Perairan di pesisir barat Aceh adalah sahabatnya. Kemampuan melaut diwariskan secara turun-temurun dari keluarga besarnya. Taufiq masuk generasi kelima yang mempertahankan tradisi itu.

Mulanya memang hanya mencari ikan, lalu berubah menjadi memburu benda-benda berharga di bawah laut setelah terlibat percakapan panjang-lebar dengan seorang kawan. “Kami saat itu meyakini laut [sekitar] Aceh pasti menyimpan benda-benda harta karun yang berharga. Laut Indonesia itu kaya.”

Setelah kata sepakat muncul, Taufiq memulai misinya. Bersama dua kawan, ia menyisir perairan barat Aceh. Hampir delapan bulan lamanya Taufiq berjibaku dengan misi itu di luar pekerjaan sehari-harinya sebagai nelayan. Ia nyaris menyerah lantaran yang dicari tak kunjung ditemukan.

Hingga akhirnya keberuntungan mampir.

“Pertama kali dapat itu emas, jumlahnya ada empat atau lima buah kalau tidak salah,” kenangnya dengan bangga.

Taufiq tak sepenuhnya tahu dari mana emas itu berasal. Ia kemudian berinisiatif mengirimnya ke Meulaboh, kepada salah satu kenalan kawannya yang diketahui bisa menilai barang-barang peninggalan berharga, termasuk apakah barang tersebut asli atau palsu. “Ternyata peninggalan [Kerajaan] Samudera Pasai dan Portugis.” Berkat bantuan kenalan itu juga, barang-barang yang didapatkan Taufiq mampu terjual total hampir satu juta, uang yang tergolong besar di era 1990-an.

Keberhasilan tersebut membuat Taufiq makin bersemangat. Usahanya memang tak langsung mendatangkan keuntungan. Ia setidaknya harus lebih banyak bersabar—dan menggali sedalam mungkin—agar benda-benda yang dianggap harta karun itu dapat digenggam. Seturut ingatan Taufiq, lebih dari sepuluh kali ia mampu membawa pulang ‘harta karun’, dengan nilai yang berbeda-beda.

Ia tak begitu lama menggeluti pekerjaan sampingan tersebut. Gelombang tsunami yang menyapu daratan Aceh pada 2004 mengharuskannya pindah tempat tinggal. Dari Aceh, Taufiq merantau ke Serang, sebelum akhirnya menetap di Muara Kramat. Perburuan harta karun sempat ia jalani beberapa kali, namun benar-benar berhenti pada medio 2007, bersamaan dengan usia yang menua sekaligus rasa trauma akibat tsunami yang belum sepenuhnya sembuh.

“Sejak itu merintis bikin perahu kecil-kecilan aja buat bertahan hidup.”

Kerja-kerja pemburu harta karun, terutama yang tradisional seperti Taufiq, memerlukan upaya yang ekstra serta proses tak sesederhana yang dibayangkan. Upaya ekstra bisa muncul lantaran benda-benda yang diburu berada di dasar laut. Para pemburu diharuskan menyelam dan kemudian mengangkatnya. Mereka dihadapkan pada medan yang berat. Situasinya bisa jadi lebih kompleks sebab berurusan dengan tekanan udara hingga gelombang lautan.

Pencarian harta karun dapat terjadi karena ketidaksengajaan—atau kebetulan—dalam arti benda-benda tersebut menyangkut di jaring ikan milik nelayan. Kondisi itu lantas mendorong para nelayan menyebarluaskan informasi ini sebelum akhirnya membuat mereka—beserta warga setempat—mencari lebih banyak lagi.

“Hal kayak gitu sering dialami. Enggak sengaja dapat [harta karun] di jaring ikan, lalu kabar soal itu menyebar ke masyarakat,” terang Taufiq.

