tirto.id - Mudik merupakan aktivitas melakukan perjalanan pulang ke tempat asal, seperti kampung dan desa. Di Indonesia, mudik telah menjadi tradisi masyarakat saat bertepatan dengan momen hari besar keagamaan, seperti Idul Fitri.
Meski tak ubahnya perjalanan biasa ke kampung halaman, aktivitas mudik menjadi istimewa karena bebarengan dengan momen lebaran. Kegiatan yang berlangsung secara bersamaan ini dapat menguatkan dan memberi makna satu sama lain.
Dalam kolomnya di laman Kementrian Agama RI, M. Ishom el-Saha mengilustrasikan mudik sebagai bentuk kembalinya manusia kepada Tuhan. Pemaknaan ini bertujuan agar para pemudik bisa mengambil hikmah atas setiap peristiwa selama melakukan perjalanan dari tempat rantau ke tempat asal.
Mudik Lebaran 2024 dan Prediksi Puncak
Pada mudik lebaran 2024, Kementerian Perhubungan (Kemenhub) memperkirakan bahwa jumlah pemudik tahun ini akan mencapai 193,6 juta orang. Angka ini meningkat 50% dibanding jumlah pemudik lebaran 2023 yang berjumlah 123,8 juta orang.
Sementara itu, puncak arus mudik lebaran 2024 diprediksi akan jatuh pada tanggal 5-8 April 2024. Momen ini hanya berjarak kurang dari seminggu dengan perayaan Idul Fitri 1445 H yang diprediksi terjadi pada 10 April 2024.
Untuk menghadapi arus mudik lebaran 2024, PT Jasa Marga telah menyiapkan infrastruktur jalan tol. Hal ini disampaikan oleh Corporate Communication & Community Development Group Head Jasa Marga, Lisye Octaviana.
“Kami sudah siap siaga, kebetulan kami sudah memulai kick off untuk mempersiapkan semua petugas dilapangan di semua ruas jalan tol Jasa Marga,” ucap Lisye, dikutip dari RRI.
Harapan mengenai peningkatan pelayanan jalan tol juga datang dari Kementerian PUPR. Panca Dharma Oetojo, Kabirkom Kementerian PUPR, menyatakan jika pelayanan mudik lebaran tahun telah memperoleh respon positif. Hal itu diharapkan bisa terjaga pada mudik lebaran tahun ini.
“Tingkat pelayanan mudik lebaran telah mendapat respon masyarakat sangat baik pada tahun lalu, dengan nilai diatas 85 persen sesuai yang diuraikan Kakaorlantas Polri. Respon ini setidaknya diharapkan dapat dipertahankan dan ditingkatkan, khususnya bagi pelayanan jalan tol,” ujar Panca, dilansir dari laman RRI.
Apakah Boleh Tidak Puasa Saat Mudik?
Momen mudik lebaran terkadang memunculkan persoalan tersendiri untuk kaum muslim yang sedang menjalankannya. Persoalan ini terkait dengan hukum menjalankan puasa di tengah perjalanan mudik.
Tak bisa dimungkiri, mudik lebaran biasanya sudah dilakukan oleh muslim di Indonesia beberapa hari sebelum Hari Raya Idul Fitri. Artinya, hal itu masih bertepatan dengan bulan Ramadhan, bulan yang mewajibkan setiap muslim untuk menjalankan ibadah puasa.
Jika demikian, apakah boleh tidak puasa saat sedang mudik? Bagaimana jika seorang muslim membatalkan puasanya di tengah perjalanan mudik?
Selama bulan Ramadhan, seorang muslim memang sepatutnya menjalankan perintah-perintah Allah Swt., salah satunya berpuasa. Sebab, puasa wajib memiliki tempat penting untuk umat Islam.
Meski begitu, ajaran Islam juga menyoroti beberapa kondisi yang memungkinkan muslim mendapat keringanan dalam beribadah puasa. Dari buku Tuntunan Ibadah Pada Bulan Ramadhan yang disusun oleh Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah (2019:14), setidaknya ada dua jenis golongan yang mendapat keringanan.
Pertama, golongan yang diizinkan meninggalkan puasa dan menggantinya dengan fidyah. Golongan ini mencakup orang yang tak lagi sanggup berpuasa karena usia tua, orang sakit menahun, hingga perempuan menyusui.
Sementara itu, golongan kedua adalah orang-orang yang berhalangan untuk puasa wajib karena kebetulan sedang sakit saat bulan Ramadhan. Selain itu, golongan itu juga mencakup orang-orang yang sedang dalam perjalanan jauh dan melelahkan, seperti pemudik.
Dilansir dari laman Universitas Muhammadiyah Jakarta, dalil mengenai keringanan untuk tidak berpuasa bagi golongan kedua bisa dilihat dalam Al Quran surah Al-Baqarah ayat 184 berikut ini:
فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَّرِيْضًا اَوْ عَلٰى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ اَيَّامٍ اُخَرَ
Artinya: “Maka barang siapa di antara kamu yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.”
Selain memuat keringanan untuk tidak berpuasa bagi muslim dengan kondisi tertentu, dalil di atas juga menyertakan perintah agar mengganti puasa wajib begitu Ramadhan sudah usai.
Dengan kata lain, puasa tetap menjadi hal utama yang mesti dilakukan, meski sedang melakukan perjalanan jauh. Ini dengan catatan bahwa ibadah puasa itu tidak memberatkan atau membahayakan orang yang menjalankannya.
Akan tetapi, jika seorang muslim yang tengah mudik memilih untuk tidak berpuasa Ramadhan karena mengalami perjalanan berat dan melelahkan, hal ini sah-sah saja. Namun, dia harus mengganti puasa wajib itu di bulan lain.
Penulis: Ahmad Yasin
Editor: Fitra Firdaus