tirto.id - Hujan deras dan banjir DKI Jakarta memicu (lagi) perdebatan klasik mengenai program 'normalisasi sungai' dan 'naturalisasi sungai'. Istilah yang disebutkan terakhir diusulkan Gubernur Anies Baswedan sebagai antitesis normalisasi.
Program normalisasi berhenti sejak dua tahun lalu. Anies menolak konsep tersebut karena menurutnya itu kerap menggusur warga yang tinggal di bantaran kali. Penggusuran atas nama normalisasi masif terjadi di era Gubernur Basuki Tjahja Purnama alias BTP.
Meski telah bicara naturalisasi saat masih berkompetisi dengan BTP, juga Agus Harimurti Yudhoyono, pada Pilkada DKI 2017, toh baru pada 25 Maret 2019 Anies meneken Pergub Nomor 31 Tahun 2019 tentang Pembangunan dan Revitalisasi Prasarana Sumber Daya Air (SDA) secara Terpadu dengan Konsep Naturalisasi.
Gagasan utama program ini bukan membeton sungai seperti normalisasi, tapi menghidupkan ekosistem di sekitarnya. Regulasi itu secara khusus memandatkan Dinas Sumber Daya Air (SDA) DKI Jakarta agar membangun ruang terbuka hijau (RTH) dan menentukan batas garis sempadan--tak boleh ada bangunan di dalam garis tersebut.
Pengadaan RTH ini dibiayai melalui APBD atau sumber-sumber lain. Sementara untuk pengelolaan sampah dan pemantau kualitas air, sumber dananya dialokasikan khusus lewat Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta.
Namun, setelah sembilan bulan pergub diteken, banjir toh masih menghantui warga Jakarta. Bahkan, banjir awal tahun lalu disebut-sebut termasuk yang terparah selama beberapa tahun terakhir: berimbas hilangnya nyawa sembilan orang dan membikin lebih dari 12 ribu warga mengungsi.
Ini memunculkan pertanyaan sederhana: sebenarnya, bagaimana implementasi pergub naturalisasi tersebut?
Tak Pernah Dibahas
Sejak pergub diteken, Staf Khusus Menteri PUPR Bidang Sumber Daya Air, Firdaus Ali, mengaku pihaknya tak pernah mendapat penjelasan resmi apalagi detail mengenai konsep naturalisasi sungai. Penjelasan penting agar ada "satu persepsi" antara pemerintah pusat dan provinsi.
Ia mengaku Kemen PUPR telah mengundang Anies tiga kali. "Tapi tidak sekali pun Anies datang," kata Firdaus saat dihubungi pada Jumat (3/1/2020) sore.
"Sampai detik ini setahu saya Gubernur Anies belum pernah menjelaskan dan mengkomunikasikan ke kami di PUPR tentang konsep naturalisasi yang ia gadang-gadang," katanya. "Paling hanya lihat dari televisi dan video."
Undangan terakhir untuk Anies dikirim pada Juni tahun lalu, namun yang datang justru Dinas Sumber Daya Air yang "tidak bisa menjelaskan apa itu naturalisasi."
"Wajar sekali kemudian kami sangat menyayangkan," katanya.
Masalah lain, lanjut Firdaus, adalah pergub mengenai naturalisasi tidak selaras dengan UU 17/2019 mengenai Sumber Daya Air. Diksi "naturalisasi sungai" tak pernah ada dalam UU tersebut, katanya.
"Yang kami kerjakan selama ini normalisasi, program sejak 2013 pasca banjir besar tahun itu. Jadi memang lucu juga dia buat pergub tapi tidak mengacu kepada UU," katanya.
Kepala Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung-Cisadane (BBWSCC) Bambang Hidayah mengaku serupa. Padahal, kata Bambang, BBWSCC sangat menunggu penjelasan detail mengenai pelaksanaan pergub tersebut.
"Kalau naturalisasi itu seperti apa? Syaratnya seperti apa? Itu belum. Baru nerbitin pergub saja," katanya, Jumat sore. "Terakhir, kan, masih 16 km normalisasi (dari 33 km), tapi sejak pergub diteken enggak ada perubahan."
Bambang mengaku sudah membaca dan mempelajari isi pergub tersebut. Menurutnya naturalisasi yang dimaksud Anies justru saling berkaitan dengan normalisasi yang dijalankan gubernur sebelumnya.
"Intinya naturalisasi sungai daya tampungnya juga harus tetap bisa sebagai pengendali banjir. Harus mampu menampung dan mengendalikan debit air. Kuncinya ada di situ," katanya.
Ia membenarkan jika keinginan Pemprov DKI Jakarta membangun bantaran sungai dan kali yang lebih alami, namun, itu juga tetap membutuhkan lahan.
"Oke lebih alami dan enggak perlu ada beton. Bisa saja dengan adanya tanaman bronjong. Tapi, kan, harus ada lahan lebar minimal 100 meter. Memakan ruang juga. Dari mana [dapat] 100 meter kalau bebasin 50 meter aja susah?"
Sama-Sama Membutuhkan Lahan
Peneliti tata kota dari Pusat Studi Perkotaan, Nirwono Joga, menjelaskan perbedaan normalisasi dan naturalisasi lewat esai yang ia tulis pada 17 April 2019 atau sebulan setelah pergub diteken, Galau Normalisasi atau Naturalisasi. Di sana dia menegaskan apa yang dikatakan Bambang: bahwa "baik normalisasi, naturalisasi, maupun memadukan keduanya, yang pasti Pemerintah DKI harus melebarkan badan sungai agar kapasitas air meningkat dan memiliki sempadan sungai yang optimal."
Untuk itu, kata Nirwono, Anies berkewajiban menertibkan semua bangunan yang berada di dalam sempadan sungai, serta merelokasi pemukiman warga.
"Relokasi permukiman warga di bantaran sungai adalah keharusan," tulisnya.
Mengikuti penjelasan Nirwono, Pemprov DKI Jakarta tentu saja akan berurusan dengan warga yang tinggal di sepanjang bantaran kali--sama seperti Gubernur BTP yang akhirnya memilih cara penggusuran. Oleh karena itulah pergub mengenai naturalisasi sejak awal sudah dikritik oleh Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) DKI Jakarta. Menurut mereka pergub tersebut tidak melibatkan warga.
"Keterlibatan masyarakat masih terbatas. Peran masyarakat itu peluangnya tidak banyak," kata Direktur Eksekutif Walhi Jakarta, Tubagus Soleh Ahmadi.
Keterlibatan masyarakat sangat penting dalam implementasi pergub itu kata Tubagus, khususnya mereka yang tinggal di bantaran sungai.
Apa Kata Anies?
Debat panjang mengenai normalisasi dan naturalisasi tak banyak ditanggapi Anies. Saat ditanya oleh wartawan ketika mengunjungi korban banjir di Rawa Buaya, Jakarta Barat, Jumat (3/1/2020) siang, ia memilih tak menjawab.
"Pada saat ini kita konsentrasi pada penanganan korban akibat banjir. Sesudah ini semua selesai baru kita diskusikan apa yang akan kita kerjakan, termasuk soal itu (normalisasi atau naturalisasi)," kata Anies.
Hingga Jumat malam, pesan teks dan telepon wartawan Tirto soal naturalisasi dan normalisasi tak direspons oleh Kepala Dinas Sumber Daya Air DKI Jakarta, Juaini.
Reporter: Haris Prabowo
Editor: Rio Apinino