Menuju konten utama

"Anggap Saja Ahmad Dhani Baru Belajar Politik"

Manuver Ahmad Dhani melempar isu-isu sensitif berbau Suku, Agama, Ras dan Antargolongan (SARA) kepada Basuki Tjahaja Purnama bisa menjadi bumerang. Sebab, berpotensi menurunkan citra dirinya yang bisa dinilai tak mengerti berpolitik dan berdemokrasi.

Pengamat Politik Lima (Lingkar Madani), Ray Rangkuti. TIRTO/Andrey Gromico

tirto.id - “Demokrasi justru diharapkan bisa membuat orang memilih atas dasar pertimbangan rasional, kepentingan bersama, konsensus, serta tujuan yang sama. Entah agama atau sukunya berbeda, tapi yang sama adalah visinya,” kata Ray Rangkuti, pendiri Lingkar Madani yang juga alumni UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.

Menurut Ray, kelompok yang menggunakan isu sensitif berbau SARA dalam berpolitik, bisa diibaratkan sebagai orang yang baru berlajar berpolitik. Bagaimana pendangannya terkait berbagai manuver Ahmad Dhani paling mutakhir? Berikut wawancara tirto.id, dengan Ray Rangkuti yang dilakukan Senin (22/8/2016):

Bagaimana Anda menilai manuver Ahmad Dhani yang melempar isu sensitif berbau SARA yang kepada Ahok?

Isu SARA itu politik rendahan. Jadi sebetulnya, orang-orang yang menggunakan isu SARA dalam berpolitik, ibaratnya masih baru belajar politik. Jadi kalau orang sudah terbiasa dengan politik, bicara politik itu bicara soal konsensus, soal kepentingan yang didialogkan. ‎Jadi soal China, Kristen, dan sebagainya, di dalam sebuah demokrasi yang berkembang tidak menjadi ukuran yang dominan.

Kalau Dhani tetap menyampaikan unsur SARA dalam konteks pemilihan kepala daerah, ya anggap saja Dhani baru belajar politik. Cuma lagaknya kayak orang gede.

Dhani menjadi bagian dari “Trio Penjegal” Ahok, selain Ratna Sarumpaet dan Said Iqbal dari KSPI. Said mengatakan mencari pimpinan Islam tak masalah?

Iya, masalah sih tidak. Ini bukan persoalan masalah tidak masalah. Orang memilih pemimpin karena Islam juga boleh. Tapi itu levelnya masih level orang belajar. Ibarat orang belajar, kalau dia pakai isu SARA dalam politik, kira-kira dia masih belajar di tingkat sekolah dasar.

Jadi lihat saja, kalau mereka masih memakai isu SARA, ya artinya masih belajar. Hal itu mencitrakan bahwa dirimu belum mengerti makna demokrasi yang sesungguhnya. Padahal di dalam demokrasi, orang memilih bukan lagi alasan agama. Antipluralisme justru sesuatu yang bertentangan dengan spirit demokrasi.

Cuma memang, demokrasi membebaskan orang untuk berpikir apapun. Demokrasi dibutuhkan justru karena orang memilih bukan karena agama. Tapi lebih disebabkan demi cita-cita, konsensus, pikiran yang sama, juga karena tujuan yang sama. Jadi kalau demokrasi dipakai untuk memilih orang karena agama, ya artinya nggak perlu ada demokrasi.

Maksud Anda antipluralisme membahayakan demokrasi?

Ini kan semacam penggelapan spirit demokrasi. Jadi demokrasi justru dipakai untuk menghadang cita-cita dari demokrasi itu sendiri. Padahal demokrasi dibutuhkan bukan untuk sekedar mempertegas bahwa saya tidak ingin memilih pemimpin Islam.

Kalau seperti itu caranya, nggak perlu demokrasi. Dirikan saja negara Islam. Demokrasi justru diharapkan bisa membuat orang memilih atas dasar pertimbangan rasional, kepentingan bersama, konsensus, serta tujuan yang sama. Entah agama atau sukunya berbeda, tapi yang sama adalah visinya. Misalnya, saya mau Jakarta lima tahun mendatang seperti apa.

‎Jadi bagaimana jika ada pihak yang menggunakan SARA saat kampanye?

Kalau itu sudah ada undang-undangnya, bahwa selama kampanye tidak boleh menyinggung SARA. Nah persoalannya, apakah SARA atau tidak, nanti diserahkan ke polisi supaya diselidik, apakah ini taraf SARA atau tidak.

Bagaimana seandainya dalam kampanye nanti masih tetap ada pihak-pihak yang memakain isu SARA?

Ibaratnya kalau buku, dia baru membaca Bab satu. Kita dorong saja agar dia terus membaca bukunya.

Baca juga artikel terkait WAWANCARA atau tulisan lainnya dari Kukuh Bhimo Nugroho

Reporter: Dieqy Hasbi Widhana
Penulis: Kukuh Bhimo Nugroho
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti