tirto.id - Pada September 2018 ketika berkunjung singkat ke New York dari Baltimore, saya diikutsertakan oleh Islam Dayeh, profesor kajian Arab-Islam di Berlin, untuk mengikuti salah satu sesi dalam The Ifriqiyya Colloquium. Acara ini diselenggarakan di kampus Columbia, pewaris trah intelektual Edward Said. Waktu itu yang berbicara adalah Sanjay Subrahmanyam, sejarawan India di California yang sangat produktif dan pencetus gagasan connected history. Kolokium ini sangat aktif dan hanya melibatkan para guru besar yang meneliti soal Afrika sebelum didominasi Barat.
Nama Arab al-Ifriqiyya terwarisi dari masa Romawi. Wilayah ini pertama kali dikuasai Islam pada zaman Dinasti Umayyah (703 M). Dalam kamus Arab, diceritakan bahwa nama itu diambil dari frasa yang berarti ‘bumi penghuni gua’. Ada pula yang bilang ia berasal dari nama dewa sungai atau nama raja Arab pertama yang berkuasa di Afrika, yaitu Ifriqis bin Qais. Dalam nomenklatur Islam pramodern, al-Ifriqiyya mewakili wilayah dan kebudayaan yang majemuk dan dinamis secara ekonomi, politik, dan intelektual dengan berbagai bahasa yang tertulis dalam aksara Arab, sama seperti Jawi dan pegon di Nusantara.
Ali Al'amin Mazrui, intelektual Kenya, dengan bahasa ilmu sosial kontemporer berhasil ikut mengetengahkan konsep geopolitik klasik dari al-Ifriqiyya kendati lebih berfokus pada masa pascakolonial. Wilayah Afrika, menurut Mazrui, sarat dengan identitas majemuk dan tak terpisah dari jalur komunikasi dan budaya di Arab atau Laut Tengah. Ini nyata dalam konsep yang diutarakan Mazrui sebagai Afrabia atau masyarakat Afrika-Arabia yang baru terpisah oleh proyek Kanal Suez pada abad ke-19. Terusan ini tak hanya memisahkan perbatasan, melainkan juga membuka sejarah baru dominasi Barat yang mencengkeram Afrika.
Dunia Islam dan Dunia Afrika
Seperti halnya Samir Amin, Ali Mazrui merupakan tokoh penting dalam dekolonisasi—termasuk dalam pemikiran dan sistem pendidikan—dan pemberdayaan kekuatan Afrika dengan corak pemikiran yang lain. Keduanya sama-sama tokoh yang menyuarakan dunia multipolar dengan mengkritik hegemoni Barat. Tapi keduanya barangkali tak akur. Mazrui adalah kritikus keras marxisme dan model sosialisme Afrika yang disebut Julius Nyerere sebagai “Ujaama” (kekeluargaan, mirip konsep gotong royong ala Indonesia). Sebagai seorang pemikir liberal, ia melayani debat langsung dengan para pengusung sosialisme Afrika.
Mazrui mewakili dua suara sekaligus: Islam dan Afrika. Ia lahir dari keluarga muslim terpandang dan terdidik dari etnis Shirazi (bukan Shiraz, Persia). Ayahnya dikenal sebagai hakim, keturunan dari seorang alim yang ditunjuk Protektorat Inggris di Afrika Timur sebagai shaykh al-Islam, bagian dari reorganisasi administrasi agama mencontoh model Usmani bernama Vilayet.
Di Mombassa, kota pesisir di Kenya yang menghadap Samudra Hindia, Mazuri kecil tumbuh, digembleng dalam madrasah tradisional dengan pembelacaran Arab klasik dan pengenalan pada tradisi skriptural serta teladan profetik. Pola madrasah ini hampir umum merata ada dalam kultur masyarakat di sepanjang pesisir samudra yang dulu didominasi kuasa dan pengetahuan Islam, sebelum era kolonialisme Eropa.
