tirto.id - Gelombang protes masih menyapu Sudan kurang lebih sepekan setelah Jenderal Abdul Fattah al-Burhan mengambil alih kekuasaan dari kabinet sipil pimpinan Perdana Menteri Abdalla Hamdok. Ratusan ribu demonstran, tak terkecuali perempuan dan anak-anak, memprotes kudeta. Serikat pekerja profesional dan organisasi politik seperti partai islamis moderat Umma serta Partai Komunis Sudan jadi mesin penggerak protes dan mogok kerja. Setidaknya 15 pengunjuk rasa meninggal dunia akibat kebrutalan polisi.
Kekacauan ini mirip seperti hari-hari terakhir menjelang kejatuhan diktator sekaligus tersangka penjahat perang Omar al-Bashir. Mantan perwira militer ini berkuasa di Sudan sejak 1989 dengan dukungan islamis garis keras. Persis tiga dekade kemudian, pada 2019, Bashir lengser didongkel kekuatan massa.
Semenjak itu Sudan berada di bawah pemerintahan transisi yang terdiri dari perwakilan sipil dan militer. Rezim transisi ini akan menyelenggarakan pemilu yang direncanakan paling cepat 2023. Namun, sebelum agenda besar tersebut terlaksana, Jenderal Burhan sudah mengambil alih negara.
Kembalinya Sudan ke cengkeraman militer ditanggapi beragam oleh komunitas internasional. Selain dari PBB, kecaman juga disuarakan oleh badan kerja sama antarbangsa Afrika, Uni Afrika. Mereka menghentikan segala aktivitas dengan Sudan sampai pemerintahan sipil kembali beroperasi. Bank Dunia ikut menangguhkan segala dana untuk program pembangunan sembari terus memantau situasi.
Mesir, Arab Saudi, dan UEA yang mendukung pemerintahan transisi terutama faksi militer belum bereaksi. Rusia juga belum menganggap manuver Burhan sebagai kudeta namun terindikasi merasa lebih nyaman apabila negara itu dipimpin militer sebab dianggap lebih mudah diajak kerja sama. Lalu otoritas Cina, seperti biasa, mengeluarkan pernyataan hambar tentang ajakan dialog terhadap pihak-pihak yang berseteru. Fokus Cina adalah melindungi kepentingan sendiri, terutama keselamatan warga negara dan pekerja mereka dalam proyek-proyek infrastruktur.
Amerika dan Sudan
Bagaimana dengan negara adidaya selain Cina dan Rusia, Amerika Serikat? AS, yang tampaknya serius mendukung pemerintahan transisi, bergegas membekukan anggaran darurat untuk membantu usaha-usaha demokratisasi bernama Economic Support Funds. Nilainya mencapai 700 juta dolar AS atau sekitar Rp10 triliun.
AS memang memiliki peraturan tahun 1986 yang melarang memberikan bantuan untuk negara yang pemerintahnya dikudeta. Bantuan tersebut meliputi segala pemberian melalui Kementerian Luar Negeri, program-program pembangunan dari USAID (US Agency for International Development), sampai pelatihan militer dan persenjataan oleh Kementerian Pertahanan.
Dengan peraturan tersebut AS tidak lagi memberikan dana asistensi untuk Sudan ketika Bashir melakukan kudeta militer terhadap kabinet sipil hasil pemilu pada 1989. Selain Sudan, ada Guinea dan Myanmar (pemerintahnya dikudeta pada 2021) serta Mali (2020) yang terjerat regulasi tersebut.
Meskipun demikian, AS masih bisa menjadi donatur untuk urusan kemanusiaan, seperti membantu mengatasi bencana kelaparan di daerah berkonflik seperti Operation Lifeline Sudan pada 1989 dan krisis pangan akibat kemarau panjang pada 1991 dan 2000. Di samping itu, AS juga dapat mengeluarkan anggaran khusus untuk mendorong terwujudnya demokrasi—dana yang baru saja ditangguhkan setelah militer Sudan mengkhianati pakta dengan kabinet sipil.
