tirto.id - Seorang bintang perempuan mengeluarkan botol putih kecil berukuran 30 ml dari tasnya. Ia lalu meneteskan cairan dalam botol ke bibirnya yang lagi terkena sariawan. Katanya, obat dalam botol kecil itu multiguna, selain bisa menyebuhkan sariawan, ia juga bisa jadi obat kumur dan juga pembersih genital. Benarkah demikian?
Sebuah surat dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) tertanggal 3 Januari 2018 beredar. Isinya ditujukan pada PT Pharos Indonesia perihal peredaran policresulen dalam bentuk sediaan cairan obat luar konsentrat 36 persen. BPOM menyatakan tidak menemukan bukti ilmiah yang mendukung indikasi policresulen cairan obat luar konsentrat 36 persen disetujui. Salah satunya penggunaan obat tersebut tanpa diencerkan, seperti yang diperagakan sang bintang tadi.
Poin selanjutnya dinyatakan bahwa cairan obat tersebut tidak lagi direkomendasikan penggunaannya untuk indikasi pada bedah, dermatologi, otolaringologi (cabang ilmu kedokteran terkait pengobatan penyakit telinga, hidung, tenggorok serta kepala dan leher), stomatologi (yang berhubungan dengan mulut dan penyakit-penyakitnya), dan odontologi.
Policresulen cairan obat luar konsentrat 36 persen merupakan obat yang dapat dibeli tanpa resep dokter. Penggunaannya sangat berbahaya apabila tidak diencerkan terlebih dulu. Lalu, poin terakhir menyebut BPOM menemukan laporan chemical burn pada mukosa oral terkait pemakaian obat tersebut oleh konsumen.
Karena risiko policresulen dalam bentuk sediaan cair dinilai lebih besar ketimbang manfaatnya, maka obat ini tak lagi boleh beredar untuk indikasi tindakan di atas. Lantaran policresulen beredar dalam tiga bentuk: cair, ovula, dan gel. Maka akan dilakukan evaluasi terhadap policresulen dalam bentuk sediaan ovula dan gel. Karena indikasi yang tercantum pada dua jenis ini serupa dengan policresulen cair.
Policresulen adalah obat hemostatik topikal dan antiseptik. Obat ini di beberapa negara dipasarkan dengan nama dagang Albothyl, Polilen, atau Faktu. Penggunaannya ditunjukkan untuk gangguan anal umum, seperti wasir, dan infeksi ginekologi.
Karena bersifat antiseptik, policresulen juga diaplikasikan untuk pengobatan dermatologis, misalnya griseofulvin (antimikotik), retinoid (pengobatan jerawat), psoralens, dan retinoid (pengobatan psoriasis). Jika dilihat dari rantai molekul pembuatnya, policresulen memiliki molekul negatif. Artinya, obat ini bersifat asam sehingga mekanisme pemakaiannya dapat menimbulkan sedikit luka bakar kimiawi di daerah luka. Mekanisme tersebut yang membuatnya mampu membunuh bakteri.
Jangan Sembarang Pakai Obat Mulut
Apakah surat larangan BPOM membuat policresulen jadi “haram” digunakan?
Menurut Aluwi Nirwanasani Sani, Wakil Sekjen Ikatan Apoteker Indonesia (IAI), obat ini tetap aman digunakan. Sebab, ia merupakan salah satu antiseptik yang berguna sebagai penghambat pertumbuhan mikroorganisme untuk pemakaian luar. Asal digunakan secara tepat dan tidak berlebihan pada indikasi bedah, dermatologi, otolaringologi, stomatologi, dan odontologi.
“Bahkan sabun pun antiseptik, meski rendah konsentrasinya,” katanya kepada Tirto.
Namun, sifat antiseptik dan haemostatik pada policresulen (menghentikan pendarahan) hanya untuk kasus kecil saja, misalnya pendarahan kecil dari luka di luar tubuh. Sehingga klaim haemostatik untuk indikasi bedah diduga hanya merupakan trik pemasaran hiperbolis.
“Obat ini aman digunakan bila diencerkan sesuai petunjuk 10 tetes dengan 1 gelas air, sebagai antiseptik membunuh kuman pemakaian luar,” imbuh Aluwi.
Efek samping berupa luka bakar seperti yang ditemukan BPOM dapat terjadi apabila ia dipakai tanpa diencerkan terlebih dahulu. Policresulen 36 persen memiliki sifat asam dengan pH 0,6. Artinya, obat ini lebih asam dibanding asam lambung, dan bersifat korosif kuat.
Akibatnya, jika tidak diencerkan, ia bisa membikin pendarahan, rasa pedih akibat sel menggumpal, dan nekrosis (sel mati). Cara kerja policresulen yang bersifat asam membakar dan membunuh bakteri di daerah luka. Pendarahan berhenti karena sel-sel sekitar menggumpal.
Penggunaan antiseptik sebagai obat mulut termasuk kumur pun tidak bermasalah selagi tepat dosis dan intesitasnya. Dokter gigi Mantili Tasrif mengatakan, obat kumur hanya dapat digunakan pada saat-saat tertentu. Misalnya setelah tindakan pencabutan gigi, untuk meredakan rasa nyeri. Namun, ia tidak disarankan untuk penggunaan secara intensif.
"Untuk kasus tertentu saja, 2 kali setiap hari sampai masalah atau sakitnya tuntas," kata Mantili.
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Maulida Sri Handayani