Yang memang niat mencari dan memburu harta karun sejak awal bukannya tak ada. Bermodal naluri, penguasaan atas medan, serta informasi yang senantiasa direproduksi dari masa ke masa, mereka melakukan misi itu di luar pekerjaan utama sebagai nelayan. Peralatan yang dibutuhkan tak terlampau sukar didapat bagi seorang nelayan: tabung oksigen hingga lampu penerangan. “Sama yang penting: jago menyelam,” tambah Taufiq.

Laut bukan satu-satunya arena perburuan harta karun. Di darat, usaha serupa juga marak bermunculan. Santosa, misalnya, lelaki kelahiran Bengkulu 54 tahun silam menceritakan kepada saya pengalamannya mencari harta karun di Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan. Pertama kali Santosa melakukannya sekira awal 2000, dan kemudian menjadi agenda rutin yang wajib ia tuntaskan.

“Ketika dikasih tahu teman, awalnya saya enggak percaya. Tapi, setelah teman berhasil dapet itu barang, saya tertarik buat ikut,” akunya kepada saya.

Menurut Santosa, benda-benda yang terkubur dalam tanah di kawasan Musi Banyuasin kebanyakan peninggalan Kerajaan Sriwijaya. Bentuknya, ia menjelaskan, beraneka rupa: dari koin emas, keramik, bahkan sampai perkakas dapur.

Penggalian harta karun tersebut bermodal informasi yang Santosa peroleh dari warga setempat, alih-alih manuskrip sejarah atau hasil penelitian arkeolog. Omongan warga, Santosa bilang, tak jarang lebih akurat karena mereka sudah hidup di sana dalam waktu yang lama.

Proses pencarian biasanya memakan waktu kurang lebih seminggu, tergantung tingkat kesulitan medan. “Tambah lama karena alatnya masih sederhana. Tapi makin ke sini bisa terbantu dengan keberadaan alat pendeteksi (metal detector). Jadi, bisa terlacak dan sedikit mudah diketahui di mana letaknya.”

Tidak ada perbedaan yang signifikan antara ‘harta karun’ yang terletak di darat dan laut, demikian terang Budi Wiyarna, Kepala Balai Arkeologi Sumatera Selatan. Menurutnya, benda-benda peninggalan itu sama-sama punya nilai yang berharga.

“Yang membedakan adalah ketika kita sudah bicara soal benda-benda itu secara terpisah. Yang paling laku dan banyak diburu itu biasanya emas, keramik, hingga peralatan dapur. Emas yang paling tinggi nilainya,” tuturnya saat saya hubungi.

Argumen Budi dibenarkan Rahmat, nelayan sekaligus pemburu dari Tanjung Kait, Banten. Satu gram emas harta karun, seturut pengalamannya, dapat dihargai sekira 300 sampai 500 ribu. Angka itu tak berubah banyak selama lima hingga enam tahun terakhir. Selama barangnya asli, nilai yang menyertai otomatis bisa tinggi.

Apa yang terlihat di permukaan sekilas tampak menggiurkan. Walaupun begitu, kerja-kerja memburu ‘harta karun’ adalah kerja penuh risiko. Seorang teman Taufiq pernah mengalami luka cukup parah di bagian kaki saat menyelam di pesisir Tapaktuan, Aceh. Sementara tangan Santosa sempat terkilir hebat setelah terjatuh ketika tengah menggali tanah yang diyakini menyimpan harta karun di wilayah dekat Taman Nasional Sembilang.

Keselamatan kerja, tak bisa dimungkiri, menjadi hal serius tatkala membicarakan kerja-kerja pencarian harta karun. Sebab (masih) dilakukan dengan metode dan pendekatan yang begitu sederhana, perhatian akan faktor tersebut nyaris dipinggirkan, berganti dengan ambisi besar untuk menemukan benda-benda yang dipercayai mampu mengangkat derajat hidup ke tingkat yang lebih layak.

“Namanya juga kerja begitu, ya. Kemungkinan terluka pasti ada,” jawab Santosa. “Yang penting harus waspada, dan kalau sudah terkilir nanti tinggal dipijit saja sama dukun setempat,” imbuhnya, tertawa.

