tirto.id - Situasi di Palu dan sekitarnya kacau balau setelah dihantam gempa dan tsunami Jumat (28/9/2018) lalu. Bahan makanan menipis, air bersih sulit ditemukan, dan terjadi chaos.
Gempa bahkan membuat para narapidana dan tahanan bisa melarikan diri dari lapas.
Di lembaga pemasyarakatan Palu misalnya, ketika gempa kedua terjadi sekitar pukul 5 sore, narapidana kabur lewat tembok dua blok yang roboh pada gempa pertama yang terjadi sekitar pukul 2 siang. Jalur yang terbuka memang cukup luas.
Selain tembok roboh, pada gempa pertama juga air tiba-tiba keluar dari dalam tanah. Ketika itu para napi sedang berkumpul di tengah lapangan.
Sementara para tahanan dan narapidana di rumah tahanan Donggala diduga melakukan pembakaran buat melarikan diri. Sampai sekarang, sumber api masih belum diketahui secara pasti meski dipastikan berasal dari dalam rutan.
Kala itu petugas membiarkan saja mereka keluar. Nyawa para napi bisa terancam jika dibiarkan tetap ada di dalam. Pembiaran juga terjadi di lapas Palu.
Alasan Pemakluman
Direktur Jenderal Pemasyarakatan (PAS) Kementerian Hukum dan HAM Sri Puguh Budi Utami menjelaskan keputusan itu memang diambil dengan melihat situasi yang terjadi. Pada saat gempa pertama terjadi, Sabtu (28/9/2018) sekitar pukul 2 siang, kepala lapas dan rutan sebetulnya telah diinstruksikan buat mengumpulkan seluruh tahanan dan narapidana. Mereka diberi arahan agar tenang.
Namun situasi tak bisa terus terkendali. Senin (1/10/2018) di Jakarta, Utami menegaskan kalau pembiaran itu "semata-mata kebutuhan penyelamatan diri."
Kini mereka yang ditangkap karena kejahatan pembunuhan, pengedaran narkotika, dan lain-lain tengah berbaur bersama masyarakat lain. Jumlahnya mencapai 1.425 orang, berasal dari rutan Palu, rutan Donggala, dan lapas Palu—tiga penjara yang paling parah terdampak gempa.
Utami menyebut para tahanan kabur juga karena ingin bertemu keluarga dan memastikan mereka selamat. Hingga berita ini ditulis korban meninggal dunia telah mencapai lebih dari 1.000 orang, sementara yang hilang puluhan.
Meski mengizinkan, namun para warga binaan cuma diberi waktu satu minggu. Petugas bahkan bakal membantu para tahanan dan napi untuk cepat bertemu keluarga mereka masing-masing. Kebijakan ini menurutnya ditempuh karena kondisi lapas rusak berat dan tidak ada persediaan makanan.
"Sekarang sedang kami komunikasikan untuk menghubungi keluarga warga binaan," ujar Utami.
Selama satu minggu itu, para warga binaan diwajibkan lapor. Ada tiga posko buat melapor, lokasinya di sekitar rutan Donggala, rutan Palu, dan lapas Palu.
Lewat waktu yang ditentukan, para napi bakal dipaksa kembali, namun tidak di tempatnya semula selain karena rusak, juga mengalami over-kapasitas.
Per September 2018, lapas Palu menampung 581 orang, padahal daya tampung cuma 210. Yang masih bertahan dan tidak melarikan diri ada 66 orang. Rutan Donggala mempunyai daya tampung 108 tapi diisi 343 orang. Sedangkan rutan Palu diisi 463 orang dengan kapasitas 120, yang bertahan di sana ada 53 orang.
Sementara Lembaga Pemasyarakatan khusus Perempuan (LPP) Palu yang memiliki kapasitas 100 diisi 83 narapidana ditambah tiga bayi tersisa senbilan orang dan Lembaga Pemasyarakatan Khusus Anak yang memiliki kapasitas 100 diisi 29 anak tinggal lima warga binaan.
Rumah dinas kepala rutan bakal dipakai untuk menampung mereka yang kembali. Barulah setelah keadaan kondusif para tahanan dipindahkan ke lapas lain.
Kepala Bagian Humas DitjenPAS Ade Kusmanto menegaskan akan ada sanksi bagi warga binaan yang tidak melapor dalam seminggu ke depan karena memang tak ada jaminan sama sekali mereka tidak akan melarikan diri. Meski begitu, hukuman apa yang bakal dikenakan masih belum ditetapkan.
Ade menyatakan seluruh napi akan dicari oleh satgas khusus yang dibentuk DitjenPAS. Pencarian bakal dilakukan hingga ke luar kota.
"Kami nanti lakukan pencarian sampai luar kota. Kerja sama dengan kepolisian," tegasnya, dalam kesempatan yang sama.
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Rio Apinino