Lewat anggaran khusus tersebut AS ingin agar Sudan mendirikan pemerintahan sesuai hasil pemilu yang demokratis. Sampai tiba waktunya, siapa pun yang berkuasa tidak akan pernah menerima bantuan dana atau militer.
Hubungan Sudan-AS memang berkali-kali putus nyambung. AS sempat memutus hubungan pada 1967 meski mengakui kemerdekaan Sudan pada 1956. Kala itu Sudan bersama dengan negara-negara Arab ikut memerangi Israel yang AS sokong dalam Perang Enam Hari atau Perang Arab-Israel.
Tak lama kemudian, setelah Partai Komunis gagal mengkudeta Jenderal Jaafar Nimeiry pada 1971, relasi Sudan-AS membaik. Nimeiry (berkuasa 1969-1985) yang menduga Uni Soviet ikut terlibat dalam kudeta mulai berpaling dari mereka. Nimeiry kemudian jadi lebih dekat dengan negara-negara Arab seperti Mesir dan Arab Saudi serta AS dan sekutu-sekutunya di Barat.
Bagi pemerintah AS, menyokong Nimeiry adalah tentang mengamankan kepentingan strategis mereka sendiri. Nimeiry dipandang bisa menghalau pemerintahan sosialis di Etiopia yang terletak di timur Sudan. AS dan Nimeiry juga sama-sama sebal dengan diktator Libya Muammar Khadafi. Pernah, pada 1976, Libya mensponsori percobaan kudeta terhadap Nimeiry namun gagal.
AS mulai lebih banyak memberikan bantuan dengan dalih untuk mengusir pengaruh Soviet sejak 1976. Kerja sama keduanya mulai melibatkan transaksi bernilai ratusan juta dolar setelah sebelumnya sekadar pelatihan tentara kecil-kecilan.
Melansir laporan dari tim riset Library of Congress, pada tahun anggaran 1982 nilai bantuan militer AS untuk Sudan mencapai 101 juta dolar (kira-kira nilainya hari ini Rp4 triliun). Di samping menyediakan pesawat tempur, artileri, dan tank M-60, pemerintah AS diizinkan memakai fasilitas pelabuhan untuk kepentingan CENTCOM, Komando Pusat AS.
Seiring waktu, Nimeiry jadi semakin otoriter. Ia memang dikenal seperti bunglon karena suka gonta-ganti kawan, lawan, dan ideologi politik. Awalnya ia mencitrakan diri sebagai pemimpin nasionalis dan sosialis mirip Presiden Mesir Gamal Abdul Nasir, lalu sempat dekat dengan komunis sebelum akrab dengan Barat dan AS. Akhirnya, demi mendapatkan sokongan politik, Nimeiry mendekat ke islamis dan para fundamentalis dari Ikhwanul Muslimin. Kedekatan ini berbuah pada penerapan hukum syariat pada 1983 yang juga berlaku untuk rakyat Sudan selatan meski mayoritas penghayat kepercayaan lokal dan Kristen.
Akibatnya, tahun itu pecah perang sipil lagi. Untuk kedua kalinya terjadi perseteruan antara pasukan pemerintah Sudan dan grup-grup pemberontak di selatan yang kelak berlangsung sampai lebih dari dua dekade.
AS pun memutuskan untuk mengurangi bantuannya kepada Sudan. Mereka tak sudi Nimeiry dekat dengan islamis. Namun, sepanjang 1983-1988, AS tetap menjadi penyuplai senjata terbesar dengan nilai bantuan 120 juta dolar (dari total 350 juta dolar yang Sudan terima dari Cina, Eropa, dan negara-negara Arab lain). Barulah pada 1989, ketika Omar al-Bashir mengudeta pemerintahan sipil yang menggantikan Nimeiry, AS menghentikan segala bantuan.
