tirto.id - Ketua Umum Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI), Wenseslaus Manggut, mengatakan perlu regulasi untuk mengatur medium yang digunakan mendistribusikan karya jurnalistik di media sosial.
Menurut dia, medium yang digunakan penyebaran karya jurnalistik erat kaitannya dengan media daring.
Wenseslaus juga mengatakan, saat ini sejumlah penghasilan dari media daring bergantung pada jumlah pengunjung yang membuka berita atau konten melalui kanal dalam media sosial.
"70 persen mereka [pengunjung berita] datang dari mesin pencari dan media sosial," kata Wenseslaus dalam diskusi 'Kebebasan Pers di Bawah Bayang-bayang Kriminalisasi Hukum Siber' di kantor Dewan Pers, Jakarta Pusat, Rabu (10/4/2019).
Hal ini, kata Wenseslaus, terjadi di hampir seluruh media daring di Indonesia.
"Artinya apa? Kita memang bergantung pada mesin pencari dan media sosial," ujar Wenseslaus.
Ia menyayangkan regulasi yang dimiliki di Indonesia, baik di Dewan Pers, maupun di UU Penyiaran, belum ada yang mengaturnya.
"Dengan itu, mengatur pers seharusnya mencapai ranah mesin pencari dan media sosial," kata dia.
Diakuinya, keberadaan media sosial yang terkait jurnalistik memengaruhi ruang redaksi yang ada.
"Model bisnis yang kayak begini, lama-lama memang memengaruhi news room," kata dia.
Ia mencontohkan, pembuatan judul media terpengaruh dari media sosial dan mesin pencari. Setiap media, kata dia, saling beradu untuk menonjolkan diksi yang populer atau dikenal di dalam judul, sehingga muncul istilah click bait.
"Makin banyak kata penting di judul, makin tinggi kemungkinan judul dipilih," ujar dia.
Wenseslaus juga menjelaskan, agrigator, yang juga menjadi salah satu bentuk ruang untuk mendistribusikan berita-berita, pun belum diregulasi.
"Wartawan Indonesia dilarang menyamarkan iklan menjadi berita, tapi di agrigator boleh toh. Ini memang dunia di luar ranah kita, tapi beririsan besar sekali dengan kita. Karena traffic banyak yang datang dari situ," kata dia.
Penulis: Fadiyah Alaidrus
Editor: Zakki Amali