tirto.id - Pada pertengahan Juli 2019, dalam acara Tonight Show yang disiarkan di Net TV, Anya Geraldine menceritakan kepada Vincent dan Desta kebiasaan buruknya yang jarang diketahui orang.
“Aku jarang banget mandi. Aku mandi tu bisa seminggu sekali,” ujar Anya dalam tayangan tersebut. Bahkan di situ, Anya membocorkan bahwa ia tak mandi sebelum pergi syuting, “Aku mandinya dua hari yang lalu,” katanya lagi.
Rahasia Anya itu kemudian menjadi topik perbincangan hangat di Twitter dan tak sedikit warganet yang ingin mengikuti gaya hidup Anya Geraldine tersebut.
Di kehidupan sehari-hari, lingkungan sosial Anda barangkali memiliki kebiasaan mandi yang berbeda-beda, ada yang rajin mandi dua kali sehari atau lebih, ada yang sehari sekali, tapi ada pula yang mandi hanya seminggu sekali. Perilaku itu seringkali menjadi perdebatan.
Manurut Harvard Health Publishing, situsweb kesehatan Harvard Medical School, obrolan ihwal rutinitas mandi ini terjadi karena beberapa orang hanya memandang bahwa mandi setiap hari hanya untuk menuruti norma sosial. Padahal, seharusnya, perbedaan itu didasari oleh alasan kesehatan.
Anya Geraldine dalam tontonan televisi itu mengungkapkan bahwa ia sering berada di ruang ber-AC. Hal itu membuat Anya jarang berkeringat, sehingga ia memilih untuk tidak mandi setiap hari.
Beda Lingkungan, Beda Perawatan Kulit
Anda tentu tak bisa serta-merta meniru kebiasaan dari selebritas itu. Sama halnya dengan kita yang tak bisa menyeragamkan kebiasaan mandi kita dengan mereka yang tinggal di negara empat musim. Ada faktor lingkungan tempat tinggal yang harus menjadi bahan pertimbangan.
Seperti ditulis dalam situs Healthline, mandi bermanfaat bagi kebersihan pribadi kita. Sama halnya dengan organ tubuh lain, pada kulit manusia terdapat flora normal kulit—misalnya staphylococci, micrococci, diphtheroids, dll.—yang mesti kita jaga agar tidak rentan terhadap penyakit. Salah satu cara untuk menjaga keseimbangan bakteri dan mikroorganisme lain di kulit adalah mandi.
Carles Patrick Davis dalam Medical Microbiology 4th edition (1996) memaparkan bahwa komposisi mikroflora di kulit kita berbeda antara kulit jaringan ketiak, jari kaki, tangan, wajah, badan, lengan, maupun kaki. Jumlah mikroorganisme pun berbeda-beda, tergantung dari tingkat kelembaban dan suhu tubuh, serta konsentrasi lemak di permukaan kulit.
Selain itu, kelangsungan hidup dari bakteri dan tingkat kolonisasi mereka juga dipengaruhi oleh paparan kulit terhadap kondisi lingkungan tertentu, sehingga, kebutuhan mandi tiap orang pasti berbeda. Di Eropa, misalnya, meskipun suhu udara di musim panas tinggi, tapi udara di sana cenderung kering. Tentu saja perawatan kulit yang diberikan berbeda dengan kita yang tinggal di Indonesia dan memiliki udara yang lebih lembap.
Aktivitas di Kulit Manusia
Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin, dr. Amaranila Lalita Drijono, SpKK, mengatakan bahwa kulit memiliki kuman atau flora normal yang hidup subur di lapisan kulit permukaan yang mengandung asam lemak dan minyak kulit yang berfungsi meminyaki rambut kita. Asam lemak (acid mantle) menjadi benteng pertahanan kulit terhadap “serangan” dari luar, seperti suhu, kuman (di luar flora normal), maupun zat kimia.
Karakteristik kulit tiap orang pun berbeda-beda, salah satunya bergantung pada usia. Anak usia tujuh tahun, misalnya, memiliki kulit yang siklus pergantian kulit (cell renewal cycle) yang masih amat teratur. Pada kondisi ini, kulit berganti setiap 28 hari dengan otomatis.
Pada masa pubertas, hormon-hormon seks yang telah berfungsi akan memengaruhi keaktifan kelenjar minyak di kulit, sehingga menjadi lebih aktif. Hal tersebut mengakibatkan kulit terlihat lebih kusam berminyak karena sel kulit mati tertumpuk lebih lekat. Aroma kulit pun lebih berbau terutama di daerah2 berambut dengan aktifnya kelenjar minyak kulit tersebut.
Karakteristik kulit tersebut berbeda lagi pada orang lanjut usia dengan siklus pergantian sel kulitnya makin lambat, sehingga kulit mereka tampak lebih kusam, akibat tumpukan kulit mati yang lebih sulit berganti. Tak hanya itu, kulit lansia juga lebih kering akibat berkurangnya keaktifan kelenjar minyak kulit dan rusaknya kolagen dalam jumlah banyak sehingga kulit tidak mampu menahan air kelembapan alamiahnya.
