Menuju konten utama

Analisis Serangan Bom di Surabaya: Taktik dan Pesan Baru Teroris

Serangan yang dilakukan keluarga Dita Oeprianto berpotensi memicu serangan sejenis karena pola serangan cukup berhasil.

Analisis Serangan Bom di Surabaya: Taktik dan Pesan Baru Teroris
Polisi menghentikan dan memeriksa warga yang melintas di Jalan Niaga Samping setelah terjadi ledakan di Polrestabes Surabaya, Jawa Timur, Senin(14/5/2018). ANTARA FOTO/Didik Suhartono

tirto.id - Teror ledakan bom di tiga tempat di Jawa Timur disinyalir merupakan bagian jaringan Jamaah Anshar Daulah (JAD). Dugaan ini dikemukakan polisi lantaran pola serangannya mirip dengan yang dipakai ISIS. Dalam serangan tersebut, JAD tak hanya membawa taktik baru tapi juga pesan yang ingin disampaikan pada jaringannya.

Taktik dan pesan ini disampaikan dalam pelibatan istri dan anak yang dilakukan Dita Oeprianto dan satu keluarga lainnya saat membom tiga gereja dan Mapolrestabes Surabaya.

Menurut Harits Abu Ulya, pengamat terorisme dari The Community Ideological Islamic Analyst, pelibatan anak dan istri ini dilakukan karena polisi sudah mulai bisa mendeteksi pergerakan teroris laki-laki dan perempuan. Pola ini pun diambil untuk mengaburkan jejak.

“Memang untuk pengaburan aksi,” kata Harits kepada Tirto, Selasa (15/5/2018).

Harits merujuk penangkapan terhadap Dian Yulia Novi pada 2017. Ia ditangkap polisi lantaran ia diduga akan meledakkan bom panci di Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat.

Dalam konteks bom Surabaya, Harits menyebut, pola serangan yang dilakukan sekeluarga ini terbilang berhasil karena mengakibatkan 18 orang meninggal dan puluhan lain terluka. Pola ini disinyalir bakal ditiru kelompok lain dalam jaringan JAD karena keberadaan istri dan anak ternyata bisa menjadi solusi untuk lepas dari pantauan polisi.

“Ada potensi pengulangan [pola] yang sama,” ucap Harits.

Pesan di Balik Teror

Senada dengan Harits, mantan narapidana terorisme yang menjadi bagian JAD, Sofyan Tsauri mengatakan pelibatan anak dan istri dalam serangan ini merupakan alternatif taktik serangan. Sejauh ini, kata Sofyan, polisi sudah cukup berhasil mengidentifikasi jaringan-jaringan teroris di sejumlah tempat seperti yang terjadi di Bogor, sebelum insiden kerusuhan teroris pecah di Rutan Mako Brimob.

Sofyan mengatakan, pola serangan ini sebenarnya sedang membawa pesan kepada jaringan teroris lainnya. Ia menyebut peledakan itu untuk menggerakkan kaum lelaki dalam jaringan ini, yang dianggap sudah takut untuk amaliyah.

“Jadi opini yang mau dikembangkan itu oleh mereka adalah kalau anak-anak dan wanita sudah mau menyumbangkan darah mereka, kenapa yang laki-laki tidak? Jadi sebenarnya [serangan ini] untuk memprovokasi [laki-laki] agar mau ber-amaliyah. Malu kalian dengan anak-anak,” kata Sofyan mennganalisis pesan moral yang ingin disampaikan JAD.

Dugaan pesan ini juga sempat disampaikan Solahuddin, peneliti terorisme dari Pusat Kajian Terorisme dan Konflik Sosial, Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia. Pada April 2017, Solahudin sudah memperkirakan pimpinan ISIS, Bahrun Naim sedang berusaha merekrut anggota teroris wanita dari Indonesia untuk amaliyah.

Pendapat ini disampaikan Solahudin merujuk pada keterlibatan Dian Yulia Novi dan Ika Puspitasari yang diduga berusaha merakit bom panci dan berafiliasi dengan ISIS. Perekrutan ini terjadi karena ISIS mulai kesulitan mencari pelaku laki-laki yang mau melakukan aksi teror.

