tirto.id - Ada yang menarik dalam acara Pencanangan Gerakan Nasional Pengembangan Mangga dan Anggur di Kebun Instalasi Penelitian Pengembangan Teknologi Pertanian Cukurgondang, Pasuruan, Jawa Timur, Jumat (15/11/2019) dua minggu lalu.
Kala itu, Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo menamakan varietas anggur baru hasil inovasi Badan Litbang Pertanian Kementerian Pertanian dengan nama Jan Ethes SP1. Bagi Syahrul, nama cucu Presiden Joko Widodo yang bermakna “sangat cekatan” itu sangat pas dengan karakteristik dari anggur hasil varietas unggul tersebut.
Syahrul menjelaskan anggur itu memang punya banyak keunggulan daripada varietas lokal lain. Jika diicip rasanya sangat manis dan segar, tekstur buahnya padat, dan tidak terlalu berair. Anggur ini juga tidak mudah rontok, sehingga dapat disimpan selama tujuh hari pada suhu ruang dan 14 hari pada ruang pendingin.
Keunggulan lainnya terletak pada produktivitasnya yang mencapai 25 kg/tanaman setiap tahun. Melalui berbagai keunggulan tersebut, anggur ini diharapkan dapat memenuhi kebutuhan konsumsi dan bersaing dengan kualitas anggur impor.
“Pas sekali, sama seperti Jan Ethes, cucu pertama Presiden Jokowi, melihatnya saja kita dibikin tersenyum dan bahagia, anggur Jan Ethes ini pun begitu, begitu dicicipi rasa manisnya bikin kita tersenyum dan bahagia” ungkap Syahrul.
Ini bukan pertama kalinya nama keluarga presiden Indonesia dijadikan nama suatu organisme. Nama nenek Jan Ethes, Iriana Joko Widodo, tahun lalu juga disematkan untuk nama spesies burung baru endemik Pulau Rote. Para peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang menamainya Myzomela irianawidodae.
Laman Kompas menyebut, M. irianawidodoae secara taksonomi termasuk dalam famili Meliphagidae alias burung pengisap madu. M. irianawidodoae berstatus satwa dilindung berdasarkan Undang-Undang 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, serta Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa.
Sebelum Iriana, ibu negara Fatmawati dan Sinta Nuriyah Wahid lebih dulu disematkan sebagai nama varietas baru padi.
Laman Kompas menyebut, pada 2001, pemulia tanaman padi di Badan Litbang Departemen Pertanian, Adijono Partoatmodjo, berhasil menemukan varietas padi aromatik yang dinamai Padi Sintanur. Lalu pada 2004, nama Fatmawati disematkan pada varietas padi baru hasil riset Indonesian Institute for Rice Research (IIRR).
Nomenklatur Binomial
Setiap organisme di bumi, baik yang masih eksis atau sudah punah, memiliki nama ilmiah. Bagi para ahli biologi, nama ilmiah ini sangat krusial untuk menghindari kesalahan identifikasi dan komunikasi. Sebab itulah nama ilmiah setiap organisme selalu unik dan hanya dipakai satu kali.
“Misalnya, jika ikan mola-mola biru diberi nama ilmiah Lepomis macrochirus, tidak ada spesies lain yang diberi nama sama dengan itu. Jadi, misalkan saja seorang ilmuwan Rusia yang mempelajari ikan mola-mola biru dan ingin mendiskusikannya peneliti Kanada, mereka berdua akan berkomunikasi dengan nama ilmiah (Lepomis macrochirus) dan tahu persis spesies apa yang dibicarakan satu sama lain,” tulis Tanya Dewey di Animal Diversity Web.
Para saintis punya pedoman ilmiah untuk menamakan setiap organisme di bumi. Kendati nama tokoh publik sering digunakan untuk nama ilmiah, itu bukan tindakan iseng belaka. Tetap ada sistem baku yang disebut nomenklatur binomial yang mesti dipenuhi.
Tata nama ilmiah sebermula dikembangkan oleh dua botanis bersaudara asal Swedia, Gaspard dan Johann Bauhin, sekira pertengahan abad ke-16. Laman Biology Dictionary menyebut, pada 1596, Gaspard menerbitkan Pinax Theatric Botanici yang berisi deskripsi ribuan tanaman dan suatu sistem taksonomi sederhana.
Di buku itulah pertama kali seorang saintis menggunakan nama genus dan spesies untuk merujuk suatu organisme tertentu. Cara Gaspard memberi nama tanaman itu lalu dilanjutkan dengan konsisten oleh adiknya, Johann, dalam buku Historia Plantarum Universalis.