“Nah, kalau orang-orang ini tinggal di iklim tropis seperti di Indonesia yang ciri-cirinya lembap dan panas, beda dengan di Arab, yang sama-sama cuaca panas tapi sangat kering. Dengan perbedaan itu saja cara berpakaiannya akan berbeda,” ungkap Nila.
“Kalau di Arab, kulit tubuh harus dilindungi dengan pakaian tertutup begitu juga rambut (kulit kepala) kalau enggak udara ekstrem kering di luar akan menarik air di kulit kita keluar sehingga kulit akan menjadi sangat kering, ditambah panasnya sinar matahari akan lebih memudahkan dehidrasi sel tubuh dan tentunya kulit sebagai pelindung terluar tubuh kita yang berakibat rusaknya kulit,” tambahnya.
Menurut Nila, pada kelembapan udara yang tinggi, tidak terjadi terlalu banyak evaporasi air dari kulit. Karenanya, pada orang yang tinggal di iklim tropis seperti Indonesia, kelembapan kulit lebih terjaga. Kondisi ini membuat kulit orang Indonesia tak mudah keriput, kecuali bagi mereka yang selalu terpapar sinar matahari.
“Karena sinar matahari yang berlebihan jangka panjang akan langsung merusak serabut kolagen kulit mereka, sehingga juga lebih cepat timbul keriput," tutur Nila.
Nila menjelaskan flora normal di kulit akan bertumbuh dengan baik dalam kondisi panas dan lembap. Apalagi di daerah lipatan kulit dan daerah berambut seperti ketiak. Kita perlu mengingat bahwa iklim tropis membuat kita lebih mudah berkeringat.
Saat tubuh mengeluarkan banyak keringat dan kelenjar minyak kulit lebih aktif, kemudian kita membiarkan dalam waktu lama tumpukan keringat dan minyak tersebut di permukaan kulit—misalnya dengan tidak mandi—pertumbuhan kuman flora normal di kulit lebih banyak (overgrowth).
Dalam siklus hidupnya, flora normal yang hidup di kulit manusia itu akan meninggalkan berbagai zat pembuangan. Demikian pula bila ia mati. Zat-zat pembuangan tersebut akan menimbulkan bau tidak sedap di kulit. Itulah alasan orang menjadi bau karena tidak mandi.
“Dengan dua aktivitas kelenjar [kelenjar minyak dan kelenjar keringat] kita yang lebih aktif, dan keringat minyak menumpuk di atas kulit kita dan kita tidak membilasnya atau mandi dengan teratur, dia jadi media yang bagus sekali dan disukai oleh flora normal kita,” ungkap Nila.
Zat-zat yang dikeluarkan oleh kuman yang mati itupun bisa menyebabkan reaksi kimia di kulit yang membuat kulit teriritasi. Gatal-gatal di kulit adalah jenis iritasi yang paling ringan.
“Nah kalau digaruk dan menyebabkan timbul luka, auto infeksi dari overgrowth flora normal akan memperlambat penyembuhan lukanya. Luka-luka mikro di kulit juga bisa jadi pintu masuk infeksi kuman dari luar—semisal kita jatuh ke lumpur, selokan, kebanjiran, dsb.—yang akan memperparah dan membuat lama sembuh. Sehingga meninggalkan bekas luka bahkan jaringan parut yang kurang baik,” tutur Nila.
Nila menjelaskan bahwa kulit yang tidak sehat seperti kondisi kulit kotor, kulit kering dan kulit yang sedang teriritasi dapat menjadikan kulit mudah ditembus oleh berbagai zat kimia non kuman. Bahkan penggunaan body lotion berpengharum saat kondisi kulit sedang tidak sehat, kadang bisa menyebabkan iritasi berat. Apabila sawar kulit rusa—misalnya luka, iritasi, kering—penetrasi molekul zat kimia dari luar akan lebih mudah terjadi. Ini tentunya akan semakin mengiritasi kulit.
Menurut situs Healthline, orang di negara empat musim lebih jarang mandi, karena mandi apalagi dengan sabun kuat bisa menghilangkan minyak dan asam lemak di kulit sehingga mengakibatkan kulit menjadi kering. Jika kulit kering, maka kulit akan lebih mudah mengalami peradangan atau eksim. Selain itu, kulit pun bisa terasa gatal dan retak atau mengelupas, dan menjadi merah.
Maka, tak heran jika di negara sub-tropis, orang biasa mengoles minyak atau amat bergantung dengan produk-produk krim lotion pelembab kulit. Tujuannya untuk menjaga kulit agar tak terlalu kering, sehingga flora normal kulit juga terjaga keseimbangannya. Jika bakteri “baik” di kulit itu hilang, risiko infeksi dari kuman luar yang berbahaya akan menghantui.
Editor: Maulida Sri Handayani