tirto.id - Beberapa anggota Komisi XI DPR RI menyuarakan keberatannya terkait Penyertaan Modal Negara (PMN) senilai Rp10 triliun yang diajukan Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI).
Protes itu tidak lain karena kasus dugaan korupsi penyaluran kredit mencapai Rp2,5 triliun di tubuh lembaga khusus yang ada di bawah Kementerian Keuangan itu.
“Untuk BUMN bermasalah, khususnya LPEI, indikasi atau standar apa sih sehingga itu dilakukan pembiayaan? Kerja sama dengan kejaksaan dan lembaga hukum itu memang perlu dikonkretkan, tapi jangan hanya satu hal, ternyata indikasi standarnya itu dikesampingkan,” cecar Anggota Komisi XI DPR RI dari Fraksi Partai Demokrat, Vera Febrianty, dalam Rapat Kerja Komisi XI DPR RI, di Gedung DPR RI, Jakarta, Senin (1/7/2024).
Pertanyaan serupa pun diajukan pula oleh Anggota Komisi XI DPR RI dari Fraksi Partai Nasdem, Fauzi Amro. Menurutnya, pemberian PMN kepada BUMN-BUMN bermasalah seperti LPEI harus dipertimbangkan dengan sangat matang.
“Menurut saya, kasusnya ini kan sudah panjang secara hukum. Artinya, kalau persetujuan yes or no kita nanti, jangan sampai kita terlibat juga dalam proses yang hari ini sudah jelas mereka secara hukum, tapi malah diajukan lagi,” ujarnya.
Bahkan, menurut Anggota Komisi XI Fraksi Demokrat lainnya, Andreas Eddy Susetyo, setelah pemerintah dan DPR menyetujui PMN sebesar Rp28,7 triliun dari 2015-2023, LPEI justru membukukan kinerja keuangan minus Rp18,1 triliun di akhir 2023.
Dengan kinerja ini, LPEI dinilai tidak bisa mempertanggungjawabkan suntikan modal jumbo yang sudah diberikan pemerintah sejak delapan tahun sebelumnya.
“Ini saya kira enggak bisa… Saya lihat ininya, bagaimana kita mau melakukan upaya-upaya apa kalau kinerja keuangannya kayak gini? Apalagi dengan jumlah jaringan yang cuma 3 kantor wilayah dan 5 cabang,” tegas Andreas.
Berusaha meyakinkan DPR, Direktur Utama LPEI, Riyani Tirtoso, mengungkapkan, setelah melakukan perubahan menyeluruh, LPEI yang sekarang bukanlah LPEI yang dulu lagi. Salah satu perubahan yang dilakukan adalah dengan mengganti seluruh dewan direksi, mulai dari direktur eksekutif, direktur pelaksana, hingga mengganti manajer senior menjadi bankir profesional.
Selain itu, di level lebih bawah, sejak 2020 sampai Juni 2024, LPEI juga sudah melakukan pemutusan Hubungan kerja (PHK), pensiun dini, hingga meminta 224 karyawan bermasalah untuk keluar.
“Saat ini, bisa dikatakan tidak terdapat lagi pengurus yang terkait dengan permasalahan kualitas aset di masa lalu,” jelas Riyani.
Kemudian, LPEI juga telah melakukan upaya-upaya hukum, baik secara perdata maupun pidana kepada pihak-pihak yang bertanggung jawab membuat kredit bermasalah di LPEI.
“Penyelesaian kualitas aset telah dilakukan upaya recovery secara agresif dengan melibatkan jaksa pengacara negara dalam melaksanakan fungsi non-litigasi,” pungkasnya.
Penulis: Qonita Azzahra
Editor: Bayu Septianto