Menuju konten utama
17 November 1869

Konflik Demi Konflik Meledak Setelah Terusan Suez Dibuka

Di mulut kanal.
Angin laut berbau
serdadu mati.

Konflik Demi Konflik Meledak Setelah Terusan Suez Dibuka
Ilustrasi pembukaan Terusan Suez. tirto.id/Wikimedia Commons

tirto.id - Senin, 17 November 1869, menjadi hari yang paling menggembirakan bagi Ferdinand de Lesseps. Terusan Suez, yang menghubungkan Pelabuhan Said d Laut Tengah dan Pelabuhan Tewik di Laut Merah, akhirnya dibuka untuk umum. Proyek raksasa yang ditangani de Lesseps sejak 25 September 1859 itu seharusnya kelar empat tahun sebelumnya. Tapi lantaran sejumlah kendala teknis, durasi proyek molor hingga satu dekade.

Cetak biru juga mencantumkan panjang terusan yakni 102 kilometer, namun hasil akhir Terusan Suez membentang hingga 193,3 km. Kapal-kapal kargo yang memuat segala barang pun bisa memangkas jarak perjalanan hingga 7.000 km dengan melaluinya. Sebelumnya, perjalanan dari Eropa ke Asia perlu melewati perairan sebelah barat benua Afrika, ke selatan melalui Tanjung Harapan, lalu ke arah timur menuju Samudera Hindia.

Terusan bukan barang yang baru bagi rakyat Mesir, catat James Breasted dalam buku klasiknya Ancient Records of Egypt (1906). Sebuah terusan dengan model sederhana pernah dibangun Firaun Senusret III (beberapa sumber meyakini Senusret II) untuk menghubungkan Laut Merah dan Sungai Nil pada 1850 SM. Infrastruktur yang berguna untuk menyokong pertanian di sekitar Nil itu tercatat dalam sejumlah literatur, salah satunya risalah Meteorology karya filsuf Yunani Aristoteles.

Sejumlah tokoh besar Eropa mulai tertarik membangun terusan penghubung Laut Merah dan Laut Tengah sejak Bartolomeu Dias membuka rute perdagangan maritim ke kawasan rempah-rempah di Asia. Perjalanannya ditempuh melalui jalur klasik (lewat Tanjung Harapan), dan rute ini dianggap terlalu panjang. Membuka terusan di tanah genting antara Afrika dan semenanjung Arab dinilai akan membuat perjalanan lebih efisien.

Diwacanakan Napoleon Bonaparte, Direalisasikan De Lesseps

Salah satu tokoh yang tertarik memimpin proyek raksasa ini adalah panglima perang legendaris Perancis, Napoleon Bonaparte. Menurut arsip National Library of Australia, setelah Bonaparte sukses menguasai wilayah Mesir pada 1789, ia mengirimkan tim untuk meneliti jalan darat sepanjang jalur yang sekarang menjadi Terusan Suez. Tujuan awalnya untuk memastikan, apakah membuat terusan di tempat tersebut aman bagi penduduk di sekitarnya.

Setelah empat kali kunjungan, tim menyimpulkan, wilayah calon terusan lebih rendah 9 meter dibanding permukaan Laut Merah. Pembuatan terusan dikhawatirkan akan menciptakan banjir perusak Delta Sungai Nil. Proyek ini terbengkalai hingga pada tahun 1847 ketika muncul analisis lain yang menyatakan tak ada perbedaan ketinggian yang serius antara Laut Merah dan daratan Mesir.

Merujuk arsip BBC, pada 1854 Ferdinand de Lesseps berupaya melobi Ismail Pasha, penguasa Mesir dan Sudan saat itu, untuk merestui pembangunan Terusan Suez. Dua tahun kemudian, de Lesseps secara resmi diberi izin oleh Pasha. Dalam perjanjian juga disebutkan bahwa perusahaan de Lesseps sebagai kontraktor utama proyek diberi hak untuk menjadi operator terusan selama 99 tahun terhitung sejak terusan resmi dibuka.

Baca juga: Terusan Panama: Pintu Ajaib Menuju Pasifik

Pemerintah Inggris termasuk pihak yang tak suka dengan proyek pembangunan terusan. Sikap ini tergolong anomali sebab keduanya adalah sekutu politik yang mesra di banyak kawasan, terutama Timur Tengah. Namun saat itu Inggris amat khawatir jika kedigdayaan pelayaran globalnya tergerus akibat proyek Terusan Suez.

Dalam catatan kanal History, konsulat Inggris menyebut langkah pemerintah Perancis sebagai ”bunuh diri”. Saat de Lesseps berusaha menjual saham di perusahaan terusannya, koran Inggris melabelinya sebagai proyek “perampokan yang mencolok dan telah berhasil merampas orang-orang sederhana.” Kerajaan Inggris melanjutkan kritiknya hingga terusan rampung dan ramai dilayari kapal-kapal. Lucunya, pada akhirnya mereka juga membeli 44 persen saham perusahaan pengelola terusan pada 1875.

