tirto.id - Pada bulan suci Ramadan, umat Islam diwajibkan menjalankan ibadah puasa. Namun, terdapat beberapa golongan yang mendapatkan keringanan untuk tidak berpuasa, salah satunya adalah musafir, atau orang yang sedang dalam perjalanan jauh.
Dikutip dari buku Tuntunan Ibadah Pada Bulan Ramadhan yang disusun oleh Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah (2019:14), terdapat dua jenis golongan yang diberi keringanan untuk tidak berpuasa. Yang pertama, adalah orang-orang yang wajib mengganti puasa di bulan Ramadan, yang mencakup orang yang sakit saat bulan Ramadan, dan orang yang sedang bepergian.
Hal ini didasarkan pada Surah al-Baqarah:184, " ... Barangsiapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain ....”.
Golongan kedua yang diberi keringanan untuk tidak berpuasa Ramadan adalah, mereka yang diizinkan meninggalkan puasa dan menggantinya dengan fidyah. Yang masuk golongan ini adalah orang yang tidak mampu lagi berpuasa karena usia tua, orang yang sakit menahun, perempuan hamil, dan perempuan menyusui.
Dasarnya adalah sabda Nabi Muhammad, "Sungguh Allah Yang Maha Perkasa dan Maha Mulia telah membebaskan puasa dan separuh salat bagi orang yang bepergian, dan membebaskan pula dari puasa orang hamil dan orang yang menyusui." (H.R. al-Khamsah).
Dalam Buku Saku Sukses Ibadah Ramadhan yang diterbitkan oleh LTN PBNU (2017:23), yang dikategorikan dalam musafir adalah orang yang bepergian jauh melebihi batas qashar salat yaitu sekitar 81 hingga 90 kilometer. Dalam hal ini, mereka boleh tetap berpuasa, tetapi juga tidak berpuasa. Jika ia memilih tidak berpuasa, maka ia wajib mengganti puasa tersebut di luar bulan Ramadan.
Dalam "Aturan Fiqih Tidak Berpuasa bagi Musafir" oleh Yazid Muttaqin, dikutip pendapat Jalaludin Al-Mahalli dalam Kanzur Raghibin Syarh Minhajut Thalibin. Ketentuan boleh tidaknya seseorang membatalkan atau tidak berpuasa ketika bepergian, bisa dilihat dari manfaat dan mudarat puasa tersebut.
"Dan dibolehkan meninggalkan berpuasa bagi seorang musafir dengan perjalan yang jauh dan diperbolehkan (mubah). Bila dengan berpuasa seorang musafir mengalami mudarat maka berbuka lebih utama, bila tidak maka berpuasa lebih utama."
Dengan demikian, seorang musafir diperbolehkan tidak berpuasa jika memenuhi syarat berupa perjalanannya mencapai jarak yang membuat ia diperbolehkan mengqashar salat, dan perjalanannya adalah perjalanan mubah, bukan untuk maksiat.
Dalam "Pergi Jauh Setelah Subuh, Bolehkah Tak Berpuasa Ramadhan?" oleh Ahmad Mundzir, terdapat keterangan tambahan, bahwa orang yang bepergian setelah subuh, tidak dapat membatalkan puasanya pada hari tersebut.
Hal ini tercantum dalam Al-Majmu' Syarah al-Muhadzab oleh Imam Nawawi, "Barangsiapa yang memasuki waktu subuh masih di rumah dalam keadaan berpuasa, baru kemudian pergi, maka ia tidak boleh membatalkan puasanya pada hari itu."
Alasannya adalah, status orang tersebut sebagai musafir tidak penuh, karena posisinya sebagai orang mukim dan musafir bercampur.
Editor: Fitra Firdaus