Menuju konten utama

Apa yang Bisa Diperoleh Mahasiswa Saat KKN Online? Tidak Ada.

Mahasiswa yang mengikuti KKN daring tak bakal dapat apa-apa dari sana, apalagi sampai mampu memahami desa.

Apa yang Bisa Diperoleh Mahasiswa Saat KKN Online? Tidak Ada.
Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. tirto.id/Erman Agung

tirto.id - Kuliah Kerja Nyata (KKN) adalah kegiatan yang wajib diikuti mahasiswa di sejumlah universitas. Gagasannya, para pelajar terjun ke masyarakat, hidup bersama mereka untuk sekian lama, mengerti persoalan yang dihadapi, dan mengabdi dengan ilmu yang didapat di bangku kuliah. Pada tahun 1950-1960an, ini biasa disebut gerakan turun ke bawah alias turba.

Namun, pandemi COVID-19 membuat turba tak mungkin dilakukan.

Di Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, pihak rektorat bersiasat dengan tetap menggelar KKN jarak jauh. Para mahasiswa tak bertemu langsung apalagi tinggal dengan masyarakat, melainkan hanya mengandalkan komunikasi daring. Senin (29/6/2020) kemarin ada 4.504 mahasiswa dilepas untuk mengikuti program ini. Mereka diharuskan membuat program kerja di 263 desa di 27 provinsi.

Pratiwi Nur Handayani dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis salah satunya. Ia ditempatkan di satu desa di Kabupaten Bantul, Yogyakarta.

Tiwi, begitu ia disapa, telah merancang sejumlah program yang akan dikerjakan hingga 18 Agustus mendatang. Di antaranya sosialisasi dan edukasi tempat wisata, sosialisasi tentang pengetahuan investasi reksa dana, kemudian sosialisasi asuransi dan pentingnya dana darurat. Ia juga berencana sosialisasi pembagian tugas suami-istri di masa pandemi, dan yang terakhir kampanye gemar memasak.

“Kami mengerjakan program kerja untuk desanya itu dari kos. Semuanya mulai dari menyiapkan materi, terus untuk mengetahui potensi desanya pun kami jalin komunikasi sama kepala desa atau kepala dukuh di sana. Komunikasi lewat Webex (platfrom pertemuan daring),” kata Tiwi kepda reporter Tirto, Selasa (30/6/2020).

Ia mencontohkan, pelaksanaan program sosialisasi dan edukasi tempat wisata dan kesenian akan dilakukan dengan menggunakan pamflet, poster, dan video. Sementara program kampanye gemar memasak dilaksanakan dengan mengadakan lomba. Warga akan diminta memasak di rumah masing-masing, kemudian penilaian lomba berdasarkan foto hasil masakan yang dikirimkan masing-masing peserta.

Direktur Direktorat Pengabdian Kepada Masyarakat UGM Irfan Dwidya Prijambada mengatakan KKN harus tetap diselenggarakan meski dalam masa pandemi sebab itu adalah salah satu syarat kelulusan mahasiswa. KKN yang dibatalkan, sama saja menunda kelulusan mahasiswa.

Irfan mengatakan KKN daring tidak menghilangkan visi utama kegiatan itu sendiri. Meski komunikasi dilakukan secara daring, akan tetapi menurutnya hal itu tak serta merta membuat mahasiswa dan masyarakat menjadi berjarak. Kuncinya adalah para mahasiswa membangun komunikasi yang baik dengan masyarakat.

“Jarak itu bukan lagi masalah. Sekarang ada ponsel, bisa interaksi langsung pakai video call,” kata Irfan, yang juga merupakan guru besar Fakultas Pertanian UGM kepada reporter Tirto. “Memang coba-coba, tapi ini sudah dilakukan di periode sebelumnya,” tambahnya.

Irfan mengatakan UGM telah memetakan lokasi mana saja yang bersedia dan memungkinkan jadi lokasi KKN daring, terutama dari sisi kesediaan internet. Sebagian besar tempat KKN tahun ini pernah dipakai mahasiswa tahun lalu, katanya.

Data-data tentang desa penempatan sebagian besar juga telah tersedia. Sehingga mahasiswa dapat mengolahnya untuk misalnya dijadikan master plan, kata Irfan. “Master plan intinya partisipasi masyarakat. Masyarakat diminta membuat bayangan 15 tahun yang akan datang itu desanya akan seperti apa. Jangan sampai master plan hanya dibuat oleh kepala desa,” ujarnya.

Tak Akan Dapat Apa pun

Pendiri sekaligus peneliti utama di Sekolah Ekonomika Demokratik Hendro Sangkoyo mengatakan ada beda yang jelas antara interaksi langsung dan tidak langsung. Interaksi tidak langsung, menurutnya, tidak bakal menggantikan interaksi langsung. “Lebih parah lagi kalau tidak ada percakapan, digantikan sebuah komunikasi tertulis seperti chatting,” kata Hendro kepada reporter Tirto.

Hendro Sangkoyo dikenal sebagai aktivis lingkungan, lulusan arsitektur ITB dan Planning Theory and Comparative Politics di Universitas Cornell, Amerika Serikat. SED yang dia bentuk dimaksudkan sebagai kelompok belajar bersama untuk melawan kerusakan sosial-ekologis akibat pencaplokan ruang-ruang hidup oleh korporasi. Lewat SDE dia menekankan "model belajar yang non-hierarkis," atau dengan kata lain alih-alih mengajarkan masyarakat, justru belajar dari mereka.

Interaksi dan berbaur dengan masyarakat menurutnya adalah kunci seorang mahasiswa untuk dapat memahami persoalan di sebuah desa. Ia menyebut itu sebagai “pengetahuan yang menginjak tanah atau pengetahuan yang membumi.” Oleh karenanya semakin tak masuk akal jika kemudian selain diminta berinteraksi, mahasiswa juga dipaksakan membuat semacam peta persoalan hingga solusi bagi masyarakat.

Oleh karena itu ia menilai apa yang ditawarkan mahasiswa dalam program ini tak bakal lebih dari sebatas “fiksi”.

Pun, hampir tidak mungkin warga dapat menyetujui peta permasalahan bahkan rancangan perencanaan desa tanpa pernah melihat atau berinteraksi langsung si pembuatnya. Kalaupun diikuti, itu hanya akan jadi formalitas belaka.

Pada akhirnya ia menilai, “kalau saya mahasiswa yang mengambil KKN daring di periode ini, maka saya tidak akan mendapatkan apa-apa untuk mengerti desa.”

Baca juga artikel terkait KULIAH KERJA NYATA atau tulisan lainnya dari Irwan Syambudi

tirto.id - Pendidikan
Reporter: Irwan Syambudi
Penulis: Irwan Syambudi
Editor: Abdul Aziz