Baca juga: Mesir dan Suriah Menjadi Satu dalam Republik Persatuan Arab

Salah satu kritikan terpedas Inggris selama pembangunan Terusan Suez adalah kondisi buruk para pekerja. Pembangunan Terusan Suez melibatkan pekerja asal Mesir di satu tahun pertama. Sejumlah sumber mengatakan, jumlahnya mencapai lebih dari 30.000 orang. Sementara total selama 1 dekade pelaksanaan proyek melibatkan 1,5 juta pekerja dari berbagai negara. Kondisi yang mengenaskan plus wabah kolera dan penyakit serupa membuat banyak pekerja meninggal sebelum proyek rampung.

Di akhir pembangunan, total dana yang dipatok di rencana awal tembus hingga dua kali lipat lebih gara-gara kesalahan manajemen keuangan. Namun, pesta pembukaan yang dilaksanakan tepat 148 tahun lalu itu tetap berlangsung meriah. Salah satu tamu undangan yang hadir dan turut meresmikan adalah Ismail Pasha.

Di masa itu, Inggris tak hanya membebek tanpa aksi. Pada awal 1880-an, mereka benar-benar mengkolonisasi Mesir, sehingga berkuasa juga atas Terusan Suez. Konvensi Konstantinopel tahun 1888 yang ditandatangani Inggris, Jerman, Austria-Hungaria, Spanyol, Perancis, Italia, Belanda, Kerajaan Rusia, dan Kerajaan Utsmaniyyah menyatakan bahwa Terusan Suez adalah kawasan netral, namun tetap di bawah pengawasan Inggris.

Sumbu Krisis yang Disulut Nasser

Senetral-netralnya Terusan Suez, kepentingan politik global tak kuasa ditolak begitu saja. Sebagai jalur perdagangan baru Eropa dan Asia, Terusan Suez memikat hati tiap rezim Barat. Namun, di masa 1950-an, ancaman terhadap kekuasaan Inggris di Suez tidak datang dari kompetitor Eropanya, melainkan dari seorang nasionalis Mesir yang kemudian bergelar bapak bangsa: Gamal Abdul Nasser.

Pada awal 1954, Nasser dan kawan-kawan militer lain yang juga anti-kolonialisme Inggris berhasil menangkap Jenderal Muhammad Naguib. Kala itu, Naguib adalah Presiden Mesir yang jadi boneka Inggris. Tanggal 25 Februari 1954, Nasser menjadi Presiden Mesir yang baru, dan dua tahun kemudian menjadi calon tunggal dalam pemilihan presiden. Ia otomatis menang, lalu dilantik menjadi Presiden Mesir kedua.

Di awal pemerintahannya, Nasser membawa gagasan nasionalisme Arab agar negara-negara Timur Tengah dapat menangkal (minimal mengimbangi) pengaruh Barat. Tujuan pokok lain: sebagai negara baru, ia perlu mengangkat posisi Mesir di panggung internasional.

Baca juga: Sayyid Qutb Mati, Tapi Idenya Abadi bagi Kaum Islam-Politik

Demi memuluskan visi ini, Nasser membuat keputusan krusial: menasionalisasi Terusan Suez. Keputusan yang berani ini resmi ia umumkan pada 26 Juli 1956. Publik Mesir gembira bukan kepalang, dan siap mendukung sang presiden untuk merealisasikannya. Tak pelak, krisis politik baru pun lahir sebab manuver Nasser memancing kemarahan Inggris.

Nasionalisme Nasser, dikombinasikan dengan ciri rezim yang makin sosialis dan condong ke Uni Soviet, membuat Inggris dan AS melepas dana bantuan pembangunan ke pemerintah Mesir untuk membangun Bendungan Aswan. Naseer tetap konsisten dengan keputusannya sebab keuntungan dari nasionalisasi Suez bisa dipakai untuk biaya pengganti.

Langkah Nasser kian politis dengan menutup terusan untuk kapal-kapal Israel. Sebagai pengembus semangat pan-Arabisme, Nasser berang dengan kolonialisme Israel atas Palestina. Ide pan-Arabisme yang digelorakannya punya visi khusus, yakni membela bangsa Palestina.

Baca juga: Membunuh Anwar Sadat

Krisis Suez, yang dicatat Economist sebagai “An Affair to Remember”, kemudian lahir. Tentara Inggris, Perancis, dan Israel menginvasi Mesir pada 29 Oktober 1956. Israel kebagian menganeksasi Semenanjung Sinai, dan ditanggapi Mesir dengan aksi militer penuh. Inggris dan Perancis turut membekingi dengan mengirimkan pasukan. Jika Israel bernafsu meluaskan teritori negaranya, Inggris dan Perancis ingin menggulingkan Nasser sehingga bisa kembali menguasai Terusan Suez.

