tirto.id - Anggota Tim Gubernur Untuk Percepatan Pembangunan (TGUPP) DKI Jakarta, Togar Arifin Silaban menilai, kekosongan hukum terkait rumah susun atau apartemen selama ini dimanfaatkan orang tak bertanggungjawab, termasuk pengembang. Langkah itu membentuk 'hukum rimba'.
“Kekosongan hukum itu ternyata dimanfaatkan oleh sebagian pihak untuk dijadikan 'hukum rimba',” kata Togar dalam diskusi yang diadakan di Cikini, Jakarta Pusat, Kamis (28/2/2019).
Togar merujuk pada kekosongan hukum yang terjadi dan akhirnya diatur dalam Peraturan Gubernur Nomor 132 Tahun 2018 tentang Pembinaan Pengelolaan Rumah Susun Milik.
Peraturan yang memang sudah ada sebelumnya adalah Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun.
“Mereka menginterpretasikan hukum [UU] Nomor 20 [Tahun 2011] hanya menurut mereka sendiri,” kata Togar.
Permasalahan yang timbul, kata dia, sebelum adanya Pergub tersebut pengembang atau pengelola bisa menaikan tarif IPL (iuran perawatan lingkungan) atau biaya operasi perhitungan yang menguntungkan. Biaya IPL, kata dia, merupakan biaya yang harus dibayar pemilik rumah susun atau apartemen.
“Tidak adil karena IPL dinaikan sesuka-sukanya,” kata Togar.
Aturan pergub mengatur agar pengelolaan, soal biaya operasi, termasuk IPL, merupakan hasil kesepakatan penghuni yang tergabung dalam Pengurus Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Satuan Rumah Susun atau P3SRS.
“Kenapa selama ini ada warga yang tidak bayar IPL? Karena tidak transparan, tidak akuntable, tidak adil, sehingga ada warga yang tidak bayar. Warga tidak pernah tahu uangnya untuk apa,” kata Tigor.
“Pemilik menjadi korban dari 'hukum rimba',” tambah dia.
Tigor juga mengkritik keberadaan notaris yang menuntut untuk judicial review terkait pergub tersebut.
Pergub tersebut digugat untuk diuji oleh Real Estate Indonesia (REI) dan Notaris bernama Sutrisno Tampubolon
Menurut Tigor, posisi notaris tidak memiliki legal standing karena tidak ada yang dirugikan kepadanya.
“Notaris tidak memiliki legal standing untuk menggugat pergub,” kata Tigor.
“Seharusnya kami yakin Mahkamah Agung tidak gegabah untuk menerima tidak bisa diterima karena tidak punya legal standing,” tambah dia.
Penulis: Fadiyah Alaidrus
Editor: Zakki Amali