Sejarak seabad kemudian, seorang naturalis Swedia lainnya memperkenalkan sistem penamaan organisme yang lebih rigid. Dialah Carl von Linné atau lebih sering dikenal dengan nama latinnya Carolus Linnaeus. Sistem nomenklatur binomial—dengan menggunakan genus dan spesies sebagai nama organisme—mulanya ia terapkan kepada para mahasiswanya untuk praktik lapangan mengidentifikasi tanaman pakan ternak.
Encyclopaedia Britannica menyebut, pada 1735, Carolus Linnaeus menerbitkan edisi pertama Systema Naturae, sebuah naskah 11 halaman yang menyajikan taksonomi dari tiga golongan besar di alam: mineral, tanaman, dan hewan. Di buku itu ia mengklasifikasikan lagi setiap golongan dalam hierarki kelas, ordo, genus, spesies, hingga varietas.
Sistem nomenklatur binomialnya sendiri mulai konsisten digunakan Linnaeus dalam buku Species Plantarum yang terbit pada 1753. Namun, baru pada edisi ke sepuluh yang terbit pada 1758, ia mulai mantap menggunakan nomenklatur binomial ciptaannya. Edisi inilah yang kemudian jadi basis sistem tata nama ilmiah modern yang berlaku hingga saat ini.
Hari ini, sistem nomenklatur binomial mengikut pada dua regulasi internasional: International Code of Zoological Nomenclature (ICZN) dan International Code of Nomenclature for Algae, Fungi and Plants (ICN).
Aturan pokok dari sistem nomenklatur binomial ini tak begitu rumit. Nama ilmiah organisme menggunakan nama genus dan spesies dan selalu menggunakan bahasa Latin atau istilah yang “dilatinkan”. Alasannya: bahasa ini sudah tidak berkembang lagi, sehingga tak ada perubahan dari waktu ke waktu.
Aturan lain adalah nama genus selalu diawali huruf kapital untuk nama spesies. Dalam naskah cetakan, nama ilmiah mesti dibuat miring, sedangkan dalam tulisan tangan cukup dengan dibubuhi garis bawah.
Dari nama ilmiah burung Myzomela irianawidodae, misalnya, kita bisa tahu bahwa myzomela adalah nama genus dan irianawidodae—nama orang yang dilatinkan—adalah nama spesiesnya. Nama spesies inilah yang biasanya dikarang-karang seunik mungkin oleh saintis.
Lalu mengapa saintis kerap kali menggunakan nama tokoh untuk menamai organisme?
Demi Isu Konservasi dan Lingkungan
Selama memenuhi aturan baku tersebut, tak ada lagi yang membatasi bagaimana nama spesies mesti dibuat. Maka itu pemberian nama organisme sering kali sangat subjektif sifatnya, terserah kepada si saintis yang menemukan dan menelitinya.
"Anda punya kebebasan absolut ketika menemukan spesies baru. Selama nama genusnya tepat, Anda boleh memberi nama apa pun yang Anda inginkan," kata profesor biologi Universitas Vermont, Amerika Serikat, Ingi Agnarsson.
Yang jamak terjadi dari dulu, nama ilmiah dibuat dengan menunjuk pada fitur atau tampilan fisik yang menonjol dari organisme atau nama tokoh publik. Pemberian nama ilmiah berdasarkan fitur fisik sendiri bisa juga secara harafiah atau pun metaforis.
Brachiosaurus giraffatitan adalah contoh bagaimana nama ilmiah mendeskripsikan tampilan fisiknya. Nama genusnya, brachiosaurus, berarti “kadal berlengan”. Disebut demikian karena kaki depan dinosaurus ini lebih panjang daripada kaki belakangnya. Nama spesiesnya, giraffatitan, berarti “jerapah raksasa”, jelas karena lehernya yang panjang dan mirip jerapah berukuran gigantis.
Nama ilmiah Tyrannosaurus rex lebih metaforis. Memiliki arti “raja kadal yang lalim” karena merujuk pada tampilan fisiknya yang memang mengerikan. Kepalanya besar dengan rahang dipenuhi taring-taring tajam mengisyaratkan mahluk itu sebagai predator purba.
Nama ilmiah bisa juga mengacu pada lokasi geografis tertentu di mana organisme itu hidup. Misalnya jenis paus baleen yang dijumpai di lautan selatan dinamai Eubalaena australis. Atau jenis baru orang utan endemik di rimba Tapanuli yang dinamai Pongo tapanuliensis.
