tirto.id - Israel-Hamas rencananya akan melakukan gencatan senjata fase awal selama enam pekan yang akan berlaku mulai Minggu, 19 Januari 2025. Lalu, apakah aksi boikot tetap lanjut jika ada gencatan senjata di Gaza?
Melihat kondisi yang terjadi di Palestina selama ini, berbagai dukungan terus mengalir deras tanpa henti dari berbagai penjuru dunia. Kampanye global terus diserukan untuk menekan Israel agar bisa mengembalikan hak-hak kemanusiaan rakyat Palestina.
Gerakan Boikot, Divestasi, dan Sanksi (BDS) menjadi salah satu gerakan global yang dilakukan oleh masyarakat dunia untuk mencapai perdamaian di Palestina. Gerakan ini telah berhasil mendorong aksi sosial melalui pemboikotan yang dilakukan terhadap berbagai produk yang dianggap berafiliasi dengan Israel.
Sebelumnya, konflik Israel dan Hamas yang sudah berlangsung selama 15 bulan sejak Oktober 2023 telah menandai ekskalasi militer di Jalur Gaza. Pihak mediator telah menyampaikan rencana gencatan senjata antara Israel dan Hamas pada Rabu, 15 Januari 2025.
Perdana Menteri Qatar, Sheikh Mohammed bin Abdulrahman Al Thani selaku mediator menyebut bahwa kesepakatan ini diharapkan mampu membawa kemungkinan berakhirnya perang secara permanen.
AlJazeera melaporkan, pemerintah Israel meratifikasi kesepakatan gencatan senjata pada hari ini, Sabtu (18/1/2025) pagi, setelah melakukan pertemuan selama lebih dari enam jam, kata kantor Netanyahu dalam sebuah pernyataan singkat.
“Pemerintah telah menyetujui kerangka kerja untuk pemulangan para sandera. Kerangka kerja untuk pembebasan para sandera akan mulai berlaku pada hari Minggu (19/1/2025),” kata pernyataan itu.
Dengan kesepakatan yang ditentang keras oleh beberapa anggota kabinet garis keras Israel, laporan-laporan media mengatakan bahwa 24 menteri dalam pemerintahan koalisi Netanyahu memberikan suara mendukung kesepakatan tersebut, sementara delapan lainnya menentangnya. Kabinet keamanan Israel telah memberikan suara mendukung kesepakatan gencatan senjata pada hari Jumat (17/1/2025).
Berdasarkan kesepakatan tersebut, gencatan senjata dimulai dengan fase awal enam minggu di mana para tawanan di Gaza dibebaskan untuk ditukar dengan warga Palestina yang ditahan di penjara-penjara Israel.
Negosiator utama AS dalam perundingan gencatan senjata, Brett McGurk, mengatakan bahwa Gedung Putih berharap gencatan senjata akan dimulai pada hari Minggu pagi, dengan tiga tawanan wanita akan dibebaskan ke Israel pada hari Minggu sore melalui Palang Merah.
Apa Tujuan dari Gencatan Senjata?
Gencatan senjata dapat diartikan sebagai penghentian sementara tindak kekerasan terkait perang antara pihak yang terlibat konflik. Singkatnya, penundaan operasi militer dalam jangka waktu tertentu yang disetujui oleh kedua belah pihak.
Gencatan senjata dilakukan atas dasar kemanusiaan bukan hanya atas kepentingan salah satu pihak. Sebab setiap terjadi konflik bersenjata warga sipil sangat rentan menjadi korban, terutama anak-anak dan perempuan.
Secara konsep gencatan senjata belum tentu bisa disebut sebagai kesepakatan damai, meskipun memiliki tujuan untuk memberhentikan konflik dan kekerasan bersenjata. Mengingat perjanjian gencatan senjata belum pasti berakhir pada keputusan mengakhiri perang antar pihak yang bertikai.
Rencana kesepakatan gencatan senjata antara Hamas dan Israel akan dilakukan dalam tiga tahap mulai hari Minggu mendatang. Jika hal tersebut terjadi maka akan terjadi lonjakan bantuan kemanusiaan, penarikan pasukan Israel hingga pembebasan tahanan Palestina.