Latar belakang dan kecintaan pada Afrika yang di kemudian hari membuatnya istikamah untuk menempatkan Afrika dalam panggung global, juga menyuarakan tradisi keilmuan Afrika di dalam kesarjanaan dunia. Para pembaca ilmu sosial tak bakal lupa dengan warisan yang melekat pada Mazrui ini. Bak seorang kartografer, ia tak lelah memetakan kembali posisi Afrika dalam peta dan sejarah dunia beserta kuasa pengetahuan yang melingkupinya. Bagi Mazrui, Afrika sebagai benua muasal segala peradaban perlu diketengahkan kembali dalam wacana, perbincangan, dan politik internasional setelah sekian lama tertidur dan terhina di bawah duli kolonial.
Misi itu lalu menuntunnya dalam rupa tulisan dan film dokumenter. Mazrui sangat paham dan melek media, juga seorang yang suka panggung, tapi untuk menyuarakan gagasannya. Dalam dunia Anglofon, film dokumenter BBC berjudul The Africans: A Triple Heritage menjadi paten yang terkait dengannya. Di buku yang terbit pada 1986 sebagai pengantar pemirsa seri film ini dengan judul sama, Mazrui jelas menulis, “Di seri televisi ini saya menatap Afrika... tak lain bertujuan untuk menerjemahkan ide saya ke dalam gambar televisi yang hidup.”
Ide yang ia maksud seputar identitas Afrika sebagai wilayah irisan antara tiga arus besar, yakni Arabisme, Afrikanisme dan Islam. Gagasan ini awalnya ia olah terbatas pada 1968 ketika menyampaikan kuliah umum tentang “The Multiple Marginality of Sudan” yang menyorot identitas yang berlawanan dari Sudan sebagai wilayah perbatasan Afro-Arab.
Seperti diakuinya di dalam buku itu, program televisinya menyedot perhatian banyak kalangan, salah satunya karena proyek ini hampir menyorot semua aspek Afrika, termasuk warisan kapitalisme Eurosentris yang dipaksakan kolonialisme Eropa. Orang dibuat melek pada geografi dan geopolitik Afrika masa lalu.Pada 1980-an ini, efek transmisi televisi menjadi medium populer untuk menyuarakan gagasannya yang jujur dan apa adanya dan dianggap audiens Barat sebagai pikiran provokator.
Menurut laporan The New York Times, di akhir hayatnya ia aktif menulis dan bersuara via Facebook, mengkritik pandangan rasisme dan penghina bangsa Afrika sebagai primitif dan barbar. Jika Mazrui masih ada, ia tak bakal menyia-nyiakan efek besar dari media sosial dan membela apapun harga diri dan harkat kemanusiaan di Afrika beserta diasporanya.
Demikian halnya, dalam kajian Islam kontemporer, ia bersuara keras atas berbagai ketimpangan yang dilakukan Barat serta menunjukkan sisi keberadaban dari Islam. Artikel Ahmed Salem dalam Critical Perspectives on Culture and Globalization: The Intellectual Legacy of Ali Mazrui (2017) mengamini peran Mazrui sebagai ‘defending oppressed Muslims, reforming Islamic thought’.
Atas berbagai peristiwa di Barat yang menyudutkan Islam dan muslim, Mazrui menulis dan bersuara lantang. Telisik budayanya yang tajam mengoreksi berbagai kesalahpahaman Barat atas Islam, baik di tingkat akademik maupun media, yang lalu mengarah pada islamofobia. Kesalahpahaman itu bukan hanya diproduksi berbagai pihak, termasuk di antaranya akibat meluasnya novel Satanic Verses (1988) karangan Salman Rushdie.
Di situ, Mazrui, dengan menggunakan pemikiran Barat, menyerang mitos liberal tentang pluralisme. “Meskipun dalam doktrin kebudayaan Barat menghargai pluralisme dan kemajemukan,” tulisnya, “dampaknya pada berbagai kebudayaan dunia ialah menyeragamkan; ia akibatnya menjadi anti-pluralis.”