Sementara untuk organisme yang dinamai seturut nama seorang tokoh biasa dilatari penghargaan. Tapi, mungkin tak ada seorang saintis yang memberi nama spesies temuannya dengan namanya sendiri.
"Para ilmuwan umumnya tidak memakai namanya sendiri untuk spesies temuannya. Itu dipandang sebagai puncak kesombongan dan merongrong kehormatan,” kata Ellinor Michel dari ICZN sebagaimana dikutip laman BBC.
Seorang ilmuwan lazimnya menyebut nama ilmuwan lain yang ia hormati sebagai nama spesies. Ini terjadi pada Semioptera wallacii yang dinamai seturut nama naturalis beken, Alfred Russel Wallace. Burung ini ditemukan oleh Wallace—dengan bantuan asistennya yang bernama Ali—di Maluku pada 1858.
Saat itu Wallace tak memberinya nama. Ia hanya menjadikannya spesimen, membuat deskripsi, dan kemudian mengirimnya ke Inggris. Ornitholog British Museum, George Robert Gray, kemudian meneliti cenderawasih itu dan menamainya Semioptera wallacii sebagai penghormatan kepada Wallace.
Di era kiwari, penyematan nama seorang tokoh publik atau selebritas jadi lebih sering daripada sebelumnya. Penghargaan tentu saja masih jadi pertimbangannya. Lain itu ada hal penting lain yang coba didengungkan oleh para saintis lewat nama itu: kesadaran konservasi dan lingkungan.
Sulit untuk menarik perhatian publik awam jika spesies baru dinamai dengan cara yang biasa. Profesor Agnarsson menyebut, mengasosiasikan spesies baru dengan orang terkenal dapat membantu meningkatkan kesadaran publik terkait isu-isu seputar lingkungan dan konservasi.
"Kami selalu berusaha menemukan cara untuk menarik perhatian publik pada isu-isu utama dalam konservasi dan perubahan iklim. Dengan cara itu, publik akan mendengar tentang hal itu," kata Agnarsson.
Nama beberapa selebritas yang punya kepedulian terhadap isu konservasi sudah beberapa kali dijadikan nama spesies baru. Sebutlah misalnya lemur asal Madagaskar yang dinamai Avese cleesei. Nama itu merujuk kepada aktor sekaligus komedian Inggris, John Cleese, yang beberapa kali ikut mempromosikan kelestarian lingkungan melalui film.
Tahun 2018 lalu, spesies kumbang air baru dari Kalimantan dinamai Grouvellinus leonardodicaprioi. Penghargaan nama itu tak lain karena upaya aktor Hollywood itu dalam konservasi melalui Leonardo DiCaprio Foundation.
Tak hanya selebritas, Barack Obama yang mantan presiden Amerika Serikat juga jadi nama beberapa spesies baru. Pada 2016 namanya dijadikan nama spesies ikan karang baru dari Kepulauan Hawaii, Tosanoides obama. Hal itu menjadi sebentuk penghargaan para ilmuwan untuk kebijakan Obama memperluas area konservasi di Papahanaumokuakea Marine National Monument, Hawai.
Nama Obama juga sudah disematkan untuk spesies ikan air tawar Etheostoma obama, ikan dasar laut purba Obamus coronatus, hingga lumut kerak yang ditemukan di di Pulau Santa Rosa, California, pada 2007.
"Saya menamainya Caloplaca obamae untuk menunjukkan penghargaan atas dukungan terhadap sains dan pendidikan sains oleh Presiden," ujar penemunya, peneliti lumut kerak dari Universitas California, Kerry Knudsen, seperti dilansir Kompas.
Untuk maksud serupa itulah spesies baru burung pengisap madu dari Pulau Rote disemati nama Iriana Joko Widodo. Penemu burung M. irianawidodae, peneliti senior LIPI, Dewi Mali Prawiradilaga beserta tim, berharap dengan cara itu kampanye penyelamatan burung bisa lebih mudah diterima publik. Pasalnya, keberadaan burung di alam adalah penanda kesehatan ekosistem.
“Kami juga berharap beliau membantu program konservasi burung di habitat alami, bukan di sangkar. Kalau orang biasa yang menyampaikan sulit. Kalau Ibu Negara, mungkin bisa menular kepada orang lain untuk melakukan hal baik,” tutur Dewi sebagaimana dikutip laman Mongabay.
Dengan perspektif macam itu, meski tak benar-benar tepat, penggunaan nama Jan Ethes untuk nama anggur varietas baru bisa jadi adalah cara Mentan mempopulerkan buah lokal. Lantas, apakah itu efektif?
Editor: Eddward S Kennedy