Menteri Luar Negeri Kanada Lester B. Pearson menilai perang tersebut akan membahayakan kepentingan banyak pihak. Ia mengajak PBB meredakan stuasi. AS juga turut serta dengan cara menekan aliansi mesranya, Israel, untuk menyudahi peperangan. Upaya ini rupanya berhasil. PBB meminta Israel menjauhi Sinai dan menempatkan tentara perdamaian di sana.

Israel dan sekutunya mau mundur karena merasa sudah menang secara militer. Namun secara politik, mereka (beserta Inggris dan Perancis) kalah, karena tak mampu kembali menguasai Terusan Suez. Israel pun tetap dilarang melintas. Mereka hanya berhak atas Selat Tiran. Sejarawan meyakini kekalahan ini adalah tanda kejatuhan nama Inggris dan Perancis di panggung politik global. Ke depannya, sejarah perebutan kekuasaan di berbagai kawasan condong kepada AS versus Uni Soviet.

Infografik Mozaik Terusan Suez

Berlanjut ke Perang Enam Hari dan Huru-Hara Yom Kippur

Huru-hara lanjutan yang melibatkan Terusan Suez terjadi pada Mei 1967. Saat itu, Nasser memerintahkan pasukan penjaga perdamaian PBB untuk keluar dari Semenanjung Sinai dan area terusan. Situasi juga kian memanas di Palestina, Yordania, Irak, dan Suriah, akibat represi Israel. Situasi ini melahirkan Perang Enam Hari antara Israel versus negara-negara Arab yang dipimpin Mesir dan Suriah.

Pada 5-10 Juni 1967, pasukan militer Israel mengagetkan dunia dengan mencaplok wilayah Palestina yang tersisa. Meliputi Tepi Barat, Yerussalem bagian Timur, Jalur Gaza, juga Dataran Tinggi Golan di Suriah dan Semenanjung Sinai di Mesir. Israel menang karena wilayah yang ditargetkan berhasil mereka rebut.

Enam tahun berselang, pada 6 Oktober 1973, perang antara Mesir dan Israel pecah lagi. Kali ini tepat di perayaan Yom Kippur (salah satu hari suci umat Yahudi). Pukul 02.00 dinihari, beberapa pesawat tempur Mesir melintasi Terusan Suez, menuju Sinai. Pesawat-pesawat Suriah juga memulai serangan udara besar-besar terhadap pos Israel di Dataran Tinggi Golan secara bersamaan. Pasukan Mesir dikomandoi Presiden Anwar Sadat, sementara Suriah di bawah perintah Hafez al-Assad. Dua negara ini sudah menyatukan komando jauh-jauh hari.

Baca juga: 50 Tahun Perang 6 Hari dan Pendudukan Israel atas Palestina

Di hari pertama perang, Mesir melancarkan Operasi Badr yang bertujuan merebut penyeberangan Terusan Suez dan menguasai Bar Lev Line, dinding pertahanan yang dibangun Israel di tepi timur terusan. Mereka berhasil. Penyeberangan legendaris ini terus dikenang Mesir tiap tanggal 7 Oktober, dan berlangsung dengan amat meriah sepanjang beberapa tahun usai berakhirnya Perang Yom Kippur.

Sesudah berbagai gencatan senjata yang gagal karena kerap dilanggar kedua pihak, terutama Israel, Perang Yom Kippur benar-benar bisa dihentikan setelah berlangsung selama 243 hari. PBB dan AS memainkan peran cukup penting dalam upaya perdamaian ini, dan lagi-lagi berakhir dengan kejayaan militer bagi Israel namun, di sisi lain, merupakan kemenangan politik bagi dunia Arab.

Baca juga: Perang Yom Kippur: Bukti Sulitnya Mendamaikan Arab-Israel

Semenanjung Sinai kembali ke tangan Mesir. Sebagian Dataran Tinggi Golan kembali ke tangan Suriah—menandai perjuangan yang lebih lama lagi bagi Assad ke depannya. Anwar Sadat jadi pahlawan. Tapi pada perayaan penyeberangan Terusan Suez tanggal 6 Oktober 1982 di Kairo, ia dibunuh jihadis bernama Khalid Islambouli yang kecewa karena Sadat berdamai dengan Israel lewat Perjanjian Camp David. Sadat juga dituduh semakin condong ke negara-negara Barat, terutama AS.

Perang Yom Kippur menyisakan bangkai kapal dan alat perang dalam jumlah besar. Sampah raksasa itu mengotori dan mengganggu aktivitas di Terusan Suez. Proyek pembersihan dilaksanakan pemerintah Mesir atas bantuan AS dan Inggris. Terusan Suez kemudian dibuka lagi pada 1975 oleh Sadat. Untuk meningkatkan pelayanan, berbagai proyek perbaikan, perluasan, dan pendalaman terusan masih dilakukan hingga kini.

Baca juga artikel terkait MESIR atau tulisan lainnya dari Akhmad Muawal Hasan

tirto.id - Politik
Reporter: Akhmad Muawal Hasan
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Ivan Aulia Ahsan