tirto.id - Donny Indra masih harus menjalani rutinitas bekerja di kantor meski sudah ada imbauan dari pemerintah agar perusahaan menerapkan kerja dari rumah atau work from home (WFH). Pria yang berprofesi sebagai sales ini masih harus bekerja di kantornya yang terletak di Mangga Dua, Jakarta, di tengah pandemik Corona COVID-19 yang kian mewabah.
“Sudah keputusan perusahaan,” katanya kepada reporter Tirto via sambungan telepon, Selasa (24/3/2020).
Ia tak punya banyak pilihan lantaran ada kemungkinan gajinya dipotong bila tak bekerja di kantor. Rasa takutnya tertular COVID-19 pun harus ditekan lantaran ini sudah menyangkut urusan dapur tetap ngebul.
Fadil, seorang jurnalis, bernasib serupa. Ia diharuskan tetap ke lapangan untuk memburu berita, sementara kantornya “hanya menyediakan fasilitas perlindungan diri seadanya: tiga buah lembar masker (1 N95, dan 2 masker biasa), cairan antiseptik, dan vitamin C sebagai penunjang imun tubuh.”
Selain Donny dan Fadil, entah berapa orang lagi yang terpaksa keluar dari rumah untuk bekerja, termasuk sopir ojek daring. Untuk yang disebut terakhir, tak ada pilihan lain bagi mereka sebab hanya bisa dapat uang dengan keluar dari rumah, dan bersamaan dengan itu risiko tertular COVID-19 pun jadi lebih besar.
Di sisi lain, para pelaku usaha mengaku bukan tak tahu risiko pegawainya bisa tertular COVID-19 dengan keluar dari rumah.
Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) DKI Jakarta Sarman Simanjorang mengatakan memang ada sifat pekerjaan yang tidak bisa dilakukan di rumah karena, misalnya, berhubungan langsung dengan pelayanan atau bidang lain yang mengharuskan berinteraksi dengan masyarakat.
“Jadi yang masuk hanya divisi yang langsung melayani konsumen pelanggan,” kata Sarman kepada reporter Tirto, Selasa (24/3/2020).
Ia mengatakan kalau yang masuk ini jam kerjanya juga sudah dikurangi. “Biasa pulang jam 5-6 sore, sekarang pulang jam 3 sore,” tambahnya.
Jumlah yang tetap masuk sebetulnya minim, yaitu hanya 20 persen dari total pekerja. Sarman mengklaim sejak 23 Maret 2020, sudah 80 persen pekerja di perusahaannya bergabung ke Kadin menerapkan kebijakan bekerja dari rumah.
Wakil Ketua Kadin Indonesia Bidang Industri Johnny Darmawan mengatakan para buruh pabrik pun tak mungkin bekerja di rumah. Namun, pendapat berbeda disampaikan Ketua Umum Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia (Aspek) Mirah Sumirat. Menurutnya, yang perlu dilakukan pengusaha hanya menghentikan produksi pabrik dan menahan diri tidak mendapat untung untuk sementara waktu.
“Kalau terinfeksi satu semua bisa kena. Pahitnya perusahaan bisa tutup. Daripada mengambil risiko besar, saya rasa 14 hari tidak merugikan perusahaan dan ekonomi terlalu parah,” kata Mirah, 16 Maret lalu.
Opsi Solusi
Ekonom dari Institute for Development of Economics & Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan dalam situasi seperti ini, memaksakan seluruh perusahaan melaksanakan WFH bukan langkah yang bijak. Itu akan merugikan perusahaan dan juga segera merugikan pekerja.
“Dampaknya perusahaan yang kesulitan, pertama, bisa melakukan cuti tanpa dibayar, kemudian berlanjut ke THR yang tidak dibayar/ditangguhkan, sampai pemotongan gaji dan terakhir adalah PHK,” kata Bhima kepada reporter Tirto.
Maka dari itulah campur tangan pemerintah yang tak sekedar imbauan diperlukan. Perlu ada insentif lebih jauh, katanya.
“Pemerintah harus melakukan memberikan sekaligus sanksi tegas. Kalau hanya sanksi tidak akan ada efeknya ketika insentif kurang,” jelasnya.
Selain insentif bagi pengusaha, apa yang dapat dilakukan pemerintah adalah menanggung sebagian upah pekerja yang semestinya dibayar perusahaan. Hal ini patut dipikirkan untuk mengurangi beban pengusaha yang pendapatannya menurun karena produksi melambat atau bahkan setop.
Dengan memberi insentif ke masyarakat, misalnya, para sopir Gojek tak perlu memaksakan diri keluar mencari penumpang karena kebutuhan dasarnya ditanggung. Begitu pula dengan para pekerja lepas yang karena COVID-19 ini terpaksa harus kehilangan banyak proyek.
Anggaran untuk itu bisa diambil dari realokasi anggaran negara dan daerah, kata Bhima.
“Di sinilah pentingnya fiskal APBD dan APBN: untuk menjamin mereka yang tidak bisa kerja di rumah tetap mendapatkan penghasilan. Kucurkan universal basic income/jaring pengaman pendapatan. Besarannya bisa 50 persen dari pendapatan pekerja yang mendekati UMP. Setidaknya bisa makan, bisa bayar cicilan rumah dan kendaraan, bisa bayar kebutuhan rumah tangga lainnya.”
Baru setelah insentifnya dibagikan, katanya, sanksi tegas bagi perusahaan yang tetap bandel mempekerjakan pekerjanya di kantor atau pabrik bisa diberlakukan.
Kebijakan ini sebetulnya bukan barang baru. Beberapa negara sedang berpikir untuk melakukannya, bahkan sudah ada yang merealisasikannya seperti Selandia Baru, Denmark, dan Inggris--meski memang tidak berlaku untuk semua jenis pekerjaan.
Penulis: Selfie Miftahul Jannah
Editor: Rio Apinino