tirto.id - Lonjakan harga barang masih terus berlangsung di Amerika Serikat (AS) ditandai dengan laju inflasi tahunan yang mencapai 9,1 persen pada Juni 2022. Inflasi tersebut merupakan yang tertinggi sejak November 1981. Tanda-tanda resesi kian nampak jelas, mengingat pertumbuhan ekonomi AS yang diprediksi juga akan merosot.
Direktur Center of Economic and Law Studie (Celios), Bhima Yudhistira menjelaskan, tanda resesi ekonomi AS perlu diwaspadai. Pasalnya ada dua jalur transmisi yang bisa berimbas ke Indonesia. Transmisi yang pertama adalah jalur moneter, dimana inflasi yang tinggi akan menciptakan tingkat suku bunga yang semakin meningkat atau lebih agresif dari bank sentral AS.
"Hal tersebut yang membuat dolar semakin perkasa, bahkan terhadap euro terhadap mata uang dominan lain apalagi dengan nilai tukar rupiah. Jadi dalam beberapa pekan ke depan rupiah ini akan bergejolak akan melemah," kata dia kepada Tirto, Kamis (14/7/2022).
Ia menjelaskan, kondisi tersebut akan membuat arus modal asing akan semakin deras keluar dari Indonesia. "Ini tergantung respon dari Bank Indonesia, apakah BI akan melakukan langkah kenaikan suku bunga berapa basis poin. Itu yang nanti akan menjadi pertanyaan besar," kata dia.
Kemudian transmisi yang kedua adalah jalur dari perdagangan. Bhima menjelaskan, jalur perdagangan akan terganggu jika inflasi AS naik. Pasalnya konsumsi rumah tangga di Amerika serikat yang menurun akan mempengaruhi harga barang-barang yang dikirim dari dan ke Indonesia.
"Jadi kalau kita lihat AS sebagai mitra dagang yang utama, maka ini akan mempengaruhi neraca dagang dalam semester II yang sebelumnya kita surplus cukup besar secara total neraca perdagangan ya, nah setelah itu mungkin menurun. Kemudian efek lainnya adalah biaya bahan baku yang diambil dari AS atau dikirim dari AS itu juga mengalami kenaikan harga. Sehingga ada transmisi, inflasi yang tinggi di Amerika terhadap harga-harga kebutuhan pokok yang ada di Indonesia," tandas dia.
Penulis: Selfie Miftahul Jannah
Editor: Anggun P Situmorang