“Bahrun bilang kalau di Suriah, aksi amaliyah tidak wajib dilakukan oleh perempuan. Tapi di Indonesia, perempuan boleh melakukan aksi teror karena laki-lakinya pada pengecut. Itu dalam percakapan Telegram pada Juni 2016,” kata Solahudin merujuk pada informasi dan riset yang pernah dilakukannya.

Infografik CI keterlibatan perempuan dalam terorisme

JAD Terinspirasi ISIS

Pola serangan dengan melibatkan perempuan dan anak merupakan pendekatan baru dalam serangan teror di Indonesia. Pola ini tak pernah dilakukan Jamaah Islamiyah, jejaring teror yang sebelumnya ada di Indonesia.

Di lingkaran jejaring aktivis kelompok ekstrem seperti JAD, pendekatan ini masih diperdebatkan. Sofyan Tsauri yang pernah terlibat di jaringan ini mengatakan kepada Tirto, pelibatan anak dan istri untuk amaliyah ini pernah ditentang Aman Abdurrahman, yang merupakan pemimpin tertinggi ISIS di Indonesia.

“Aman pernah melarang. Dia justru enggak ngebolehin libatin perempuan dan anak,” kata Sofyan.

Sofyan balik menduga pelibatan ini bagian dari improvisasi anggota JAD yang memang sudah terafiliasi dengan ISIS. Ia lantas mencontohkan aksi teroris laki-laki di Pamulang yang mengenakan pakaian perempuan pada 2010. Aksi itu sempat ditentang Aman yang kala itu belum ditahan.

Kondisi berkebalikan saat Aman ditangkap polisi dan ditahan. Anggota JAD yang tersisa kemudian semakin liar dan berimprovisasi. Improvisasi ini terpengaruh dengan tren teror yang dilakukan ISIS di luar negeri.

“Ini memang campuran ya, semacam tren baru,” ujarnya.

“Dulu pertimbangannya masih banyak ustaz yang mau melakukan bom bunuh diri. Sekarang ketika bersinggungan dengan ISIS, opsi ini cair.”

Pengaruh ISIS terhadap JAD ini juga diakui Sidney Jones, peneliti terorisme dari Institute for Policy Analyst of Conflict (IPAC). Dalam tulisan terbarunya yang dipublikasi di The Intrepreter berjudul Surabaya and the ISIS Family, Jones menyebutkan kejadian merupakan hal baru di Indonesia.

Jones menjelaskan serangan yang diinisiasi ISIS ini berbeda dengan serangan yang diinisiasi Jemaah Islamiyah (JI). Jones merinci, JI hanya melibatkan pria dewasa dalam amaliyah yang mereka lakukan. Sedangkan perempuan tak pernah dilibatkan sebagai kombatan. Ada pun pelibatan anak, Jones mengatakan “Itu biasanya terjadi karena mereka telah menjadi yatim piatu.”

Sementara ISIS berkebalikan. Jones mengatakan ISIS sejak semula sudah menjadikan masalah teror ini berkaitan dengan keluarga. Khalifah ISIS meminta kepada seluruh pengikutnya untuk hijrah ke Suriah supaya ayah bisa bertempur dan ibu bisa melahirkan anak, mengajar, dan mengobati yang terluka, dan anak-anak bisa tumbuh dalam negara Islam versi ISIS.

“ISIS berhasil mengubah konsep jihad menjadi urusan keluarga, dengan peran untuk semua orang. Perempuan adalah 'singa betina' anak-anak adalah 'anak singa'. Setiap orang diberi misi,” ucap Jones.

Pendapat Jones mengonfirmasi temuan Renate Winter, staf ahli PBB bidang hak anak yang sebelumnya telah meneliti pelibatan anak dalam teror yang dilakukan ISIS. Winter mendapati anak-anak dilibatkan dalam latihan militer pada 2015. Anak-anak ini kemudian dijadikan prajurit untuk dikirim ke medan perang. Misi mereka cukup mudah, yakni meledakkan diri.

“Kami telah mempunyai laporan bahwa anak-anak, terutama anak-anak yang mentalnya terguncang, digunakan sebagai pasukan bom bunuh diri,” ucap Winter seperti dikutip dari Reuters.

Baca juga artikel terkait BOM SURABAYA atau tulisan lainnya dari Felix Nathaniel

tirto.id - Hukum
Reporter: Felix Nathaniel
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Mufti Sholih