***

Memperoleh hidup yang lebih baik menjadi salah satu tujuan para pemburu. Keinginan lepas dari jerat kemiskinan merupakan hal pertama yang terlintas manakala mereka memutuskan untuk mencari benda-benda berharga yang tersimpan jauh di bawah tanah dan lautan.

Tujuan itu setidaknya berhasil bila melihat apa yang dialami Muslimin. Hasil perburuannya membikin kesejahteraan keluarga meningkat cukup drastis. Itu juga membikin posisinya di masyarakat jadi lebih terpandang.

Nasib serupa dialami Suharyanto, lelaki 60 tahun asal Purwokerto, yang sekarang bekerja sebagai buruh kapal di Sunda Kelapa. Kehidupannya berubah tak lama usai ia memilih untuk aktif berburu. Ia dan keluarganya tak lagi kesusahan, sementara status sosialnya naik dari yang semula di level 'kere' menjadi 'golongan berpunya'.

Masalahnya, kondisi itu tak dibarengi dengan literasi dan pengelolaan yang baik. Mayoritas narasumber yang saya ajak berbincang punya kesamaan: sama-sama hidup susah tatkala tak lagi jadi pemburu.

Banyak dari mereka yang menghabiskan pendapatan dari berburu untuk hal-hal yang sifatnya konsumtif ketimbang investasi. Beberapa mengangkut sepeda motor, dan yang lain memakainya sebagai modal berjudi.

Perilaku semacam itu juga didasari anggapan bahwa pencarian harta karun sudah pasti menjanjikan, padahal realita ternyata berkata sebaliknya, dan sebetulnya disadari betul oleh para pemburu. Mendapatkan harta karun tidak sama dengan memperoleh ikan, yang dari ke hari keberadaannya masih bisa dijangkau—kecuali untuk kondisi-kondisi tertentu. Dalam konteks harta karun, boleh jadi hari ini berhasil, tapi tidak dengan hari-hari—bahkan sampai hitungan bulan—berikutnya.

“Karena pada waktu itu pikirannya punya duit, jadi bisa apa aja,” terang Suharyanto. “Kalau dipikir-pikir sekarang, harusnya dulu bisa lebih hati-hati lagi [soal duit].”

Infografik Harta Karun di Indonesia

Infografik Harta Karun di Indonesia. tirto.id/Quita

Walhasil, kemiskinan kembali menyapa mereka. Ini belum termasuk jerat utang dari rentenir dan hilangnya aset—dijual untuk menutup lubang utang lainnya—yang juga mesti mereka tanggung. Agar terus bertahan hidup, mereka terpaksa kerja serabutan dengan penghasilan tak seberapa.

“Saya bahkan sampai hidup berjauhan dengan keluarga karena kalau semua dibawa ke sini [Jakarta], enggak ada uangnya,” ucap Muslimin, yang sehari-hari tinggal di Penjaringan, Jakarta Utara.

Tak semua pemburu bernasib nelangsa. Taufiq, misalnya, memberi contoh banyak dari teman-temannya yang sampai detik ini hidup sejahtera, entah tetap berburu harta karun atau justru banting setir dengan berdagang dan kemudian jadi saudagar.

“Tergantung orangnya, ya, saya pikir. Kalau bisa lebih cermat, kayaknya hidupnya bakal baik-baik aja,” ungkapnya, tersenyum.

Dari kasus mereka yang jatuh usai harta karun, rasanya kalimat Suharyanto ini bisa menyimpulkan sekaligus memberi pengingat betapa hidup dengan memburu adalah tapak kaki yang berat.

“Namanya harta itu sementara, sama dengan harta karun.”

Baca juga artikel terkait PEMBURU HARTA KARUN atau tulisan lainnya dari Faisal Irfani

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Faisal Irfani
Editor: Rio Apinino