Sejak awal dekade 1990-an, dilansir dari Council on Foreign Relations, pemerintah AS melihat Sudan sebagai suaka bagi grup-grup teroris seperti Al-Qaeda, Hezbollah, Hamas, Palestinian Islamic Jihad, Organisasi Abu Nidal, Jamaat al-Islamiyya, dan Egyptian Islamic Jihad. Di sana pernah berlabuh mulai dari Osama bin Laden, Abu Nidal, sampai Carlos the Jackal, militan kiri asal Venezuela di balik serangan-serangan teroris pada dekade 1970-1980-an.
Akhirnya, pada 1993, pemerintah AS memasukkan Sudan dalam daftar negara sponsor terorisme. Otomatis membuatnya sebagai sasaran sanksi ekonomi sampai militer. Tiga tahun kemudian, Dewan Keamanan PBB juga menjatuhkan sanksi pada Sudan karena melindungi pihak-pihak yang diduga melakukan percobaan pembunuhan terhadap Presiden Mesir Hosni Mobarak.
Masih melansir Council on Foreign Relations, teroris Al-Qaeda yang bermarkas di Sudan pada 1998 berada di balik pengeboman Kedubes AS di Afrika bagian timur. Sepanjang dekade itu pula, Sudan dilaporkan ikut mendukung grup-grup pemberontak di Uganda, Tunisia, Kenya, Etiopia, dan Eritrea.
Sudan baru menyatakan serius memberantas terorisme pada 2000 dengan meratifikasi International Convention for the Suppression of Terrorist Bombing. PBB lantas menarik sanksi tapi pemerintah AS bergeming. Pasalnya, Sudan masih memberikan dukungan terhadap Hamas yang oleh AS dikategorikan organisasi teroris. Sepanjang 2003-2008, rezim Bashir juga bertanggung jawab terhadap pembantaian warga sipil yang memberontak di wilayah selatan, Darfur. Pengadilan Kriminal Internasional memburu Bashir, di antaranya atas tuduhan kejahatan kemanusiaan dan genosida yang diperkirakan menelan sampai 300 ribu korban jiwa.
Setelah Bashir lengser dan pemerintahan transisi sipil-militer mengambil alih kekuasaan, barulah AS berubah. Administrasi Donald Trump mencabut Sudan dari daftar negara sponsor teroris pada Desember 2020. Artinya, Sudan berpeluang menerima lebih banyak investasi asing, termasuk bantuan Bank Dunia dan International Monetary Fund (IMF), dua lembaga di mana pengaruh AS sangat kuat.
Sebagai bagian dari kesepakatan tersebut, pemerintah Sudan setuju untuk membayar klaim ganti rugi sebesar 335 juta dolar terhadap korban pengeboman-pengeboman oleh Al-Qaeda di Kedubes AS di Kenya dan Tanzania (1998) serta kapal USS Cole di pesisir Yaman (2000).
Dalam kesepakatan terpisah, dalam perjanjian yang disebut Abraham Accords, AS menekan Sudan untuk menormalisasi hubungan dengan Israel. Negara mayoritas muslim lain—Uni Emirat Arab, Bahrain, Monako—juga berdamai dengan Israel lewat kesepakatan ini. Di bawah rezim Bashir Sudan menunjukkan sikap anti-Israel yang kuat. Perdamaian dengan Israel—beserta syarat-syarat lain dari AS—disepakati oleh pemerintahan transisi pasca-Bashir tak lain sebagai salah satu jalan keluar dari isolasi internasional dan keterpurukan ekonomi yang sudah sekian dekade.
Maka dari itu, keputusan Jenderal Burhan untuk mengambil alih kekuasaan dari pemerintahan transisi akhir Oktober kemarin menimbulkan tanda tanya di mata pengamat internasional. Pasalnya, Burhan pasti paham bahwa tindakannya berdampak pada lunturnya kepercayaan yang sudah komunitas global tanamkan pada Sudan, termasuk tersendatnya aliran bantuan pembangunan ekonomi atau keringanan utang dari Bank Dunia dan IMF.