Salah Paham Barat
Atas upaya homogenisasi yang terjadi, Mazrui menyayangkan terjadinya pelemahan budaya dan beberapa di antaranya mati terkulai tak kuasa dilindas Barat. Ia menilai westernisasi di dunia muslim yang intensif terjadi berubah bentuk dalam bahasa baru bernama globalisasi. Dari sini, ia menyerukan umat Islam untuk menghentikan laju globalisasi Barat yang justru menghancurkan pluralisme, justru ketika Barat sendiri bersenandung indah soal kemajemukan umat manusia. “Ada tanggung jawab besar di bahu-bahu [pemeluk] Islam sebagai budaya yang khas yang memproduksi para pemberontak melawan hegemoni Barat... Itulah pelopor hegemoni budaya Barat,” tulisnya.
Sikap Mazrui seperti ini sering disalahpahami otoritas imigrasi dan intelijen Amerika. Ia pernah diinterogasi terkait dengan jaringan terorisme tertentu. Apalagi, dalam riwayat hidupnya, Mazrui sangat gamblang bergandeng tangan dengan berbagai organisasi akademik yang berafiliasi ke kelompok Islam, seperti the International Institute of Islamic Thought (IIIT), yang didirikan pada 1981 oleh Ismail Raji al-Faruqi dan Anwar Ibrahim. Kiprah Mazrui secara intelektual, ideologis, maupun institusional menjadi bahan bakar berbagai kalangan dalam membela Islam dan khususnya masyarakat Afrika.
Penentang intelektualnya banyak, terutama ketika Mazrui membela Muammar Khadafi dan mendukung intervensi halus pada beberapa negara Afrika lemah demi mencapai Pax Africana—sesuatu yang juga pernah diamini Khadafi. Archie Mefeje, salah satu penentangnya, berdebat di media ternama Amerika soal ini dengan judul yang menohok: “rekolonisasi jinak dan pikiran ganas di bawah duli pelayanan kolonialisme.” Mazrui kadang dituding sebagai neokolonialis. Ini terekam dalam buku yang disunting keponakan Mazrui, Debating the African Condition: Ali Mazrui and his critics (2004).
Tetapi Mazrui tetap teringat sebagai suara yang tak lelah pada kelahiran kembali dan pemberdayaan intelektual bangsa-bangsa Afrika. Ia sangat prolifik menulis, kendati beberapa kritikusnya pernah menyebutnya "receh" dan tak bakal membekas lama. Ia intelektual garda depan yang bergerak hampir tak ada batas antara ruang kelas, konferensi, media populer, dan ruang para korporat hingga para pemegang kekuasaan. Mazrui menikmati debat dan pertempuran intelektual. Karena ia percaya pada kedigdayaan ide sebagai tenaga dinamis dalam sejarah manusia.
Konsistensinya terjaga setelah menyelesaikan doktor di Oxford, berkarier di Uganda, lalu pindah ke Michigan dan New York. Selagi muda dengan reputasi internasional ia pernah menolak tawaran sebagai penasihat pribadi dan penulis konstitusi atas perintah John Okello, pemimpin revolusi Zanzibar. Hal yang sama berlaku ketika ia ditawari presiden Uganda. Ia memilih berjalan pada kekuatan moral akademik, lalu lebih bebas bersuara dari Amerika.
==========
Redaksi Tirto kembali menampilkan rubrik khusus Ramadan "Al-Ilmu Nuurun". Tema tahun ini adalah para cendekiawan muslim global abad ke-20 dan ke-21. Kami memilih 33 tokoh untuk diulas pemikiran dan kontribusi mereka terhadap peradaban Islam kontemporer. Rubrik ini diampu kontributor Zacky Khairul Umam selama satu bulan penuh.
Zacky Khairul Umam adalah alumnus Program Studi Arab FIB UI dan kandidat doktor sejarah Islam di Freie Universität Berlin. Saat ini sedang menyelesaikan disertasi tentang pemikiran Islam di Madinah abad ke-17. Ia pernah bekerja sebagai peneliti tamu pada École française d'Extrême-Orient (EFEO) Jakarta 2019-2020.
Editor: Ivan Aulia Ahsan