tirto.id - Kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) di Yogyakarta meningkat saat pandemi COVID-19. KDRT dapat meningkat karena pandemi membuat orang-orang harus tinggal di rumah. Entah karena alasan kesehatan seperti karantina mandiri atau enggan mempertaruhkan diri terkena virus jika ke luar rumah, mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK), atau dirumahkan oleh perusahaan.
Rifka Annisa, organisasi non pemerintah berbasis di Yogyakarta yang mengadvokasi isu kekerasan terhadap perempuan dan anak, menceritakan kepada reporter Tirto salah satu kasus yang mereka tangani. Kasus ini menimpa ibu dan dua anak, pelakunya adalah bapak/suami yang baru saja di-PHK.
Manajer Divisi Pendampingan Rifka Annisa Indiah Wahyu Andari mengatakan awalnya seorang ibu rumah tangga menelepon pada Mei lalu. Ia bercerita tentang suami yang akhir-akhir ini makin sering melakukan kekerasan terhadapnya dan anak-anak. Anak pertama mereka laki-laki, sudah duduk di bangku kuliah; anak kedua perempuan, masih bersekolah di tingkat SMA.
Kini istri mendapatkan pendampingan dan konseling oleh Rifka Annisa.
Sang ibu bilang bahwa sebetulnya si suami sudah kerap bertindak kasar sejak sebelum pandemi. Namun, sang ibu masih bisa menahan diri lantaran suami dan ia juga bekerja. Intensitas bertemu di rumah relatif sedikit.
“Ketika pandemi sang suami kehilangan pekerjaan dan tinggal di rumah terus, anaknya juga belajar di rumah. Jadi intensitas kekerasannya meningkat,” kata Indiah kepada reporter Tirto, Minggu (28/6/2020).
Si putra sulung semakin berani melawan sang bapak. Akibatnya, “hampir setiap hari bertengkar dan terjadi pemukulan.” Suasana rumah jadi tak kondusif sama sekali. Selama ini istri diam kalau dia jadi korban pemukulan. Ia akan bersikap biasa-biasa saja di depan anak-anak. Namun tidak ketika anak-anaknya yang dipukul.
Indiah berkata sang ibu, selain mengalami kekerasan fisik, juga tertekan secara psikis. Indiah bilang sang ibu paling menjadi korban karena ia juga masih harus bekerja sebagai tulang punggung keluarga.
Persoalan Ekonomi Bikin Makin Rentan KDRT
Selama Januari hingga Mei, Rifka Annisa menerima 279 aduan baik dari kanal online maupun offline. Namun korban yang mendapatkan pendampingan hanya 146. Dari jumlah pendampingan itu, kasus KDRT menempati posisi teratas.
Berdasarkan layanan konseling yang mereka buka selama masa pandemi, kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak mengalami peningkatan dua kali lipat. Pada Januari 2020, mereka menerima 40 aduan, Februari 41 aduan, dan Maret 33 aduan. Pada bulan April--sebulan COVID-19 masuk Indonesia--jumlahnya menjadi 67 aduan. Bulan berikutnya aduan yang masuk mencapai 98.
Rifka Annisa menggolongkan KDRT ini menjadi dua jenis, yakni kekerasan terhadap istri (KTI) dan kekerasan dalam keluarga (KDK). Total, dari bulan Januari hingga Mei 2020, ada 67 kasus KTI yang masuk dan 23 kasus KDK. Selain kasus KDRT juga ada perkosaan, pelecehan seksual, kekerasan dalam berpacaran, kekerasan terhadap anggota keluarga (non pasangan), dan trafficking.
Kepada reporter Tirto, Minggu (28/6/2020), Direktur Rifka Annisa Defirentia One Muharomah mengatakan “Kalau peningkatan kasus KDRT selama masa pandemi, pemicunya konflik yang disebabkan faktor ekonomi.”
Hal serupa ditemukan oleh Komnas Perempuan. Dalam survei nasional terhadap 2.285 responden pada April-Mei yang dirilis awal Juni lalu, mereka menyebut 80 persen responden perempuan dalam kelompok berpenghasilan di bawah Rp5 juta per bulan mengalami peningkatan kekerasan selama masa pandemi.
Komnas Perempuan menyebut, “kekerasan fisik dan seksual terutama meningkat pada rumah tangga dengan pengeluaran yang bertambah. Hal ini mengindikasikan pengaruh tekanan ekonomi pada potensi kekerasan di dalam rumah tangga.”
Angka peningkatan kasus KDRT saat pandemi ini kemungkinan jauh lebih tinggi dari yang tercatat. Berdasarkan survei tersebut, mereka yang mau mengadukan kasus KDRT hanya kurang dari 10 persen dari jumlah responden. Bahkan 69 persen responden tidak menyimpan kontak layanan untuk dapat mengadukan kasusnya.
Kekhawatiran soal peningkatan kasus KDRT di tengah pandemi juga muncul dari organisasi dunia. Beberapa waktu lalu lewat video berdurasi satu menit 57 detik, Sekretaris Jenderal PBB António Guterres menyebut telah terjadi “gelombang KDRT yang mengerikan berskala global”.
Ia mengatakan karantina atau lockdown menjebak perempuan-perempuan dengan pasangan yang kerap melakukan kekerasan.
Di beberapa negara, sejumlah perempuan yang meminta pertolongan melonjak dua kali lipat untuk mendapatkan layanan perlindungan.
Oleh karena itu, ia “mendesak semua pemerintah untuk membuat pencegahan dan mengatasi kekerasan terhadap perempuan sebagai bagian dari langkah penting dari rencana nasional untuk merespons COVID-19.”
Penulis: Irwan Syambudi
Editor: Maya Saputri