Tanduk Afrika yang Jadi Rebutan
Jacqueline Burns, analis kebijakan senior di RAND Corporation, menyampaikan pada Middle East Eye bahwa kudeta Burhan didorong faktor internal. “Tapi menurut saya, mereka (militer) tidak bakal melakukan itu (kudeta) tanpa mengetahui bahwa mereka akan dapat dukungan eksternal,” katanya.
Dukungan eksternal tersebut terutama diduga datang dari Mesir, Uni Emirat Arab (UEA), dan Arab Saudi. “Sejumlah negara lain memandang pemerintahan militer di Sudan sebagai satu bagian dari transformasi untuk menyapu bersih elemen-elemen Ikhwanul Muslimin yang bersekutu dengan Qatar dan Turki,“ ujar Theodore Karasik dari firma konsultan Gulf State Analytics.
Melansir artikel Anne L. Bartlett di The Conversation, pada era Bashir, kalangan islamis sudah didukung oleh aliansi Qatar-Turki. Rezim Bashir juga menjalin hubungan putus-nyambung dengan Iran dan negara-negara Arab teluk setidaknya sampai digulingkan tiga tahun silam.
Masih dilansir dari tulisan Bartlett, dalam beberapa tahun terakhir grup militer Sudan memang sudah dapat dukungan dari Mesir, Arab Saudi, dan UEA, paling tidak karena “Hemedti memasok milisi RSF untuk melawan [gerakan islamis bersenjata] Houthi di Yaman atas nama Arab Saudi.”
Hemedti yang dimaksud adalah Hamdan “Hemedti” Dagolo, satu dari dua kekuatan dalam faksi militer dalam pemerintahan transisi. Ia memimpin grup paramiliter bernama Rapid Support Forces (RSF). Kekuatan lain adalah Sudan Armed Forces (SAF) yang dikepalai tak lain oleh Jenderal Burhan.
Baik Dagolo dan Burhan sama-sama berlumuran darah. Burhan ikut mendalangi pembantaian penduduk Darfur pada saat konflik sektarian dengan selatan awal 2000-an. Dagolo dan anak buah premannya juga terlibat di sana, di samping membunuh lebih dari 100 demonstran yang menuntut Bashir lengser.
Justin Lynch dan Robbie Gramer juga melaporkan untuk Foreign Policy bahwa pengaruh dan andil dari Mesir, Arab Saudi, dan UEA sangat terasa di Sudan pascakejatuhan Bashir. Bahkan, Arab dan UEA dikabarkan mau menyumbang 3 miliar dolar AS untuk membantu Sudan. Pada waktu itu, Burhan dan Dagolo juga sempat berkunjung ke negara-negara teluk.
Terlepas dari motif utama kudeta, negara-negara di sekitar tanduk Afrika yang berbatasan dengan Laut Merah faktanya punya fungsi strategis sebagai penghubung untuk 10 persen aktivitas perdagangan dunia. Tak mengherankan jika akhirnya mereka jadi rebutan pemain-pemain kelas menengah, menurut Middle East Eye. Negara-negara teluk dan tamu dari jauh, Cina, misalnya, berusaha mengembangkan pelabuhan-pelabuhan di Sudan. Sementara Rusia ingin membangun markas logistik angkatan laut.
Sebagian lain berakhir dengan kekacauan. Di Somalia, misalnya, hasil pemilu baru saja dibatalkan oleh presiden mereka sendiri yang sudah didukung oleh Qatar. Sementara Etiopia masih karut marut karena konflik sipil dan sibuk cari sekutu sambil membeli drone dari Turki.
Kudeta Sudan, dengan begitu, menambah panjang daftar kekacauan di wilayah tersebut.
Editor: Rio Apinino