Apakah Aksi Boikot Tetap Lanjut Jika Ada Gencatan Senjata di Gaza?
Menurut UNRWA, sebanyak 90% penduduk Palestina di Gaza mengungsi di negeri mereka sendiri. Lebih dari dua pertiga penduduk Palestina di Gaza adalah pengungsi. Mereka banyak kehilangan hak-haknya akibat genosida.
Terkait kondisi yang dihadapi masyarakat Palestina tersebut, laman resmi BDS Malaysia, mengajak seluruh masyarakat internasional untuk melanjutkan aksi boikot terhadap Israel. Pihaknya juga berharap masyarakat terus berpartisipasi dan mendukung semua kampanye BDS.
“kami menyerukan kepada masyarakat internasional untuk terus memboikot Israel dan semua pihak yang terlibat dengannya” tulis BDS Malaysia melalui pernyataan resmi yang diunggah di akun Instagram @bds_malaysia, Kamis (16/1/2025).
Laman gerakan boikot, divestasi, dan sanksi tersebut mengingatkan kembali bahwa ada tiga tuntutan gerakan BDS yang belum terpenuhi, yaitu:
1. Akhiri pendudukan tanah Palestina, akhiri blokade Gaza dan bongkar tembok apartheid;
2. Mengakui dan mendukung hak semua pengungsi Palestina untuk kembali ke rumah mereka (ini adalah hak mereka di bawah resolusi 194 yang disahkan oleh PBB pada tahun 1948);
3. Memberikan hak yang sama kepada semua orang Palestina di wilayah Palestina yang bersejarah (sekarang disebut Israel).
Seruan untuk melanjutkan aksi boikot juga dilakukan oleh laman resmi BDS Movement. Gencatan senjata dinilai hanyalah langkah pertama yang paling penting untuk mengakhiri genosida terhadap 2,3 juta orang Palestina di Jalur Gaza yang diduduki dan dikepung secara ilegal.
Dampak Dari Boikot Produk Israel
Masyarakat dunia telah memperotes tindakan pemerintah Israel dengan melakukan boikot terhadap produk yang memiliki hubungan atau investasi dengan Israel. Seruan tersebut dipelopori oleh gerakan Boikot, Divestasi, dan Sanksi (BDS).
Dilansir dari situs Orfonline, gerakan BDS telah menghasilkan beberapa kerugian yang signifikan terhadap perusahaan yang terafiliasi dengan Israel. Dapat disimpulkan bahwa gerakan ini telah memobilisasi opini publik melalui aksi sosial nyata.
Pendiri Starbucks, Howard Shultz, melaporkan laporan pembukuan kerugian akibat penurunan penjualan produk mereka. Situasi yang tidak jauh berbeda terjadi di Malaysia, resto cepat saji KFC telah menutup 100 gerai mereka.
Demikian pula, McDonald’s yang secara terang-terangan memberi makanan gratis kepada militer Israel. Menyebabkan seluruh konsumennya di Timur Tengah memboikot perusahaan tersebut.
Aksi boikot juga turut berdampak terhadap kelangsungan perusahaan terafiliasi Israel di Indonesia. Terutama pada unit bisnis dan usaha yang mempekerjakan tenaga kerja dan menggunakan bahan baku dalam negeri. Lebih luas lagi, aksi boikot juga berdampak terhadap stabilitas lapangan pekerjaan dan pertumbuhan industri.
“Boikot dapat merugikan perusahaan-perusahaan yang secara langsung terlibat dalam produksi dan distribusi produk pro-Israel, mengancam lapangan pekerjaan yang terkait dengan kegiatan ini. Selain itu, dampaknya bisa meluas ke sektor-sektor terkait, termasuk pemasok bahan baku lokal dan jaringan distribusi,” kata Guru Besar Ekonomi Universitas Airlangga (UNAIR), Tika Widiastuti, (19/12/2025) dikutip laman resmi UNAIR.
Penulis: Indyra Yasmin
Editor: Balqis Fallahnda & Yantina Debora